Oleh: M Arfan Mu’ammar
Dari 11 destinasi wisata yang sudah dijadwal oleh travel yaitu: Qilou Arcade Old Street, Desa Bali, Yang Shen Tong, Toko Latex, Nashan Buddhist Culture Park, Toko Bambu, Phoenix Hill, Yetian Minority Village, Fish Oil Shop, Kuil Lima Pejabat, Mission Hills New City. Empat di antaranya adalah wisata industri.
Gagasan wisata industri ini cukup menarik, karena wisatawan diajak keliling ke beberapa industri yang telah direkomendasikan. Entah ini regulasi dari pemerintah China atau inisiatif dari Travel. Karena pihak travel mengatakan “toko wajib” untuk dikunjungi.
Dalam penerbengan menuju China, dalam satu pesawat ada beberapa travel yang membawa, kata teman-teman KBIH, kayak mau umroh saja. Hehe
Anehnya, dalam satu pesawat, dengan travel yang berbeda-beda itu, memiliki tujuan yang sama. Mungkin hanya 1 atau 2 yang berbeda, tapi sisanya sama. Sehingga selama empat hari di China, kita selalu bertemu dengan rombongan yang bersama kita ketika di pesawat. Begitu juga pulangnya, dengan waktu dan pesawat yang sama.
Ketika kita mengunjungi wisata industri, tepatnya toko atau perusahaan, selalu diawali dengan presentasi produk. Produk apa yang mereka keluarkan, serta apa kelebihan produk tersebut. Presentasi kisaran 30 menit.
Walaupun mereka tidak mewajibkan membeli produk, namun dari pengalaman kita, selalu saja ada 1-2 wisatawan yang tertarik untuk membeli. Dari 4 destinasi wisata yang ada, hanya satu destinasi wisata yang tidak ada satu pun dari kita yang membeli, yaitu pada perusahaan Latex. Bukan karena produk tidak menarik, sebenarnya sangat menarik, akan tetapi karena harga yang cukup mahal, ditambah lagi, para wisatawan sudah mengeluarkan banyak uang di destinasi wisata yang lain, sehingga ketika sampai pada wisata industri yang terakhir, mereka berpikir ulang, di samping uang Yuan di kantong sudah habis, mereka harus membeli jutaan rupiah lagi untuk membeli produk latex.
Strategi ini cukup menggairahkan perekonomian di China, khususnya ekonomi Industri. Kedatangan wisatawan asing tidak hanya menggairahkan perekonomian destinasi wisata saja.
Walaupun demikian, sebagian wisatawan merasa tidak nyaman dengan strategi ini, karena terkesan memaksa untuk membeli, walaupun dengan bahasa lain.
Ketika sampai di lokasi, teman-teman saya selalu menggerutu “sekolah maneng rek, moleh teko kene engkok oleh ijazah” (sekolah lagi, pulang dari sini besok dapat ijazah).
Bagi sebagian mereka diproyeksi (dipresentasi) sangat membosankan, karenanya mereka memilih menyelinap keluar tidak ikut “kelas”. Namun bagi sebagian yang lain lumayan bisa menambah wawasan, sisanya merasa tidak bisa berbuat apa-apa. “Bagaiamana lagi, diikuti saja” ujar sebagian dari mereka.
Terlepas dari itu semua, China membangun wisata mereka dengan sangat serius. Mereka tidak hanya fokus pada produksi industri saja, tapi mereka juga mulai menyasar Indonesia. Walaupun panorama alamanya tidak seindah Indonesia, tapi seindah apapun panorama alam, jika tidak dikelola dengan serius, wisatawan asing akan enggan untuk berkunjung.