Oleh Agus Hariono
Mendidik keluarga adalah salah satu pendidikan paling sulit yang pernah saya jumpai. Betapa tidak, banyak guru yang mengeluh karena tidak bisa mengajari putra-putrinya di rumah. Meskipun mereka sebagai seorang guru di sekolah, ternyata ketika di rumah tidak lantas di amini oleh putra-putrinya. Orang tua ya orang tua, bukan guru. Sehingga yang berhak mengajar adalah guru yang ada di sekolah, bukan guru yang sekaligus orang tua di rumah.
Meski orang tua memiliki jabatan fungsional yang lebih tinggi dibanding dengan gurunya di sekolah, namun tidak lantas otomatis orang tua juga disegani putra-putrinya di rumah. Kata-kata guru di sekolah lebih diperhatikan ketimbang kata orang tua. Kata guru bak kata malaikat. Kata-katanya memiliki daya sihir yang kuat. Tidak saja di sekolah namun juga di rumah. Kenyataan ini, terjadi utamanya pada siswa usia sekolah dasar.
Meski terjadi demikian, tetapi masih banyak orang tua yang sekaligus merangkap sebagai seorang guru. Banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk menjawab mengapa anak di rumah tidak yakin dengan kompetensi orang tua, meski sang anak juga tahu kalau orang tuanya juga guru. Barangkali satu alasannya adalah saking dekatnya sang anak dengan orang tua dibanding guru.
Kedekatan anak dengan orang tua dan kaitannya dengan pendidikan kadang juga simalakama jika tidak tepat dalam menempatkannya. Ada seorang guru yang pernah bercerita kepada saya tentang cara mendidik anaknya ketika di rumah. Karena ia guru anaknya di sekolah sekaligus juga orang tua ketika di rumah. Agar taji sama antara di rumah dan di sekolah, antara yang serius dan bercanda, maka, ia menggunakan strategi dengan mengatur bahasa.
Umumnya bahasa yang digunakan di sekolah adalah bahasa Indonesia, sedang ketika di rumah menggunakan bahasa daerah masing-masing. Agar kesan sekolah tetap, meskipun sudah di rumah, khususnya ketika mendampingi anak belajar, maka dalam berkomunikasi ia full menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga kesan formalnya masih terasa, kendati sudah berada di rumah. Juga dalam memberikan wejangan-wejangan kepada sang anak, ia selalu menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa formal. Cara itu sekaligus untuk membedakan hal-hal yang serius dan yang biasa percakapan biasa ketika di rumah.
Menurutnya cara itu efektif untuk mendidik anaknya ketika di rumah. Setiap ia menggunakan bahasa Indonesia formal, anak langsung paham bahwa orang tua akan menyampaikan sesuatu yang penting dan serius. Tentu, untuk memulai bukanlah suatu yang mudah. Butuh ketelatenan dan koordinasi kedua orang tua. Kedua orang harus kompak dalam melaksanakan setiap rencana pendidikan di rumah untuk anaknya.
Orang tua adalah perwakilan masyarakat. Jika orang tua tidak bisa merepresentasikan citra masyarakat yang baik, komitmen dan konsisten. Salah satu akibatnya, anak menjadi kurang percaya kepada orang tua. Bahwa menjalankan program apa pun di rumah, orang tua satu dengan yang lain—meniru ilmunya strategi marketing—harus saling mengedifikasi. Saling membesarkan dan melindungi. Tentu, melindungi dalam bingkai sesuatu yang memang layak untuk dilindungi. Tapi, untuk sesuatu yang tidak layak, maka orang tua juga harus berani mengakui kesalahan.
Meski belum pernah saya praktikkan, setidaknya pelajaran dari orang lain itu layak untuk disebarkan. Cara di atas bukanlah satu-satunya. Masih banyak cara yang bisa orang tua gunakan untuk menyiasati agar anak tetap patuh dan taat pada orang tua saat di rumah. Anak segan dan sungkan kepada orang tua. Kedekatan, kasih sayang, boleh, asal tidak terlalu sehingga justru menjerumuskan sang anak.
Antara orang tua dan guru sebenarnya bisa sama-sama memiliki kekuatan, yaitu dengan kerja sama. “Sekolah yang baik adalah sekolah yang bisa bekerja sama dengan orang tua siswa, “kata pakar pendidikan. Artinya sekolah mampu menjalin komunikasi yang intens dengan orang tua, sehingga sama-sama bisa mengetahui perkembangan anak di rumah dan di sekolah. Di samping itu, saling mengedifikasi adalah cara yang bisa digunakan oleh keduanya untuk mendapatkan kepercayaan dari sang siswa atau anak.
Tetapi jika melihat perkembangan saat ini, ternyata kejadian sebaliknya juga banyak terjadi. Yaitu anak terlalu percaya kepada orang tua dan cenderung meremehkan guru. Pengaruh orang tua kepada anak yang terlalu kuat ternyata justru tidak baik ketika berada di sekolah. Apalagi jikalau komunikasi orang tua dan sekolah tidak terjalin dengan baik. Maka, anak cenderung resisten kepada guru. Tentu, kondisi demikian ini sangat tidak nyaman bagi guru.
Pelaksanaan sekolah yang sangat transaksional memaksa orang tua menuntut apabila hak-haknya tidak dipenuhi. Penyampaian tuntutan itu salah satunya melalui sang anak. Anak yang menjadi alat bagi orang tuanya ini, membuat hubungan guru dan siswa menjadi seperti penjual dan pembeli. Bukan lagi hubungan guru dan siswa yang mengedepankan sikap saling menghormati dan menghargai, melainkan untung dan rugi.
Melihat kenyataan itu pasti semua tidak sepakat. Karena demikian itu bisa merusak iklim yang ada dalam dunia pendidikan. Tetapi, apa boleh buat. Di antara kita sering tidak menyadari telah melakukan tindakan demikian itu. Parahnya tidak ada yang berani mengakui. Ya, karena itu sudah dianggap umum. Sehingga wajar terjadi.
Tulisan yang subyektif ini, setidaknya bisa menjadi koreksi bagi penulis, agar setidaknya bisa mencegah agar kasus-kasus di atas tidak terjadi pada keluarganya kelak. Sesuatu yang ada pada diri sendiri memang susah untuk dilihat, apalagi berupa kesalahan. Susah mendeteksinya, karena risikonya adalah harga diri. Mengakui kesalahan sama dengan mempertaruhkan harga diri. Oleh karenanya, demi kualitas moral pendidikan generasi bangsa dan agama, saya berdoa semoga diberi kekuatan untuk bisa melihat kesalahan diri sendiri.
Wallahu a’lam!