Oleh Agus Hariono
“Diskusi itu bukan persoalan siapa menang atau kalah, bukan siapa yang lebih pintar. Melainkan siapa yang biasa mendekatkan yang lain pada hal yang lebih benar.”—Deni Siregar.
Salah satu alasan orang melakukan diskusi adalah untuk memutus atau mencari solusi atas suatu masalah. Biasanya, masalah tersebut menyangkut kepentingan banyak orang, meski kadang juga dilakukan oleh hanya dua orang saja. Tapi, intinya diskusi merupakan jalan untuk memecahkan suatu masalah.
Selayaknya orang berdiskusi, pasti mereka akan mendengarkan satu persatu pendapat dari masing-masing anggota. Tentu dengan beragamnya anggota, corak pemikiran pun akan berbeda. Hal tersebut sangatlah wajar dan lazim. Karena memang tidak ada orang yang sama dan bisa disamakan dalam hal pemikiran. Apalagi ide.
Corak pemikiran yang berbeda, tentu juga diikuti dengan kemasan penyampaian yang berbeda pula. Ada yang penyampaiannya kaku, serius. Ada pula yang gaya penyampaiannya slengekan, penuh candaan. Namun, itulah proses diskusi. Semua berhak mengeluarkan ide dan pendapat. Tentu saja disertai dengan pertanggungjawaban, tidak asal nyerocos. Hehe. Ragam ide, pendapat, bahkan komentar, itulah dinamika dalam diskusi.
Dalam suatu komunitas kecil dan sederhana, lazim jika semua yang berdiskusi memiliki pendapat yang sama. Sekali lagi, tentu semua harus mempertanggungjawabkannya, akan tetapi, kurang pantas jika satu dengan yang lain saling menghakimi. Sering dijumpai, dalam sebuah diskusi, ada anggota yang merasa tua. Yang bicara paling belakang dan ngegongi, alias memfinal materi diskusi padahal belum selesai.
Saya sering mengamati, orang-orang macam ini itu ternyata ada di mana-mana. Entah, motifnya apa saya kurang tahu. Atau jangan-jangan saya sendiri juga pernah melakukan demikian, di mata teman-teman diskusi saya. Maafkan saya, kalau menemui saya pernah melakukan hal yang demikian itu. Hehe.
Melihat ada orang yang demikian itu, saya selalu geleng-geleng kepala. Apa sih maunya? Apa ingin dianggap sebagai orang yang paling bijak. Dan saya rasa tidak. Mungkin mereka sudah biasa bersikap demikian ketika berada dalam komunitasnya yang lain. Suka memfinal sebelum diskusi matang. Yang kadang miris lagi, susah membedakan mana orang yang berargumen dengan orang yang eyel-eyelan. Atau mana orang yang eyel-eyelan dengan orang yang berargumen. Hehe. Kalau ditanya saya juga bingung. Tapi, tentu masih bisa dinilai dari esensi pembicaraannya.
Tambah risih lagi ketika ada yang bilang, “sudah sama-sama besarnya… bla bla...” “Memangnya apa jaminannya kalau sudah sama-sama besarnya,” kata anggota yang lain menanggapi. Ya, memang benar dalam sebuah diskusi tidak ada kaitan dengan sudah sama-sama besar. Ini kan artinya mempersoalkan masalah usia. Lha padahal tidak ada jaminan ketika sudah sama-sama besar, masalah akan selesai. Justru kadang sebaliknya, tidak selesai-selesai lantaran sudah banyak kepentingan di sana-sini.
Dalam berdiskusi tentu ada mediator yang mengendalikan diskusi tersebut, ada pula rambu-rambu ke mana diskusi akan diarahkan. Nah, jika sudah ada yang mengendalikan tentu semua harus legowo mengikuti rule yang ada. Satu dengan yang lain tidak saling merendahkan dan meremehkan. Semua mendapat kesempatan untuk berpendapat, dan jangan sekali-kali melecehkan apalagi menghakimi pendapat orang lain dengan sebutan A, B atau C.
Etika dalam berdiskusi sesederhana apapun, tentu harus tetap ditegakkan. Karena salah-salah, kalau kelewatan justru menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Maunya memecahkan masalah, justru malah menambah atau membuat masalah. Tentu, kondisi seperti ini sama sekali tidak kita inginkan. Akan tetapi mungkin terjadi, jika kita tidak hati-hati. Mari berdiskusi dengan baik dengan mengedepankan kerendahan hati, dan bukan kecongkakan, tinggi hati.
Wallahu a’lam!