Dari RA Kartini Hingga ‘Aisyiyah

2
1713

Dari RA Kartini Hingga ‘Aisyiyah

 

Sri Lestari Linawati

 

 

Sejak TK, SD, SMP, SMA, saya sekolah di sekolah negeri. Saya menyaksikan Hari Kartini diperingati di sekolah-sekolah  dengan kegiatan yang hampir sama: mengenakan baju adat Jawa. Siapa yang tampak paling luwes mengenakannya, dia akan mendapatkan pujian. Saya gelisah. Apakah hanya sebatas baju inikah yang menjadi perjuangan Kartini?

 

Disampaikan dalam mata pelajaran bahwa buku RA Kartini  yang terkenal berjudul “Habis Gelap Terbitlah terang”. Saya belum juga menemukan jawaban atas kegelisahan saya. Di manakah terangnya? Bukankah kondisi perempuan tampaknya masih begini-begini saja..

 

Ibu saya seorang ibu rumah tangga. Sebagai istri guru, ibu berusaha aktif dalam kegiatan dharma wanita dan PKK. Tampaknya, Ibu ingin menjadi sosok penerus Kartini yang mampu mengenyam pendidikan. Pengetahuan dan ketrampilan yang patut dimiliki perempuan, diajarkan pada kami, anak-anaknya yang perempuan. Hingga suatu saat saya mendapatkan tiket studi di Sastra Arab UGM Yogyakarta.

 

Dengan bekal pengalaman berorganisasi di OSIS dan IPM, saya mengikuti kegiatan mahasiswa. Waktu itu kegiatannya dilaksanakan di Gelanggang Mahasiswa. Senang bisa bertukar pikiran dengan teman-teman dari seluruh pelosok Indonesia, dari berbagai jurusan, dari berbagai fakultas. Adapun di fakultas, kami semua saling berinteraksi, diskusi. Isinya yang ada hanyalah senang dan senang. Mulai saat itu kami mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran yang lebih luas tentang kebudayaan.

 

Sejak kuliah itu pula, saya menemui para perempuan yang pintar, cerdas, enerjik. Ada Bu Hindun yang suaranya merdu bagaikan penyanyi Arab. Ada Bu Uswatun Hasanah yang lincah, tegas, dan penuh kasih sayang pada kami semua. Saat mahasiswa baru, kami diajak piknik ke pantai di Gunung Kidul. Jadi kami kuliah itu tetap merasa bahagia serasa di rumah karena para dosen menjadi orang tua kami di kampus.

 

Perjalanan berikutnya mengenalkan kami pada sosok Prof. Dr. Siti Baroroh Baried, di awal kuliah Tarjamah. Mungkin karena kesibukan, beliau tidak lagi mengajar kelas kami. Namun saya merasa masih beruntung bisa melihat beliau membaca atau menulis di ruang beliau, di lantai dua. “Inilah sosok yang diidamkan Kartini,” pikir saya kala itu. Ternyata benar. Dari informasi yang saya dapatkan dari Mbak Iik ponakan beliau, dari ibu-ibu Aisyiyah, dan juga dari bacaan. Hidup untuk ilmu, demikian semangat beliau. Wajar bila beliau sekolah dan sekolah, berdakwah dan berorganisasi.

 

Kuliah akhir, ada pula sosok Bu Chamamah Soeratno, yang menjadi Dekan Fakultas Sastra. Sekarang namanya Fakultas Ilmu Budaya. Dengan adanya sosok-sosok perempuan teladan, membuat saya bangga dengan perempuan. Perempuan kini sudah bisa mengenyam pendidikan. Inilah kiranya buah perjuangan panjang Kartini. Dari sini saya belajar untuk tetap tangguh memperjuangkan nilai-nilai. Kapan pun akan berbuah, kita harus rajin merawatnya.

 

Setelah lulus S1, saya berkiprah di tengah masyarakat, memberdayakan peran perempuan. Ternyata ada banyak hal yang perlu dipersiapkan dan perlu diberikan dukungan pada perempuan agar bisa berdaya. Saat S2 berinteraksi dengan pemikiran pendidikan dan psikologi pendidikan Islam. Hingga suatu hari di perpustakaan kampus UMY saya temukan biografi RA Kartini. Buku itu tinggal satu. Surat-surat Kartini bisa kita baca di buku itu. Khatam saya baca. Membuncah hati ini. Saya termotivasi mengikuti jejak perjuangan Kartini. Hanya saja waktu itu saya belum bisa menulis. Jadi saya nikmati saja dalam hati. Kartini yang saya kenal sosoknya adalah perempuan sederhana, menghormati tradisi kebudayaannya, memikirkan kemajuan pendidikan perempuan, hingga interaksinya dengan Al-Qur’an. Kartini semakin termotivasi mewujudkan impiannya ketika dia mengetahui makna bacaan Al-Qur’an.

 

Setelah lulus S2, 2014, saya mengabdi di STIKes ‘Aisyiyah Yogyakarta. Beberapa waktu kemudian, kampus ini menjadi universitas ‘Aisyiyah. Dikenal dengan UNISA Yogyakarta, yaitu kampus perempuan pertama di Indonsia. Kampus ini kampus kesehatan. Semangat yang diusungnya adalah pertanyaan KHA Dahlan pada murid-murid perempuan waktu itu, “Apakah tidak malu apabila auratmu dilihat oleh yang bukan muhrim? Bila malu, belajarlah dan jadilah dokter.”

 

Keberpihakan pada perempuan memerlukan kekuatan besar dan diupayakan oleh semua pihak. Semangat kesetaraan gender yang dibangun tetaplah berpijak pada Al-Qur’an.

 

“Siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka denganpahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS An-Nahl (16); 97).

 

Selamat Hari Kartini.

Majulah para perempuan Indonesia.

Bangsa menunggu kiprahmu.

Mari bergerak dan terus maju.

Ukir prestasi dan berkarya untuk bangsa.

Tuhan senantiasa bersama. []

 

 

Yogyakarta, 21 April 2020

 

 

Sri Lestari Linawati adalah Dosen Universitas ‘Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here