Oleh: M Arfan Mu’ammar
Sejak saya lulus Gontor tahun 2003, saya paling malas kalau disuruh ceramah atau khutbah. Jangankan khutbah idul fitri dan idul adha, khutbah Jum’at saja saya ogah-ogahan kalau disuruh. Selalu saja ada alasan untuk menolak.
Paling banter saya memberikan kultum di bulan Ramadhan setahun sekali. Sebenarnya banyak jama’ah yang suka dengan cara penyampaian saya, dan selalu menanyakan kenapa serangkali tidak mau. Saya jawab “belum siap”.
Saya merasa diri ini belum pantas menasehati orang lain. Lha wong saya sendiri belum bisa maksimal berbuat baik. Masih merasa banyak dosa. Gak pantas.
Waktu di Gontor pun saya bukan termasuk santri yang pandai bermuhadharah. Selalu saja malu dan kalah berani dengan teman-teman saya yang lain. Dan saya tidak pernah merasa punya bakat berbicara di depan orang.
Hingga pada tahun 2014, saya disadarkan oleh perkataan teman saya. Dia mengatakan bahwa: “mestinya pak Arfan yang lulusan pesantrenlah yang seharusnya terjun berdakwah di masyarakat, saya saja yang bukan lulusan pesantren mau turun berdakwah”.
Perkataan itu yang kemudian sedikit demi sedikit membuka pikiran saya, walaupun sebenarnya masih merasa belum pantas. Saya masih selalu dihantui “kaburo maktan ‘indallahi antaqulu mala taf’alun”. Bagaimana saya bisa menasehati orang lain, sedangkan saya sendiri belum melakukan?
Tapi jika terus menunggu saya pantas, terus kapan mau mulai berdakwah? Bukankah dengan berdakwah kita bisa perlahan memantaskan diri? Bukankah dengan berdakwah sedikit demi sedikit kita bisa memperbaiki diri?
Akhirnya dengan membulatkan tekad dan mengucap bismillah, di tahun 2014 saya membuka diri untuk mulai “mau” diminta berceramah dan tidak mencari-cari alasan untuk menolak, kecuali jika memang betul-betul berhalangan.
Awalnya hanya satu dua masjid, sekarang sudah puluhan masjid. Awalnya Hanya satu dua orang yang mengenal, sekarang sudah ribuan orang mengenal. Awalnya hanya kultum dan khutbah Jum’at, sekarang sudah tabligh akbar, kajian rutin, idul adha dan idul fitri. Bahkan untuk idul fitri saya sudah ada jadwal di tahun 2024.
Semua berjalan secara natural. Tidak ada promosi, tidak ada iklan. Hanya lewat lisan ke lisan. Dalam bahasa Jawa disebut getok tular. Seringkali yang pernah mengundang, akan mengundang lagi untuk kedua kalinya, ketiga kalinya dan seterusnya.
Dan yang paling saya suka dari berdakwah, khususnya yang kajian rutin adalah: saya dipaksa untuk belajar kembali, dipaksa untuk membuka-buka kembali kitab turats. Saya jadi teringat perkataan kyai saya di pondok dahulu bahwa: “sebaik-baik belajar adalah dengan mengajar”.
Kadang ada perasaan malas, tapi juga berpikir apa yang akan saya sampaikan jika saya tidak menyiapkan materi, khususnya yang kajian rutin. Kalau di perkuliahan mungkin kita masih bisa menggunakan materi atau power point semester lalu, karena menghadapi mahasiswa yang berbeda. Tapi jika kajian rutin tidak bisa. Setiap pertemuan harus materi baru yang disampaikan, dan setiap penyampaikan saya selalu menyiapkan power point. Jadi ada proses membaca, meringkas dan menulisnya di power point. Dan itulah proses belajar.
Itulah yang saya suka dari berdakwah. Apalagi yang lebih baik hidup di dunia ini, kecuali agar kita bisa bermanfaat bagi orang lain. “Khoirunnasi anfa’uhum linnas” (sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lain.
Memang untuk bisa bermanfaat tidak harus lewat mengajar, tapi mengajar adalah salah satu cara agar diri dan ilmu yang kita dapat bisa bermanfaat. Dan ilmu yang bermanfaat adalah satu dari tiga hal yang dapat terus mengalir pahalanya walaupun kita sudah tutup usia.