Oleh: Eni Setyowati
Tidak ada yang istimewa dari buku ini. Jika dilihat dari cover dan isinya, seperti halnya buku-buku yang lain. Buku berjudul “Negeri Tak Terlihat” ini adalah hasil karya anak saya yang kecil. Buku ini adalah buku perdana yang ia tulis, dan merupakan pengalaman pertama ia bergelut di literasi, khususnya di dunia tulis-menulis. Buku ini adalah buku yang berkisah tentang petualangan. Mengapa ia menulis buku tentang petualangan, karena memang ia suka membaca buku-buku cerita petualangan, certa lucu, bahkan cerita horor. Mungkin ide menulis buku ini terinspirasi dari kesukaannya membaca cerita tentang petualangan.
Tentunya saya telah membacanya, biasa saja dan tidak ada yang istimewa, bahkan di awal-awal bab ada beberapa kalimat yang menurut saya “mbulet”, kadang membingungkan, ataupun kurang enak dibaca. Itu biasa, karena ia masih belajar menulis. Jangankan masih sekali, yang beberapa kali menulis saja, seringkali mengalami kalimat yang membingungkan juga hehehe. Namun, begitu saya meneruskan membaca hingga akhir, terlihat ada kemajuan. Di halaman-halaman belakang, kalimat sudah mulai teratur, dan cukup enak dibaca. Alhamdulillah, ini menunjukkan proses yang luar biasa, sehingga menghasilkan peningkatan yang luar biasa juga. Meskipun buku ini ada editornya, tetapi saya yakin editor hanya bersifat membantu, penulislah yang mempunyai andil utama. Terimakasih kepada bu Mugi yang telah menjadi editor buku ini, serta kepada media guru yang telah memfasilitasi untuk pelatihan dan penerbitan buku ini. Dan terkhusus untuk bu Tuti Haryati selaku Kepala SMP Islam Al-Azhaar Tulungagung yang telah menginisiasi program literasi di sekolah, sehingga mampu menghasilkan santri-santri luar biasa yang berkiprah di dunia literasi. Semua asatid di SMP Islam Al Azhaar Tulungagung yang juga memotivasi program ini, terimakasih. Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu hingga buku ini terbit.
Di dalam catatan singkat ini, saya tidak akan mengulas apa isi dari buku ini, namun saya akan lebih menceritakan proses penulisan buku ini dari awal hingga akhir. Sebelumnya saya mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberi jalan semua ini, dan kepada anakku Yafiz Raihan Anditya, yang selama ini telah mampu berjuang dan berproses dalam segala hal, semoga selalu menjadi anak sholeh yang bermanfaat dan selalu mendapat barokah dari Allah SWT. Aamiin.
Yafiz, itu panggilan anak saya yang kecil. Saya menyadari, setiap anak mempunyai jalan sendiri-sendiri. Seperti halnya dengan kedua anak saya, meskipun lahir di rahim yang sama, namun mempunyai karakter dan keinginan yang berbeda. Anak sulung saya (kini baru saja masuk kuliah), bernama Dimas. Tentang kesukaannya pada pelajaran, hampir sama dengan adiknya, yaitu matematika, hingga saat sekolah ia sering mengikuti olimpiade matematika. Karena kesukaannya hitungan, kini iapun mengambil jurusan teknik sipil. Dia suka menggambar juga, sama dengan adiknya, tetapi dia kurang menekuni terkait literasi. Ia lebih menyukai wirausaha. Sejak SMA ia sudah belajar berjualan online, bahkan pernah berjualan kripik dengan mengemas sendiri dan dijual secara online. Saat SMA ia sering mengikuti seminar-seminar tentang kewirausahaan. Bahkan, ia juga senang membaca buku-buku motivasi dari pegusaha sukses. Apapun itu, selama kegiatan yang positif, saya selalu mendukungnya.
Beda dengan adiknya. Meskipun awalnya mempunyai kegemaran yang sama, yaitu suka hitungan, suka menggambar, namun penyalurannya berbeda. Tak beda dengan kakaknya, sejak TK, si kecil juga sudah sering mengikuti lomba maupun olimpiade matematika. Bakat hitungannya sudah terlihat saat ia masih balita. Sebagai seorang ibu muda, tentunya saya kurang paham tentang bakat-bakat si anak, apalagi saya bukan orang psikologi. Namun, karena seringnya berinteraksi dengan anak, bakat itu sangat bisa terlihat. Sejak kecil, ia selalu kagum jika melihat angka, tetapi biasa saja saat melihat huruf. Pernah suatu hari, saat kami pergi, ia melihat angka, saat itu ia langsung teriak, “dua, empat”. Namun, saat melihat huruf ia diam saja. Seringkali seperti itu, hingga suatu hari saya mengambil kesimpulan, “oooo…anak ini suka angka/hitungan”. Kemudian, saat ia belajar di waktu kecil, terlihat ia suka mengerjakan soal hitungan daripada hafalan. Nah, saat itulah saya semakin yakin, ia lebih berbakat di hitungan. Tak saya sia-siakan, akhirnya bakatnya itu saya dukung. Sejak TK kecil, saya motivasi dengan memberikan fasilitas, hingga alhamdulillah ia sering mengikuti perlombaan matematika dengan hasil yang memuaskan. Terimakasih anakku, engkau telah membanggakan.
Di balik keinginannya yang besar untuk selalu belajar, ia mempunyai kesehatan yang kurang baik. Penyakit asmanya seringkali kambuh, hingga beberapa kali mengganggu prosesnya untuk belajar dan mengikuti perlombaan. Beberapa kali juga ia tidak jadi mengikuti lomba, karena tiba-tiba kondisinya drop. Banyak orang menyarankan untuk berenang. Saran itu saya terima, tetapi tidak segera saya laksanakan, karena saya sangat trauma jika melihat ia berenang. Ini mengingatkan saya saat ia masih PAUD, pernah terpeleset di kolam renang dan hampir tak tertolong, tetapi alhamdulillah ayahnya segera sigap dan iapun diangkat ke atas dalam keadaan selamat. Sejak saat itu, saya sangat takut jika ia berenang, dan saya berencana ia akan berenang jika usianya sudah memungkinkan untuk menjaga dirinya di kolam renang. Dan, rencana itu terwujud saat dia masuk SMP. Usia 12 tahun, kelas 7 SMP, telah menenangkan hati saya, bahwa ia telah bisa menjaga dirinya. Saat itulah sebagai orang tua, saya dan suami memutuskan untuk memprivatkan ia berenang. Selama setahun ia fokus dengan latihan berenang. Selama satu tahun saya dan suami fokus untuk kesehatannya. Saya tinggalkan sejenak urusan perlombaan/olimpiade untuknya. Latihan rutin olimpiade memang sempat terabaikan, tetapi itu tidak masalah. Hanya satu yang ada dalam pikiran orang tua, yaitu KESEHATAN. Alhamdulillah berkat olahraga renang, kesehatannya semakin bagus, daya tahan tubuhnya semakin baik dan alhamdulillah asmanya tidak pernah kambuh. Terimaka kasih ya Allah.
Meskipun, sempat terabaikan latihan olimpiade, tetapi tidak serta merta ia diam tidak melakukan apapun. Saya sebagai orang tuapun, berusaha mengalihkan kegiatannya yang tidak membutuhkan pemikiran yang berat seperti halnya belajar untuk olimpiade. Saat ia fokus olimpiade, maka setiap hari minimal ia harus latihan mengerjakan 10 soal, tentunya ini sangat menguras otak. Saat ia fokus kesehatannya, ia tetap belajar yang lain, ia sering melakukan pengamatan-pengamatan yang memungkinkan ia dapat belajar untuk membuat eksperiman, semoga ke depan bisa mengikuti kegiatan LKTI. Alhamdulillah kini ia sedikit demi sedikit mulai kembali ke kegiatan awal yaitu latihan olimpiade matematika lagi. Selain itu, kegemarannya menggambar ia gunakan untuk belajar membuat komik. Alhamdulillah di sekolahnya ada program literasi. Iapun akhirnya menggeluti juga dunia literasi hingga bisa membuat buku.
Tentunya, bagaimana ia bisa membuat buku, bukanlah hal yang instan. Bukan karena mamanya juga penulis dan menggeluti literasi, tetapi kemauan anaknya adalah nomor satu. Saya sebagai orang tua tentunya selalu mendukung dan memfasilitasi. Saat itu ia baru masuk di SMP Islam Al-Azhaar Tulungagung. Usianya 12 tahun. Kebetulan di sekolahnya ada program pelatihan “sasi sabu, sagu sabu” (satu siswa satu buku, satu guru satu buku) yang bekerja sama dengan media guru. Pelatihan itu berada di salah satu hotel di kota saya. Alhamdulillah ia berkesempatan mengikuti pelatihan ini selama dua hari. Sebagai orang tua, saya sangat mendukung, bahkan sayapun ingin juga mengikuti pelatihan itu. Selain saya juga ingin belajar, saya juga ingin tahu secara langsung bagaimana pelatihan yang bisa membawa siswa bisa menulis. Terus terang saya sangat penasaran. Hingga akhirnya saya memutuskan ikut pelatihan ini. Anak saya mengikuti pelatihan sasi sabu, saya mengikuti pelatihan sagu sabu. Alhamdulillah acaranya lancar, sangat memotivasi, dan sangat menarik.
Pelatihan itu memberi target kepada pesertanya “satu bulan jadi buku”. Peserta diharapkan dalam satu bulan selesai menulis dan siap menjadi buku yang diterbitkan. Luar biasa…..pacuan yang sangat menantang. Berbagai teori dan praktek diberikan saat pelatihan itu. Alhamdulillah pelatihan dua hari berjalan lancar, dan proses penulisan dilanjutkan di rumah. Satu bulan telah berlalu, alhamdulillah naskah anak saya akhirnya jadi juga. Bahkan, sampai sekarang punya saya saja belum jadi….hehehehe…mohon maaf. Proses satu bulan menulis naskah bagi penulis yang benar-benar pemula bukanlah sesuatu yang mudah. Tentunya perjuangan luar biasa ia lakukan. Setiap hari ia menulis 1-2 halaman. Setiap hari….iya setiap hari. Sehabis belajar malam, ia selalu menulis. Saat itu saya melihatnya, sambal berkata dalam hati….”luar biasa anak saya”, sayapun belum tentu bisa. Banyak gangguan tentunya, belum kalau diledekin kakaknya heheheheh. Saat menulis, tak boleh satu orangpun yang membacanya. Mungkin malu hehehehe.
Satu bulan, ia telah menulis lebih dari 40 halaman, karena syarat bisa menjadi buku adalah 40 halaman. Saat naskah jadi, iapun menyampaikan kepada saya, “ma tulisan saya sudah jadi, coba mama lihat dan di cek”. Saat itu kebetulan saya sedang sibuk-sibuknya, sehingga tak sempat sama sekali mengeceknya, dan saya berpikir, ah nanti kan ada editornya hehehehe….maafkan mama ya sayang. Akhirnya dengan tulisan apa adanya, ia kirimkan ke ustadzahnya untuk dikirimkan ke tim media guru. Beberapa waktu telah berlalu, naskah telah masuk ke editor. Berbagai kewajiban biayapun telah terselesaikan. Karena ini bersifat indie, jadi biaya ditanggung penulis. Alhamdulillah, kami sebagai orang tua diberi kesempatan untuk mampu memfasilitasinya.
Beberapa bulan, si kecil dalam penantian kapan buku itu selesai. Saat saya cek di perpusnas, alhamdulillah sudah terISBN, tinggal proses cetak. Namun, sampai beberapa bulan proses cetak belum selesai, akhirnya saya menghubungi salah satu teman yang kebetulan tim dari media guru. Alhamdulillah berkat beliau, buku itu diproses. Dan, akhirnya buku itu telah terbit, dan siap untuk dibaca.
Betapa senangnya si kecil, saat sebuah paket berisi bukunya tiba di rumah. Terlihat raut wajahnya yang bahagia, mungkin yang terbersit dalam benaknya, “akhirnya aku bisa membuat buku” hehehehe. Alhamdulillah selamat sayang, semoga ini bukan akhir segalanya, tetapi ini adalah awal perjuangan kamu di dunia literasi, semoga ke depan akan terbit karya-karya yang lain, semoga impianmu untuk membuat komik juga dapat terwujud. Aamiin. Selamat sayang, semoga sehat selalu dan menjadi anak yang selalu bermanfaat dan penuh berkah. Aamiin.
Tulungagung, 04 Nopember 2020