Oleh: M. Arfan Mu’ammar
Melepas anak untuk pergi menuntut ilmu di tempat yang tidak dekat atau dalam istilah orang Sumatra merantau adalah hal yang tidak ringan. Tapi orang tua harus ikhlas, baik dari ayah atau ibu, atau dalam bahasa Jawa “kudu tego” demi masa depan anak. Jika tidak, maka bisa jadi anak tidak kerasan di perantauan.
Masih banyak orang tua yang enggan melepas anaknya pergi jauh menuntut ilmu atau mondok di pesantren. Mereka beralasan sudah susah-susah membesarkan anaknya dari kecil, tapi dilepas begitu saja untuk belajar di pondok sehingga orang tua tidak lagi bisa berinteraksi lebih dekat dengan anaknya.
Mereka juga beralasan, kalau anak mereka di pondok, orang tua tidak bisa menikmati atau mendampingi masa remaja anak-anak mereka. Tiba-tiba sudah besar, seakan kehilangan momentum masa remaja mereka.
Jika Anda merasa seperti itu, maka ingatlah sebuah puisi apik yang ditulis oleh Kahlil Gibran, berjudul “Anakmu Bukanlah Milikmu”. Berikut kutipan puisinya:
“Anak adalah kehidupan, Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal Darimu. Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu”
Kalau bukan berasal dari kita, lantas berasal dari manakah anak kita? Tentu semua berasal dan bermula dari Allah Swt. Karena semua berasal dan bermula dari Allah Swt, maka sejatinya kita semua adalah milik Allah Swt. Termasuk anak-anak kita.
Karena anak-anak bukan milik kita, maka Kahlil Gibran menuliskan dalam sebagian baitnya:
“Kaulah busur, Dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian”
Orang tua sebagai pendorong majunya anak ke masa depan. Jika anak panah hanya berdiam diri di busurnya, tidak melesat, maka selamanya tidak akan mengenai sasaran bidiknya.
“Meliuklah dengan sukacita Dalam rentangan Sang Pemanah, sebab Dia Mengasihi anak- anak panah yang meleset laksana kilat”
Anak-anak panah yang melesat bagai kilat, justru akan dikasihi oleh Tuhan. Melesat bagai kilat memiliki makna menjadi anak yang maju, bermanfaat untuk banyak orang dan keluar untuk mencari ilmu dan pengalaman. Tidak berdiam diri di kampung halamannya.
Pernyataan senada juga diungkapkan oleh Imam Syafi’i yang tertulis dalam Mahfudzat berikut:
ما في المَقامِ لِذي عَقلٍ وَذي أَدَبِ
Tiada kata santai bagi orang yang berakal dan beradab
مِن راحَةٍ فَدَعِ الأَوطانَ وَاِغتَرِبِ
Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah
سافِر تَجِد عِوَضاً عَمَّن تُفارِقُهُ
Bepergianlah, kau akan mendapat ganti orang yang kau tinggalkan
وَاِنصَب فَإِنَّ لَذيذَ العَيشِ في النَصَبِ
Berusahalah, karena nikmatnya hidup ada dalam usaha
إِنّي رَأَيتُ وُقوفَ الماءِ يُفسِدُهُ
Sungguh, aku melihat air yang tidak mengalir pasti kotor
إِن ساحَ طابَ وَإِن لَم يَجرِ لَم يَطِبِ
Air akan bersih jika mengalir, dan akan kotor jika menggenang
وَالأُسدُ لَولا فِراقُ الأَرضِ مااِفتَرَسَت
Kalau tidak keluar dari sarangnya, singa tak akan mendapatkan mangsa
وَالسَهمُ لَولا فِراقُ القَوسِ لَم يُصِبِ
Kalau tidak meleset dari busurnya, anak panah tak akan mengenai sasaran
وَالشَمسُ لَو وَقَفَت في الفُلكِ دائِمَةًلَمَلَّها الناسُ مِن عُجمٍ وَمِن عَرَبِ
Matahari kalau berada di porosnya selamanya. Niscaya semua orang, baik Arab maupun non-Arab pasti bosan
وَالتِبرُ كَالتُربِ مُلقىً في أَماكِنِهِ
Timah akan seperti tanah, kalau berada di tempatnya
وَالعودُ في أَرضِهِ نَوعٌ مِنَ الحَطَبِ
Kayu cendana pun hanya akan seperti kayu bakar, bila menetap di tanah
Syair tersebut menjelaskan bahwa seorang yang berakal dan beradab tidak akan pernah menyia-nyiakan waktu dengan bersantai. Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Ttinggal di kampung halaman, seringkali menyia-nyiakan waktu, bersantai ria, tidak ada tantangan hidup yang berarti. Maka Imam Syafi’i memerintahkan meninggalkan kampung halaman untuk merantau.
Jika anak-anak kita sedih karena ditinggal atau berpisah dengan teman-temannya, maka yakinlah bahwa di tempat perantauan nanti akan mendapatkan teman baru sebagai gantinya.
Ketika seseorang keluar atau bergerak dari desanya untuk pergi menuntut ilmu, maka ibaratnya seperti air, jika air itu diam saja, maka air itu lama-lama akan rusak atau kotor dan keruh. Sedangkan kalau air itu bergerak atau mengalir maka air itu akan jernih.
Begitu juga dengan singa, ketika singa itu berdiam diri di sarangnya, maka dia tidak akan mendapatkan mangsa. Jika singa mau mendapatkan mangsa, maka singa harus keluar dari sarangnya. Syair tersebut juga mencontohkan dengan busur, matahari, timah dan kayu cendana.
Perumpamaan-perumpamaan itu memiliki makna yang sama. Agar seseorang tidak berdiam diri di kampung halamannya atau di desanya, tetapi harus keluar dari kampung dan desanya. Ulama-ulama kita terdahulu pun begitu, demi mendapatkan sebuah ilmu, mereka rela melakukan perjalanan yang jauh dan panjang, demi mendapatkan suatu ilmu.
Seperti Imam Al-Bukhari, demi mencari ilmu dan demi bertemu sendiri dengan seorang perawi, Imam Bukhari rela mengembara dan melanglang buana ke sejumlah tempat seperti: Makkah, Madinah, Syam, Baghdad, Wasit, Basrah, Bukhara, Kufah, Mesir, Harah, Naisapur, Qarasibah, ‘Asqalan, Himsh, dan Khurasan.
Imam Ghazali dalam menuntut ilmu juga berkeliling ke beberapa daerah seperti: Naisabur, Khurasan, Damaskus, Mekkah, Baitul Maqdis, dan Mesir. Imam Ahmad bin Hanbal juga merantau dalam mencari ilmu ke Baghdad, Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman dan Syam.
Hampir tidak ada ulama besar dahulu yang berdiam diri di tempat tinggalnya, semuanya keluar dari kampung halamannya untuk mencari ilmu dan pengalaman.
Lantas masihkah kita menahan anak-anak kita untuk merantau menuntut ilmu? masihkah kita merasa berat ketika berpisah dengan anak untuk pergi jauh menuntut ilmu? masihkah kita eman-eman untuk tidak hidup berdekatan dengan anak? sekali lagi ingat kembali puisi Kahlil Gibran bahwa anakmu sejatinya bukan milikmu.