Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Saat masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah, aku paling senang kalau ayahku yang datang dari luar kota memberiku hadiah pensil baru. Biasanya tidak hanya satu, tapi beberapa yang berwarna-warni. Hingga duduk di Madrasah Aliyah, aku tetap menggunakan pensil untuk “jenggoti” kata Arab yang asing artinya. Bahkan sampai kuliah S2 masih menggunakannya terutama untuk menggarisbawahi kalimat dan kata penting dalam buku. Namun, sejauh itu pula tidak pernah merenungkan lebih dalam di balik pensil.
Baru belakangan ini saja berpikir tentang makna di balik pensil. Pertama, Pensil itu bisa menulis karena ada yang menggerakkan. Manusia bisa bergerak karena Allah. Sukses itu karena iradah Allah. Namun, saat gagal, karena disandarkan kegagalanr itu pada dirimu sendiri.
Kedua, kalau pensil yang digerakkan tangan kita itu menulis salah, sesungguhnya selalu ada kesempatan dihapus dan diperbaiki. artinya, manusia itu sangat mungkin menebus keburukan dengan kebaikan. Wa atbiis sayyiatal-hasanata tamhuha, ikutilah keburukanmu itu dengan kebaikan yang akan menghapusnya.
Ketiga, kalau sudah tumpul, harus diraut. Seseorang yang sudah tidak punya ide untuk menulis, maka perbanyak lagi membaca. Teruslah belajar. Gagal itu menyakitkan, tapi berlakulah dewasa. Gagal itu biasa, bangkit lagi itu luar biasa.
Keempat, yang bisa menulis itu isinya yang hitam, bukan kayunya. Tampilan hanya membantu. Isilah yang sesungguhnya bermakna. Manusia jangan sampai terkecoh oleh penampilan belaka. Isi justru lebih penting.
Kelima, pensil itu membawa bekas. Hidup kita juga meninggalkan bekas bagi semua orang. Tulislah yang baik, agar meninggalkan bekas yang baik.
Yang tidak bisa disembunyikan dan selalu ada bekasnya oleh seseorang adalah batuk dan jatuh cinta. Maklum, sudah sepuluh hari ini batuk. Tapi tidak jatuh cinta (lagi).
Bis Eka Cepat, antara Ngawi-Sragen menuju Jogja. 5:31, 06-08-2019.