Bolehkah membayar fidyah kepada selain orang miskin?

0
5550

Bolehkah membayar fidyah kepada selain orang miskin?

 

Ada seorang jiran yang tiba-tiba menyerahkan RM 1.000. “Ust Zul, ini saya nak bayar fidyah arwah ayah saya. Saya tak pasti bila dia tak puasa. Tapi saya takut dia pernah tak puasa,” katanya.

“Baik nanti saya serahkan ke pihak pengurusan Masjid ye, Tuan,” sambung Ustadz Zul yang kebetulan menjadi Ahli Jawatan Kuasa Amil Zakat Masjid Sempang Kerayong.

“Oh, jangan. Untuk ke masjid sudah ada sendiri. Ini memang saya nak khaskan untuk Madrasah.”

Pertanyaannya:

Bolehkah menyerahkan fidyah kepada orang selain miskin, misalkan Madrasah?

Jawaban:

Pertama, penulis setidaknya menemukan perkataan “fidyah” sebanyak tiga kali dalam al-Quran. Salah satunya adalah al-Baqarah 184 yang menyebutkan kewajiban fidyah dan kepada siapa ia hendaknya diserahkan.

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ [٢:١٨٤]

  1. (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Dari ayat di atas, frase “fidyatun ṭa‘āmu miskīn” (yang berbaris bawah) menunjukkan dengan terang bahwa fidyah hendaknya dibayarkan kepada orang miskin.

Pemahaman ini diperkuat lagi oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Atha’:

4235 – حدثني إسحاق أخبرنا روح حدثنا زكرياء بن إسحاق حدثنا عمرو بن دينار عن عطاء: سمع ابن عباس يقرأ { وعلى الذين يطوقونه فدية طعام مسكين } . قال ابن عباس ليست بمنسوخة هو الشيخ الكبير والمرأة الكبيرة لا يستطيعان أن يصوما فيطعمان مكان كل يوم مسكينا

 

“Atha’ mendengar Ibn Abbas membaca ayat “wa ‘alā al-ladhīna yuṭīqūnahu fidyatun ṭa‘āmu miskīn”. Lalu ia berkata bahwa ayat tersebut tidaklah dihapuskan. Ayat tersebut bermakna bahwa seseorang yang sudah berumur baik lelaki maupun perempuan, yang tidak mampu berpuasa, maka dibolehkan baginya untuk (mengganti puasa tersebut) dengan memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya.”

Frase “miskīnan” yang datang setelah perintah membayar fidyah “yuṭ’imāni” dengan terang menunjukkkan kepada siapa pembayaran fidyah tersebut hendaknya dilakukan; orang-orang miskin.

Lalu, dalam konteks kes di atas, pertanyaannya adalah; apakah dibolehkan membayar fidyah kepada selain orang miskin?

Berdasarkan keterangan yang demikian jelas, penulis cenderung kepada pendapat bahwa fidyah tersebut harus sedaya upaya mungkin diserahkan kepada orang miskin. Namun jika sudah benar-benar diusahakan, sekali lagi benar-benar diusahakan, lalu tidak terjumpa, maka rasanya bolehlah bagi kita untuk mengqiyaskan fidyah itu dengan zakat. Artinya, ia dapat didistribusikan kepada golongan selain miskin yang termasuk dalam delapan golongan yang telah ditentukan sebagaimana tertera dalam al-Tawbah 60 (faqir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, fi sabilillah, ibn Sabil).

Karena itu, adakah keinginan si pembayar fidyah untuk membayar fidyahnya di Madrasah dapat dibenarkan?

Jika di Madrasah ada seorang pelajar yang miskin, maka diperbolehkan. Bahkan di situ ada dua pahala yang akan didapatkan yaitu merekatkan silaturrahim dan membayar fidyah itu sendiri. Bahkan beberapa ulama memperbolehkan menyerahkan semua RM1.000 tersebut kepada seorang miskin saja. Di antara yang dapat disebutkan di sini adalah pendapat Ibn Sulaiman al-Mardawi al-Hanbali dalam kitabnya Al-Inṣāf fī Ma’rifati al-Rājiḥ min al-Khilāf ‘alā Madhab al-Imām al-Mubajjal Aḥmad bin Ḥanbal (Juz 3, hal. 292):

يجوز صرف الإطعام إلى مسكين واحد جملة واحدة بلا نزاع

Disepakati tanpa pengecualian bahwa dibolehkan membayarkan fidyah tersebut kepada satu orang miskin saja senilai total fidyah yang harus dibayarkan (jumlah wāḥidah).

Selain itu, pertimbangan untuk dibolehkannya memberikan seluruh jumlah fidyah tersebut kepada satu orang miskin juga didasarkan atas pertimbangan bahwa nas yang ada, baik dari al-Quran maupun hadits, tidak terlihat menayangkan petunjuk yang jelas; apakah ia harus diberikan kepada sekian banyak orang miskin yang berbeda, dari hari ke hari sebanyak hari puasa yang ditinggalkannya; ataukah dibolehkan jika hanya diberikan kepada satu orang miskin saja.

Pada saat yang sama, sebagaimana dijelaskan oleh Sheikh Yusuf al-Qaradlawi dalam kitab monumentalnya Fiqh al-Zakāh (Juz 1 hal. 28) (innahā laysat ‘ibādah maḥḍah bal hiya ḥaqqun ma‘lūm wa ḍarībatun muqarrarah), bahwa zakat ini, dalam hal dapat diqiyaskan kepada fidyah, bisa dikategorikan dalam ibadah ghayru maḥdhah (tidak murni) yang lebih goal-oriented. Alias, ia tidak melulu mengikuti peraturan yang rigid, kaku dan apa adanya sepertimana yang ada dalam ibadah maḥdhah (murni).

Oleh karena itu, pemberian fidyah hanya kepada satu orang miskin di Madrasah, kalau pun itu ada, maka dapat dibenarkan dengan alasan kemudahan memberikannya, dan juga mengikuti kehendak pemberinya yang memang ingin, di samping membayar fidyah, juga bersedekah ke Madrasah.

Satu hal yang perlu diketahui juga adalah besar fidyah tersebut adalah, menurut satu pendapat, 1 mud, yaitu satu cupak. Kurang lebih seperempat dari besar zakat fitrah. Satu mud yang diberikan kepada satu orang miskin setara dengan satu hari puasa yang ditinggalkannya.

Pembaca yang budiman,

Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kes ini adalah:

Ṭa‘ām al-Miskīn, bukan Iṭ‘ām al-Miskīn

Kita barang kali sering menganggap bahwa orang yang kita beri fidyah, atau dalam tataran yang lebih luas yaitu zakat, seakan-akan lebih rendah dari pada kita. Sebab, “al-yad al-‘ulya khayr min al-yad al-suflā.” Pemberi lebih baik dari pada penerima. Dalam batasan tertentu, hal ini dapat dibenarkan.

Tapi, jika kita simak benar-benar susunan nas yang menerangkan kompensasi dari ketidakberdayaan kita untuk berpuasa tersebut adalah ṭa‘ām al-miskīn, bukan iṭ‘ām al-miskīn. Pertama berarti, harta yang kita berikan tersebut adalah memang hak mereka yang dititipkan oleh Allah Swt kepada kita. Adapun yang kedua berarti, harta orang yang kaya yang memang ingin disedekahkan kepada orang miskin. Yang pertama berkonsekuensi pada kewajiban; sementara yang kedua lebih pada sunnah, yaitu keredhaan hati sang pemberi tersebut.

Karena itu, dengan fakta ṭa‘ām al-miskīn tersebut, perlu kita tanamkan dalam hati kita, bahwa tidak semestinya orang yang berfidyah atau berzakat itu menjadi sombong sebab menjadi seorang pemberi. Sebab, harta tersebut memang bukan milik mereka. Tapi milik orang miskin yang sengaja dititipkan pada harta orang kaya.

Fakta ini juga semestinya menuntun kita kepada pemahaman lain bahwa kita tidak boleh sesuka hati memberikan harta fidyah dan/atau zakat tersebut kepada orang yang kita suka. Sebab Allah Swt sudah menentukan siapa pemilik harta tersebut dan karenanya harus kita berikan kepada mereka pemegang hak tersebut.

Zakat dan Fidyah

Yang perlu diketahui adalah bahwa fidyah memiliki beberapa perbedaan dengan zakat – seiring dengan beberapa persamaannya. Sebagaimana yang kita tahu, zakat adalah harta milik orang fakir miskin (ṭa‘āmu miskīn) dan golongan lainnya (mustahiq) yang dititipkan oleh Allah Swt di dalam harta orang-orang kaya dan/atau yang berhak mengeluarkannya. Artinya, ia bersifat wajib. Mau tidak mau. Suka tidak suka.

Adapun fidyah, maka sebenarnya ia juga bersifat wajib. Hanya, yang membedakan fidyah dengan zakat adalah fidyah itu bersifat insidentil, sementara zakat lebih bersifat regular. Fidyah tidak dikeluarkan, misalkan, per tahun sebagaimana zakat. Sebagaimana arti dari fidyah itu sendiri yang bermaksud “tebusan” (fadā yafdī), maka fidyah dilakukan sebagai tebusan atas sebuah “pelanggaran” atau ketidakberdayaan yang dilakukan. Ada fidyah dalam ibadah haji karena mengerjakan beberapa larangan yang telah ditentukan. Ada juga fidyah dalam puasa sebab tidak berdaya menyelenggarakannya. Terlebih lagi fidyah untuk membebaskan tawanan dalam sebuah peperangan.

Dari keterangan di atas, dapat juga kita mengambil garis perbedaan bahwa secara umum, penerima zakat sudah dikhususkan kepada yang delapan itu (mustaḥiqqīn). Sementara penerima fidyah dikhususkan kepada golongan miskin.

Wallahu A’lam

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here