Dunia Literasi di Era Chaotic

0
2297

Saya sangat bersyukur atas segala pilihanNya terhadap diri saya, dan cukup berterima kasih kepada diri sendiri sebab dahulu pernah memilih untuk menjejakkan kaki di dunia kata. Jika saya tidak melakukan hal tersebut, tidak memilih berjuang dan berproses, entah seperti apa pemikiran saya saat ini. Sedangkan semakin canggih teknologi, justru semakin deras terpaan isu-isu mengerikan, hoax, pelbagai hate speech serta informasi yang invalid saling bertebaran di dunia maya.

Menjejak di dunia kata dan dunia literasi bukan berarti kita menjadi pandai secara tiba-tiba. Namun memang, kita diajak untuk membaca, menganalisis, mensintesis hasil bacaan, berpikir kritis, sehingga sikap hati-hati, tidak mudah terprovokasi, open minded, suka memvalidasi suatu informasi sebelum menyimpulkannya menjadi sikap yang terbentuk setelah sekian lama digembleng di dunia literasi. Dari beberapa rangkaian proses tersebut, tidak heran jika pengetahuan kita juga akan ikut berkembang.

Literasi memang mengajak kita untuk menyerap, namun memfilter informasi sekaligus, untuk kemudian kita diajak meresum bahan bacaan kita melalui olahan kata, sehingga terbentuklah teks yang merupakan hasil bacaan dan hasil olah pemikiran kita. Beberapa proses tersebut merupakan sebuah sikap kehati-hatian yang sangat diperlukan di era millenial seperti ini. Sebab begitu banyak masyarakat yang dikatakan oleh Cak Akhol Firdaus, pada suatu seminar tentang revolusi 4.0 silam, bahwa masyarakat kita yang minim literasi belum siap menerima informasi yang derasnya seperti air bah. Jadi batas antara kebenaran dan pembenaran sangatlah tipis, sehingga mudah sekali menimbulkan chaos di sana-sini. Fenomena tersebutlah yang membuat guncangan saat ini, di bangsa ini.

Lantas, bagaimanakah cara agar masyarakat kita menjadi melek literasi? Jika pertanyaan itu dimunculkan, sebenarnya sudah banyak sekali upaya yang dilakukan oleh para pakar literasi untuk mengajak masyarakat kita menjadi insyaf berliterasi. Misalnya, mengikuti seminar, webinar−sebab berada di masa pandemi−mengadakan agenda-agenda literasi lainnya, membuat taman baca, sosialisasi cinta buku, menyebarkan quote motivasi di media sosial tentang melek baca dan tulis, dan upaya-upaya cerdik lain yang luar biasa. Bahkan pada suatu agenda yang diadakan oleh Sahabat Pena Kita Tulungagung, yakni Jagongan Literasi, ketika Dr. Ngainun Naim, pembina SPK Tulungagung mengundang Bapak Dr. Muhsin Kalida, salah satu pakar literasi, beliau ikut serta dalam menyebarkan literasi melalui Angkringan Pintar yang beliau kelola. Yakni sebuah angkringan, di mana WiFi-nya, setelah tiga jam melakukan akses gratis, maka untuk mendapatkan tambahan akses WiFi secara gratis, wajib dibayar menggunakan tulisan. Merupakan salah satu cara luar biasa untuk mengajak kawula muda dan kaum mana saja untuk melek dan sadar berliterasi. Banyak juga dijumpai komunitas-komunitas muda yang berkecimpung dalam dunia literasi. Di kampus-kampus, di masyarakat, hal tersebut merupakan beberapa upaya luar biasa untuk mengajak masyarakat kita yang dari speaking and listening society menjadi reading and writing society.

Meskipun beragam upaya telah ditempuh oleh pelbagai pakar, namun sayang, dalam realitanya, fenomena melek literasi ini masih belum disadari secara meluas, termasuk dalam atmosfer akademis yang bahkan berkecimpung dalam dunia olah kata dan olah pikir. Dr. Ngainun Naim pernah menyebutkan dalam karya beliau, yakni The Power of Writing, bahwa penulis merupakan makhluk langka. Menurut pengalaman saya pribadi, dan sepanjang pengamatan, saya mengamini ungkapan tersebut. Langka, jika merujuk pada KBBI memiliki makna: jarang didapat; jarang ditemukan; dan jarang terjadi. Maka, sebenarnya orang-orang yang berminat dalam bidang menulis, berliterasi−literasi dapat dimaknai singkat sebagai sebuah proses menulis dan membaca. Dalam arti lain, menulis bisa dikatakan sebagai akibat dari membaca. Kebanyakan penulis adalah pembaca. Namun belum tentu, seorang pembaca merupakan seorang penulis−jarang bisa didapatkan. Mengaitkan dengan fenomena saat ini, maka tidak heran jika banyak sekali masyarakat kita yang termakan isu hoax, percaya dengan rumor tanpa ada validasi terlebih dahulu, sebab jarang yang mengolah informasi dengan critical thinking.

Semasa saya kuliah, saya cukup jarang mendapatkan atmosfer yang berkecimpung dalam olah literasi, meski tugas perkuliahan sangat erat dengan dunia baca dan tulis. Justru cukup aneh jika kita membahas materi perkuliahan di coffee shop, atau di luar kelas perkuliahan. Yang dibahas, seringnya adalah seputar hal-hal yang berbau pragmatis dan kapitalis. Saya tidak menyalahkan siapapun di sini, dan tidak merasa membenarkan siapapun. Memang seperti itu data yang saya dapatkan. Jika tidak melebarkan sayap di luar perkuliahan, mungkin akan cukup sulit untuk bisa mendapatkan komunitas yang bergerak dalam bidang literasi, sekalipun itu di dunia akademik. Oleh karena itu, we should feel blessed and lucky karena ternyata diperkenalkan dengan dunia kata.

Beberapa wawancara singkat pernah juga saya lakukan dengan kerabat dan sahabat yang belajar di beberapa jajaran kampus ternama. Seperti mahasiswa umumnya, ketika mendapatkan tugas, tentu keluh akan hadir, mungkin saya juga termasuk. Dan bahkan saya mendapati jawaban menarik dari salah satunya, bahwa ia tidak memiliki buku yang relevan dengan studinya sama sekali. Saya memang mengambil random sampling, bukan purposive sampling ketika berbincang, iseng saja ingin melihat keadaan di kampus ternama melalui rekam jejak sahabat, dan data yang didapatkan cukup mengejutkan. Jika diminta untuk membaca makalah, maka akan sangat sulit untuk memahaminya. Namun jika dijelaskan oleh dosennya, maka langsung paham. Saya hanya bisa mengangguk mendengar paparan jawaban tersebut. Dan jawaban itu sama, saya dapatkan dari dua orang yang memasuki fakultas yang sama, di sebuah universitas negeri ternama. Hal ini menunjukkan bahwa memang minat dalam literasi masih belum masif. Hanya segelintir orang saja yang tertarik untuk menekuni dalam bidang ini.

Saya mengatakan ini-itu, memaparkan beberapa data, bukan berarti saya sudah ahli dalam bidang literasi. Tidak sama sekali. Jika ada penggolongan termasuk penulis dalam kategori manakah saya, dengan penuh kesadaran, saya tentu mengatakan bahwa saya masih berada di tahap pemula. Jika berharap dan bermimpi, suatu saat bisa dikategorikan dalam jajaran orang-orang ahli, maka tentu, saya memiliki juga impian untuk menebarkan manfaat sebagaimana beliau-beliau, meski sebenarnya itu bukan tujuan, being an expert is just a gift of working hard. Namun dengan konsekuensi, menumbuhkan etos kerja tinggi, disiplin, terus berproses, menikmati setiap jengkal prosesnya, dan juga berkomitmen yang serius untuk menggapai tujuan yang sudah dibidik. Tidak ada sesuatu luar biasa yang didapatkan dengan cara instan. Meski memang ada, rasanya tetap akan berbeda dibandingkan ketika kita memilih untuk berjuang dari titik terendah. Dan sebenarnya poin inilah yang membuat saya menyukai menulis. Sangat obyektif dan menghindari kesan subyektifitas. Tidak ada jalan pintas untuk menjadi seorang penulis, kecuali terus berproses, berproses, berproses, menulis, membaca, menulis, membaca, menulis, membaca begitu seterusnya.

Dari beberapa pembahasan yang dibahas, maka sebenarnya dapat kita tarik beberapa manfaat luar biasa dalam menulis, terutama untuk bertahan hidup dan terus memberdayakan diri di era pandemi dan disrupsi seperti saat ini. Di antaranya adalah dilatih untuk berpikir kritis, tidak mudah percaya dengan suatu berita sebelum memvalidasinya, memiliki banyak teman−jika mengikuti beragam komunitas, menambah pengetahuan yang sangat dibutuhkan sebagai bekal hidup, ikut berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa, banyak membaca sehingga banyak tahu, menjadi makhluk langka, mengabadikan momen berharga atau kisah tak terlupakan dalam hidup, menginspirasi orang lain, menebarkan manfaat, dan mengabadi.

Jika kemudian muncul pertanyaan bagaimana cara menulis? Menulis saja. Tuangkan apa yang ada dalam pikiran kita melalui kata-kata dalam bentuk tulisan. Jika banyak metode menulis, maka metode yang paling saya sukai adalah metode yang saya dapatkan dari Dr. Ngainun Naim. Bahwa kualitas akan berkembang seiring dengan banyaknya jam terbang. Jika mungkin di awal rasanya sulit untuk menuangkan ide dan gagasan, maka jika kita berminat untuk berlatih setiap hari, seiring berjalannya waktu, kualitas tulisan kita juga akan berkembang. Mungkin kita juga membutuhkan asupan gizi dari membaca, agar tulisan kita tidak kering, namun bernutrisi. Sulit? Mungkin bisa dikatakan seperti itu. Namun, proses demi proses ini, akan membawa kita pada tujuan kita. Dan salah satu manfaatnya adalah, membawa kita untuk menjadi insan cendekia yang tidak mudah baperan di era serba baper seperti sekarang ini. Siapkah kiranya Kawan-kawan untuk memasuki dunia kata?

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here