Oleh : Didi Junaedi
(Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah tayangan dialog di sebuah televisi antara seorang anggota dewan (yang katanya terhormat), tetapi tidak beretika dan niradab, dengan seorang tokoh senior, mantan menteri di era orde baru.)
Ilmumu boleh setinggi langit. Pengalamanmu boleh sangat luas. Hartamu boleh tak habis hingga tujuh turunan. Jabatanmu boleh sangat terhormat. Nasabmu boleh amat terpandang. Status sosialmu boleh sangat tinggi. Tetapi, itu semua tak kan berarti ketika akhlakmu sangat rendah.
Ya, akhlak adalah kata kuncinya. Semua yang kita sandang, yang kita miliki, yang kita banggakan; gelar yang berderet, harta yang melimpah, jabatan yang tinggi, status sosial yang terhormat, prestasi yang mengagumkan, luluh lantak seketika, jika akhlak kita nafikan dan abaikan.
Bukankah Rasulullah Saw. menandaskan bahwa tujuan utama beliau diutus adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia?
Lihatlah bagaimana akhlak Sang Utusan akhir zaman yang mulia nan agung itu? Bacalah Sirah Nabawiyah yang ditulis ratusan bahkan mungkin ribuan penulis sejak masa lampau hingga saat ini!
Dari penelusuran sejarah riwayat hidup sosok mulia itu, akan kita jumpai betapa mulia akhlaknya. Betapa santun tutur katanya. Betapa lembut dan penuh kasih sikapnya terhadap sesama. Betapa murah hatinya. Betapa mudahnya ia memaafkan kesalahan orang lain. Betapa teduh wajahnya. Betapa indah perangainya.
Sekarang, lihatlah diri kita. Betapa mudahnya kita menebar benci. Betapa seringnya kita mengumbar caci. Betapa susahnya kita memaafkan kesalahan orang lain. Betapa kasar dan tak beretikanya kita terhadap sesama yang berbeda.
Beda agama membuat kita mudah mencela. Beda madzhab menjadikan kita mencerca tanpa adab. Beda tafsir membuat kita mencap kafir. Beda pilihan politik menjadikan kita melakukan cara -cara licik.
Terlebih di era ini, ketika media sosial begitu mudahnya diakses oleh siapa saja. Seseorang dengan bebas memposting dan membagikan (share) apa saja sesuai dengan kecenderungannya. Tidak jarang, postingan dan sharing yang dibagikan terlepas sama sekali dari akhlak mulia. Ujaran kebencian (hate speech), berita bohong (hoax), bahkan fitnah begitu mudahnya menyebar tanpa filter. Di sinilah, akhlak kita semua diuji.
Bukankah kita mengaku sebagai umat Rasulullah Saw., dan berharap syafaatnya kelak?
Jika demikian pernyataan dan pengakuan kita, tidakkah kita malu kepada manusia agung nan suci itu. Malu karena mengaku-ngaku mengikuti dan mencintainya, tetapi akhlak kita jauh panggang dari api. Malu berharap petolongan (syafa’at)-nya, tetapi perilaku kita sama sekali tak menunjukkan kelayakan dan kepantasan kita untuk ditolongnya.
Sekali lagi, kata kuncinya adalah akhlak. Jika kita mampu menghiasi diri dengan akhlak mulia nan terpuji, maka berharga dan terhormatlah diri kita di hadapan manusia dan di sisi Allah. Sang Nabi pun, kelak atas izin Allah akan mengakui kita sebagai bagian dari umat-nya. Sehingga syafaatnya pun akan dicurahkan kepada kita.
Akhlak kita menunjukkan kualitas diri kita. Semakin rendah akhlak, semakin rendah juga kualitas diri kita. Pun sebaliknya, semakin tinggi dan mulia akhlak, semakin tinggi dan mulia pula kualitas diri kita.
So.. akhlakmu menunjukkan kualitasmu!