Allah: Ilāh Kemudian Rabb

0
3515

Allah Swt di satu sisi disebut Ilāh, di sisi lain disebut juga Rabb. Apa bedanya? Apa konsekuensinya?

Dari surat-surat tiga qul sebagai pamungkas al-Qur’an, kita sesungguhnya dapat menarik pelajaran berharga. Pertama sekali, Allah Swt menegaskan diri-Nya sebagai ilāh. Karena mengikuti formula (wazn) fi‘āl, maka makna yang dilahirkannya berkoresponden dengan makna ism al-maf‘ūl.

Sebagaimana kitāb berarti sesuatu yang ditulis, dan firāsh bermakna sesuatu yang dihamparkan. Ilāh dengan demikian, ulas Sheikh Mutawalli al-Sha‘rawi,[1] bermakna Tuhan Yang Disembah (ma‘būd). Bukan sekedar Tuhan, tapi juga Tuhan yang aḥad, yang sama sekali tidak berbilang.

Setelah deklarasi akan ketunggalan-Nya, diutarakan kemudian bahwa Dia adalah Rabb al-Falaq, Sang Pemilik segala yang terbelah; juga Rabb al-Nās, Tuhan sekalian manusia. Dia tempat semua makhluk seharusnya berlindung. Dia yang menahan bumi dan alam semesta dalam gaya gravitasi tertentu sehingga tidak saling sengkarut. Dia yang “ngecat lombok”, yang pada mulanya hijau menjadi merah.

Dia tidak semata-mata bersemayam di singgasana-Nya. Dia juga tidak hanya menuntut manusia untuk menyembah-Nya. Tapi Dia mengajarkan sikap iḥsān, membalas lebih dari apa yang diterima. Kekuasaan-Nya hadir dalam setiap detak jantung manusia. Pun dalam semua gerak sosialnya. Segala aturan yang Dia syariatkan pada dasarnya adalah “lakum”; untukmu wahai sekalian manusia.

Pergerakan dari Ilāh menuju Rabb mengirimkan pesan kepada kita agar mampu menerjemahkan kesalehan doktrinal ke dalam kesalehan sosial. Iman tidaklah cukup. Ia mesti dilanjutkan dengan Islam. Berilmu saja tidaklah cukup. Ia mesti diamalkan. Wallahu A’lam.

[1] Muḥammad Mutawallī al-Sha‘rawī, Tafsīr al-Sha‘rawī, vol. 2 (Cairo: Al-Azhar Islamic Research Academy, 1991), 682.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here