Dakwah dan Safari Alam

0
1081

Oleh: M Arfan Mu’ammar

Ahad lalu saya diminta memberi ceramah pada kajian Ahad pagi di Masjid Umar bin Khattab Senduro Kab Lumajang. Undangan tersebut sebenarnya sudah sejak 04 Juli 2021. Tetapi karena saat itu ada PPKM Darurat, maka acara kajian Ahad pagi ditiadakan.

Kajian Ahad Pagi di Masjid Umar bin Khattab Senduro Lumajang

Setelah pandemi mereda, saya kembali diminta oleh PCM Senduro Lumajang untuk memberi ceramah pada kajian Ahad pagi di Masjid Umar bin Khattab. Saya cek via google map, perjalanan memakan waktu 4,5 jam via Probolinggo. Akan tetapi ternyata perjalanan lebih cepat dari perkiraan, hanya memakan waktu 3 jam sudah sampai lokasi. Rupanya 4,5 jam itu perhitungan lewat bawah, tanpa melalui jalan tol.

Setelah kajian usai, saya dan teman saya diajak makan pagi dan ngopi di Griya Kopi dan Coklat Pak Siswanto Lereng Semeru. Rupanya kopi pak Siswanto jawaranya kopi di Lumajang bahkan di Jawa Timur.

Ngopi di Griya Kopi dan Coklat Pak Siswanto, Pak Siswanto tampak menggendong cucunya

Pak Siswanto masuk 15 finalis besar kategori kopi robusta. Saya saja yang bukan pecinta kopi, dapat merasakan bahwa kopi pak Siswanto terasa nikmat sekali, sangat berbeda dengan kopi-kopi yang pernah saya minum. Menurut pak Siswanto, rasa kopi akan bergantung pada tiga hal: biji kopi, proses dan penyeduhan. Jika tiga hal itu dilakukan dengan baik, maka akan menghasilkan cita rasa kopi yang nikmat.

Setelah dari kopi robusta pak Siswanto, saya diajak berkeliling ke Bumi Perkemahan (Buper), di lereng Semeru. Suasananya asik, dengan latar belakang gunung Semeru. Untuk menuju buper harus melewati jembatan yang sedikit menguji nyali, karena ketika dilewati, jembatannya “mentul-mentul” dan bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Butuh keseimbangan agar tidak terjatuh.

Adapun tarif penginapan cukup beragam. Untuk tenda biasa, per bed disewakan 150.000 dan pertenda maksimal 4 bed, posisi kamar mandi di luar. Sedangkan untuk VIP per bed disewakan 200.000,- dengan maksimal 4 bed, letak kamar mandi di dalam. Bermalam di sini memiliki sensasi bermalam di tengah hutan di lereng bukit Semeru, dengan udara yang sangat dingin sekali.

Bumi Perkemahan

Setelah berkeliling di Buper, saya memutuskan untuk pulang. Namun saat pulang, kami dibingungkan dengan jalur arah pulang, karena ternyata ada jalur lain menuju Surabaya, bukan lewat Probolinggo tetapi lewat Tumpang Malang. Alternatif jalan itu diinfokan oleh teman-teman PCM di Senduro.

“Lebih dekat ustaz kalau lewat Malang, tetapi tidak lebih cepat, karena jalannya berkelok dan naik turun, namun sepanjang jalan antum bisa melihat pemandangan indah” kira-kira begitu info yang saya terima.

Saya berpikir, kapan lagi ke Senduro, kapan lagi bisa melewati Tumpang Malang kalau tidak sekarang. Dan saya juga penasaran dengan pemandangan yang katanya indah itu, bisa lihat Bromo dari atas juga. Rasa penasaran itulah yang membuat saya lebih memilih melewati Tumpang Malang daripada melewati Probolinggo.

Akhirnya kamipun berangkat pulang melewati jalur arah Tumpang Malang. Awal-awal perjalanan masih biasa saja rutenya, melewati pemukiman warga. Tidak lama kemudian sudah memasuki hutan, dengan pepohonan yang besar-besar dan tinggi-tinggi, berjejer rapi di pinggir jalan. Jalanan sudah berkelok tetapi tidak begitu curam.

Pohon-pohon berjejer rapi

Tanjakan-tanjakan asmara sudah mulai terasa, tetapi mobil saya mampu melibasnya. Ternyata tanjakan asmara semakin lama semakin banyak dan semakin tinggi, sesekali ada turunan tetapi tidak berarti. Karena terlalu sering menanjak, akhirnya mobil saya capek juga (maklum matic dan penggerak roda depan), tandanya ketika digas sudah tidak lagi menggigit, loding, dan lola, serta ada bau sangit keluar dari mesin, sepertinya busi mobil kepanasan. Lalu kami memutuskan untuk mencari tempat istirahat.

View Point of Bantengan

Kamipun istirahat di Bantengan. Tertulis “view point of bantengan”. Kap mobil saya buka agar dingin tidak panas. Di bantengan kami sejenak ngopi dan makan bakso. Lalu saya mencoba untuk naik ke view point of Bantengan. Ternyata pemandangannya woow. Subhanallah sangat indah sekali. Dari atas Bantengan, saya bisa melihat pasir berbisik Bromo yang indah itu, dua tahun yang saya sempat mengunjunginya.

Setelah puas menikmati pemandangan di bantengan, kamipun melanjutkan perjalanan. Jalur kali ini menurun cukup curam, dan tidak sekali dua kali turunan, tetapi berkali-kali. Di sisi lain jalanan di kanan kiri adalah jurang. Kalau ketika naik tadi kanan kiri masih hutan, kadang tebing. Tapi ketika turun, kanan kiri tidak ada tebing dan tidak ada hutan, yang ada adalah jurang asmara, haha.

Jalanan juga dipenuhi dengan kabut yang tebal, jarak pandang terbatas. Saya tidak sempat merekam, karena cukup meneganggkan. Ditambah lagi tikungannya sangat tajam sekali, bukan tikungan bentuk L atau V, tapi melingkar.

Karena turunan, maka lebih banyak menginjak rem, beban mesin berkurang tapi beban kampas rem bertambah. Saking seringnya menggunakan kampas rem dan saking curamnya turunan. Saya mencium bau sangit lagi. Awalnya saya kira dari mobil depan yang knalpotnya mengeluarkan asap. Tetapi setelah mobil itu menjauh, bau sangit masih saja tercium.

Kami coba mencari tempat pemberhentian di deket coban Bidadari. Setelah saya cek, ternyata ban depan mobil saya berasap. Peleg mobil coba saya pegang, ternyata puanas sekali. Rupanya kampas rem mobil terlalu panas sehingga berasap.

Saya baru faham, kenapa di sepanjang jalan turunan tadi banyak tulisan “awas rawan rem blong”, “dinginkan jika kampas rem panas”. Rupanya memang banyaknya turunan dan curamnya turunan berdampak pada panasnya kampas rem mobil.

Saya langsung turun mengecek sumber bau sangit. Ternyata bau itu bersumber dari kampas rem depan mobil saya yang panas. Saking panasnya, kampas rem depan mobil saya mengeluarkan asap, hehe. Akhirnya kami memutuskan untuk istirahat sambil mendinginkan kampas rem yang panas, setelah 30 menit berhenti kami putuskan untuk kembali melanjutkan perjalanan.

Setelah sekitar 20 menit, kami sudah meninggalkan jalan perbukitan, dan 15 menit setelah itu, kami sudah memasuki tol Sawo Jajar. Hati terasa lega telah melewati rute yang menegangkan, di sisi lain hati juga senang karena telah menikmati pemandangan indah setelah berbulan-bulan terjenuhkan dengan padatnya kota metropolitan dan sibuknya pekerjaan.