Belajar Islam Secara Instan

0
1099

Oleh: M Arfan Mu’ammar

Semakin hari dunia samakin instan dan pragmatis. Bukan hanya makanan dan minuman yang instan, tetapi cara belajarpun instan. Karena cara belajarnya instan, maka dia menjadi sosok atau profil yang instan.

Instan maknanya cepat jadi, tidak ingin berproses lama, atau dalam bahasa lain, tergesa-gesa. Manusia memang diciptakan memiliki sifat suka tergesa-tergesa. Ingin sesuatu yang instan, cepat jadi. Malas berproses.

Allah berfirman dalam Al-Quran: “Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa” (QS. Al-Isra: 13). “Manusia diciptakan (bersifat) tergesa-gesa” (QS. Al-Anbiya: 37). Tergesa-gesa ingin kaya. Tergesa-gesa ingin sukses. Tergesa-gesa ingin pintar. Tergesa-gesa ingin populer dan sebagainya.

Maka tidak heran, jika banyak ditemukan judul buku atau video yang diawali dengan kata “cara cepat”. Misalkan: cara cepat mendapatkan seribu subscriber dalam sehari. Karena subscriber youtubenya tidak naik-naik, maka para youtuber pemula menempuh jalan instan dengan membeli subscriber.

Atau ada buku yang berjudul: “cara cepat belajar bahasa inggris dalam 30 hari”. Ingin pintar saja butuh cepat-cepat. Kalau ada tawaran 1 hari cepat bahasa inggris, bisa jadi yang diambil 1 hari. Ya begitulah sifat manusia, suka tergesa-gesa.

Dan buku atau video yang diawali dengan judul “cara cepat”, biasanya memang banyak ditonton dan mudah laku. Hal tersebut menunjukkan bahwa sifat manusia ingin cepat-cepat sampai. Tidak ingin berlama-lama. Kalau bisa dipercepat, kenapa diperlama? kira-kira begitu alasan manusia.

Media sosial yang ada saat ini, membuat manusia melakukan sesuatu dengan serba cepat. Akses informasi dengan sangat cepat. Menyebar informasi juga tidak kalah cepat. Kecepatan akses dan menyebar informasi itu kemudian dimanfaatkan oleh manusia untuk belajar banyak hal, salah satunya adalah belajar agama.

Karena masyarakat Indonesia tingkat literasinya rendah, malas dan tidak suka membaca, maka media sosial yang paling banyak diminati adalah youtube. Tanpa membaca, cukup dengan mendengarkan sambil tidur-tiduran sudah mendapatkan informasi.

Banyak hal yang bisa diakses melalui youtube, mulai dari konten yang remeh-temeh, konten haha-hihi, konten prank, hingga konten edukatif seperti kajian dan sebagainya.

Belajar Islam melalui media sosial seperti youtube tentulah harus pintar dan kreatif. Karena antara satu penceramah dengan penceramah yang lain memiliki perbedaan pandangan. Pendengar harus pintar memilih dan memilah mana penceramah yang sesuai dengan ideologi yang dianut. Mana penceramah yang tidak radikal cara berpikirnya, dan juga tidak terlalu progresif dalam berpikir.

Belajar Islam melalui youtube tentulah tidak cukup, karena Anda harus juga menelusuri berbagai literatur keislaman melalui beberapa sumber dan juga mengechek keabsahan dari yang disampaikan oleh penceramah, mungkin ia salah ucap atau salah kata. Sebab video tidak seperti tulisan di website yang mudah untuk direvisi atau diedit. Jika tulisan di website salah, Anda tinggal edit beberapa dalil atau kata yang salah kemudian klik update, selesai. Hanya dalam hitungan menit.

Akan tetapi jika video di youtube, terdapat beberapa kesalahan ucap dan kata, Anda tidak bisa mengedit video itu, tetapi Anda harus melakukan rekaman ulang dari awal hingga akhir. Atau Anda memberi catatan pada menit ke berapa ketika Anda salah ucap, lalu di bawahnya diberi catatan. Setelah itu butuh waktu untuk merender video, lalu mengupload ulang.

Saya pernah menemukan kesalahan semacam itu, padahal sang penceramah sudah ekspert dan sekelas guru besar. Setelah saya chek kembali dalil yang disampaikan, ada beberapa kesalahan ucap, jika yang mendengar hal ini adalah orang awam, tentu akan menjadi jariyah suu’.

Oleh sebab itu, menjadikan youtube sebagai satu-satunya sumber dalam belajar agama adalah tidak baik. Karena kita harus tetap merujuk dan mengcrosschek kembali apa yang disampaikan dengan sumber otentik yang ada.

Namun demikian, menjadikan youtube menjadi “salah satu” sumber belajar, juga tidak ada salahnya. Sama saja kita belajar dalam sebuah majlis, tetapi tidak langsung hadir dalam majlis tersebut. Justru youtube membantu kita untuk bisa belajar dengan banyak ustadz di banyak majlis di tempat yang mungkin tidak terjangkau.

Anda bisa mendengar ceramah gus Baha, tanpa harus pergi ke Narukan Sarang Rembang atau Anda bisa menyimak kajian ustaz Adi Hidayat tanpa harus ke Jakarta. Atau bahkan Anda bisa mendengar kajian kitab Al-Hikam yang disampaikan oleh almarhum Hasyim Muzadi, walaupun beliau saat ini sudah tiada. 

Juga misalkan mendengarkan kajian keagamaan dari para akademisi Indonesia yang berkiprah di luar negeri tanpa harus ke luar negeri. Misalkan mendengarkan kajian kritis Mun’im Sirry di Notre Dame Amerika, kajian keagamaan Nadirsyah Hosen di Australia, kajian keagamaan Sumanto Al-Qurthuby di Jeddah, dan sebagainya.

Lantas kemudian apakah kemudahan akses mendapatkan informasi seperti di atas menjamin semakin berkualitasnya keilmuan seseorang?

Mestinya iya. Tetapi kenyataannya tidak. Ulama-ulama zaman dahulu mencari ilmu dengan susah payah. Datang kesatu majelis dan ke majelis yang lain untuk menimba suatu ilmu. Jarak antara satu majelis dengan majelis yang lain tidaklah dekat, apalagi dengan sarana transportasi yang sangat tidak memadai saat itu. 

Akan tetapi, ulama-ulama kita dahulu memiliki penguasaan ilmu yang luar biasa. Memiliki karya-karya monumental yang sangat luar biasa. Berjilid-jilid dan masih terus dikaji hingga saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa keterbatasan teknologi tidak lantas membuat orang-orang zaman dahulu tidak produktif dan tidak berkualitas secara keilmuan.

Memang ada rasa yang berbeda, ketika kita betul-betul hadir dalam sebuah majelis secara offline, dengan hadir di suatu majelis secara online. Hadir di majelis secara offline, kita bisa berdiskusi dan bertanya langsung jika ada yang belum faham. Hadir di majelis secara offline mendapatkan suasana berbeda yang tidak dapat dirasakan bagi mereka yang melihat secara online. Seperti Anda saat melihat sepak bola di televisi atau live streaming youtube dengan ketika melihat sepak bola di stadion yang sangat besar. Akan sangat jauh berbeda, suasana dan hiruk pikuknya.

Semakin cepat sesuatu itu kita dapatkan, sejatinya semakin mudah sesuatu itu hilang dari kita. Mungkin saya bisa mengilustrasikan seperti seseorang yang kaya raya, ia dengan mudah membeli sepeda Honda PCX, bahkan beli 2 atau 3 akan dengan mudah mendapatkannya. Karena mudah didapatkan, dia tidak “aware” terhadap apa yang dimilikinya. “Nanti kalau rusak, kan bisa beli lagi”. Dia tidak betul-betul menjaganya, sehingga sepedanya tidak terawat dengan baik.

Berbeda dengan orang yang pas-pasan dalam hidupnya. Untuk bisa membeli sepeda Honda PCX, dia harus menabung bertahun-tahun. Rela untuk menahan lapar, rela untuk mengurangi uang jajan, rela untuk tidak beli HP baru atau baju baru, demi bisa membeli sepeda Honda PCX.

Setelah tabungannya cukup, kemudian dia membelinya. Perlakuan dia terhadap sepeda itu akan jauh berbeda dengan orang yang dengan mudah membelinya. Orang kedua ini akan sangat “aware” dengan apa yang dia beli. Karena dia merasa sangat susah dalam mendapatkannya, maka dia harus menjaganya dengan baik-baik, merawatnya dengan baik. Bahkan ada lecet sedikit langsung diperbaiki dan dijaga betul.

Begitu juga dengan kondisi saat ini. Kita sangat mudah mendapatkan ilmu dengan kecanggihan teknologi. Sehari mau mendengarkan banyak kajian tanpa harus kemana-mana pun bisa. Karena kemudahan itu, kita tidak “aware” dengan apa yang kita dapatkan. “Nanti kalau lupa kan bisa diputer lagi videonya”. Sehingga kita males untuk menghafal, males untuk mengingat-ingat dan males untuk mencatat.

Berbeda dengan orang zaman dahulu yang dengan bersusah payah mendatangi kajian ilmu, bahkan dari luar kota. Waktu itu tidak ada alat perekam. Satu-satunya jalan adalah mendengarkan dengan seksama, mencatat dan menghafal. 

Dia merasa bahwa perjalanan yang jauh dan melelahkan ini tidak boleh disia-siakan, dan akan sulit berada di lokasi itu lagi, maka ia bersungguh-sungguh dalam mengikat ilmu. Walhasil, ilmu yang didapat lebih melekat, lebih bertahan lama dan tidak mudah hilang.

Oleh sebab itu, belajar Islam melalui youtube hanyalah sarana pendukung kita dalam belajar Islam. Bukan satu-satunya sumber utama kita dalam belajar Islam. Karena apa yang kita dapat secara instan, akan hilang secara instan, begitu juga sebaliknya. Wallahu A’lam.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here