Di Balik Ghaib-Nya Allah Swt

0
2105

Di antara hal yang menyebabkan sebagian manusia, terutama ateis, enggan untuk mengimani Allah Swt adalah sebab Dia tidak kasat oleh mata. Alasan inilah yang kurang lebih juga melatar-belakangi mengapa orang tua Mr Muhammad Jaz Cooper, muallaf Australia yang di Gontor itu, sebagaimana yang saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, ketika itu tidak lantas beriman sebagaimana yang dilakukan anaknya.

Fenomena inilah yang agaknya juga dimaksudkan oleh al-Baqarah 55, yaitu keengganan Bani Israil untuk berimana kepada Tuhan Nabi Musa As – dan manusia seluruh alam – semata-mata sebab Dia tidak kasat oleh mata mereka. “Ḥattā narallāha jahratan”, kilah mereka.

Terang saja Allah Swt seketika begitu murka sehingga diturunkan oleh-Nya petir dan api dari langit. Selain karena mempermainkan sang nabi, siksa itu datang semata-mata sebab permintaan itu amat keterlaluan, melampaui batas, dan bukan pada tempatnya. Permintaan itu mereka kemukakan hanya sebagai tameng atas keengganan untuk beriman.

Jika kita renungkan ayat-ayat sebelum dan sesudah al-Baqarah 55 ini, akan kita dapati berkali-kali al-Quran menggunakan redaksi “wa idh”, yaitu sekumpulan fakta agar kita terus mengingat keagungan-Nya. Artinya, sedemikian banyak dan sering Bani Israil diselamatkan, pun sedemikian melimpah dan kerap mereka diberi nikmat, tapi apa yang mereka pertontonkan justru tantangan; beriman jika sudah mampu melihat Allah Swt dengan mata kepala mereka sendiri tanpa halangan satu apapun.

Tentu saja hal ini bukan berarti Allah Swt tidak mampu, tapi permintaan tersebut tidak lebih justru hanya sebagai ejekan. Karena itu, tantangan itu akhirnya seketika dibalas dengan petir dan api.

Hikmah di balik wujud ghaib-Nya Allah Swt adalah untuk mengukur sejauh mana keimanan kita kepada-Nya. Dengan Allah Swt tanpa terlihat oleh mata normal, apakah kita masih akan menyisihkan lembaran Rp 2.000 untuk dimasukkan ke dalam kotak amal? Ataukah kita hanya melakukannya ketika terlihat oleh khalayak? Dengan ghaib-Nya, apakah kita masih konsisten mengerjakan shalat sunnah dua rakaat sebelum dan/atau sesudah shalat? Atau itu kita lakukan hanya sebab segan terhadap, atau ketika terlihat oleh, jamaah lain?

Apakah kita, bagi para pedagang misalnya, justru berani menambahkan berat timbangan hanya sebab tidak ada yang nampak melihat kecuali dirinya sendiri? Ketiadaan-Nya dalam pandangan kita, dengan demikian, sesungguhnya untuk mengetahui kadar kemurnian antara hati, lisan dan ucapan.

Kemurnian inilah yang menggerakan hati Sahabat Mā‘iz bin Mālik untuk menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Saw agar kemudian dirajam sebab zina yang ia lakukan. Kesucian inilah yang juga mendorong Imra’ah Ghāmidiyyah, seorang perempuan dari Bani Ghamid, melakukan hal serupa. Padahal pengakuan (iqrār) kedua sahabat tersebut ditolak tiga kali oleh Rasulullah Saw, dan karenanya memiliki kesempatan untuk berkilah dan lolos dari hukuman rajam tersebut.

Namun kemurnian hati mereka, yang dibenarkan dengan laku lisan dan perbuatan, telah memaksa diri mereka untuk lebih takut kepada Allah Swt dari pada jenis apapun siksa dunia. Kemurnian hati inilah yang agaknya dimaksud oleh Syeikh Yusuf al-Qaradlawi, dalam kitabnya al-Īmān wa al-Ḥayāh, sebagai al-ḍamīr al-dīnī.

Jika kita lebih dalam lagi menundukkan kepala, ketiadaan Allah Swt dalam penglihatan normal manusia tersebut juga sesungguhnya menyimpan kemudahaan bagi kita. Andaikan Dia mewujud dalam satu bentuk yang dibatasi ruang dan waktu, betapa rumit kesulitan yang timbul bagi sekian banyak manusia, dari sekian penjuru dunia, yang ingin menemui-Nya. Betapa sibuk para pembantu-Nya mengatur orang yang datang beserta rombongan, kendaraan, dan seluruh bekalnya.

Dia memang terlihat tidak ada, tapi sesungguhnya ada di mana-mana. Ia hadir sekaligus menegaskan kepada si kaya yang sadar bahwa harta yang dimilikinya tidak sepenuhnya menjadi haknya. Ada sebagian kecil, “ṣadaqatan”, yang memang dititipkan oleh-Nya untuk mereka para dhuafa. Karena memang pada dasarnya titipan, maka agama mewajibkannya untuk dikeluarkan, walau bahkan dengan pemaksaan. Oleh karena itu, “Khudh min amwālihim”.

Adapun bagi si kaya yang lalai, Allah Swt juga hadir meski hal ini tidak disadari olehnya. Dia hadir untuk mengingatkan, sebagai “nadhīran”, dan kalau tidak kunjung bisa diingatkan, maka “numatti‘uhum qalīlan”. Kekayaan tersebut akan ditambah, ditambah lagi, padahal penambahan tersebut berdiri di atas gelimang debu kegelapan. Hanya saja ia tidak mengetahuinya dan bahkan merasakan all is going well.

Hingga pada suatu tahap ia benar-benar tidak bisa diperingatkan, maka kemudian “naḍṭarruhum ilā ‘adhābin ghalīẓ”. Penambahan kekayaan tersebut justru berbanding lurus dengan penambahan sakit sebab kejatuhannya. Inilah yang disebut istidrāj. Jika kata terakhir ini terambil dari darajah yang berarti tingkatan, atau daraj yang bermakna tangga, maka semakin tinggi tingkat atau tangga kenikmatan yang diberikan, semakin pedih sakit yang ia rasakan.

Allah Swt juga hadir menyejukkan hati mereka yang ikhlas dalam menjalani hidup. Sebagai bashīran. Mengabarkan bahwa segala pengorbanan yang mereka berikan, dari harta, fikiran, tenaga, hingga bahkan jiwanya, akan dibayar jauh lebih baik. “Tajidūhu ‘indallah huwa khayran wa a‘ẓama ajran”. Ia juga sekaligus “khatamallāhu ‘alā qulūbihim wa ‘alā sam‘ihim wa ‘alā abṣārihim”, menjadikan tandus mereka yang hati, pendengaran, dan penglihatannya telah ditutup dan distempel “kafir”.

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here