Ekspresikan Diri Melalui Buku

0
351

 

“Tujuanku adalah menuliskan di atas kertas apa yang aku lihat

dan apa yang aku rasakan dengan cara terbaik dan paling sederhana.”

~ Ernest Hemingway ~

Quote di atas sangat cocok dan sesuai dengan misi penulis. Lebih dari sepuluh tahun terakhir penulis membenamkan diri secara sadar dan aktif dengan melibatkan diri dalam dunia literasi. Secara spesifik, penulis hanyut dalam arus dunia tulis menulis yang mewujud dalam bentuk karya tulis berupa buku. Bagi penulis, buku menjadi tujuan dalam mengejawantahkan ide, inspirasi dan kekuatan rasa-karsa secara maksimal. Itulah hasil akhir dari sebuah ikhtiar sungguh-sungguh lagi nyata.

Mengapa buku? Memang, banyak cara dan jalan dapat ditempuh untuk merefleksikan diri di dunia Literasi. Dan penulis memilih menulis buku sebagai infrastruktur pikiran agar tercatat dan terpampang nyata, dapat diraba, dilihat dan dibaca. Begitulah buku.

Dulu, penulis memiliki sebuah pemahaman yang sempit dan keliru mengenai buku. Kala itu, buku dirasakan sebagai “obat tidur”, terutama pada buku-buku pelajaran, karya ilmiah maupun buku-buku tebal lainnya sehingg persepsi seperti ini menimbulkan sikap antipati dalam membaca. Bukan saja pada karya berupa buku namun juga media lainnya, seperti majalah, koran, dan lain sebagainya.  Akibatnya, aktivitas membaca menjadi sangat minim dan terbatas. Bahkan, membaca menjadi sebuah keterpaksaan karena datang dari luar diri penulis. Membaca menjadi tugas wajib. Membaca terasa disuruh. Hal ini mungkin dapat sedikit dibenarkan ketika produk buku jauh berbeda dengan buku-buku yang lahir dalam dua-tiga dekade terakhir. Buku zaman dulu sangat terbatas baik dalam jumlah maupun temanya.

Kembali kepada keengganan membaca, bahkan membaca menjadi sesuatu yang memberatkan. Kalau kita pertajam lagi, menurut hemat penulis, rendahnya minat baca seseorang boleh jadi karena aktivitas membaca tidak datang dari dalam diri sendiri sebagai sebuah kesadaran yang menyenangkan, melainkan “paksaan” dari luar karena keawajiban dan tugas. Misalnya, murid yang mengikuti sebuah subyek pelajaran, pastinya punya “kewajiban” membaca buku mata pelajaran. Rendahnya minat dan rasa ingin tahu si murid sebagai faktor internal, menjadi semakin parah ketika guru pun tidak menjadikan buku yang berisi kumpulan materi ilmu menjadi sesuatu yang menarik. Murid hanya dijejalkan kewajiban membaca dan menyampaikannya kembali atau ditanyakan kembali dalam bentuk ulangan tanpa diberi penjelasan dengan penyampaian yang membuat mata, telinga dan pikiran berkolaborasi dengan baik sehingga menghasilkan sebuah pemahaman. Dari pemahaman yang membangunkan rasa ingin tahu ini, selanjutnya akan berproses menjadi minat serius untuk membaca buku tersebut. Pada titik inilah murid kehilangan arah motivasi ketika dalam proses menambah pengetahuan tidak atau belum mendapat pelatihan yang merangsang minat dan sikap ingin tahu. Dan pada titik ini pula, tugas guru, misalnya, memaksimalkan fungsinya agar menjadi pemicu semangat membaca muridnya. Dengan begitu, akan terjadi proses internalisasi nilai-nilai ekstrinsik menjadi nilai intrinsik sehingga lambat laun akan terjadi proses perubahan sikap dan perilaku murid bahwa membaca bukan lagi karena suruhan guru melainkan kebutuhan siswa untuk memperoleh pengetahuan baru, pemahaman yang lebih dalam dan kompleks serta berdampak pada penciptaan pemikiran baru yang semakin luas sebagai hasil dari proses membaca tadi.

Alhamdulillah, penulis telah melalui jalan panjang untuk sampai pada kemampuan menulis buku tersebut. Memang benar, belajar mandiri secara otodidak adalah sebuah anugerah potensi istimewa bagi semua orang. Tetapi, potensi tersebut tidak dapat terealisasi dengan sendirinya. Ketika seseorang menghasilkan karya berupa buku sebagai hasil dari proses dirinya mendidik diri sendiri secara mandiri, itulah contoh nyata pribadi yang mampu mandiri dengan karakter kuat dan sungguh-sungguh. Penulis sadar diri bahwa tidak berada dalam kriteria seperti itu.

Sebagai seorang pemelajar, penulis sadar diri dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis harus belajar kepada ahlinya, bergabung dengan grup kepenulisan,  menulis setip hari seberapapun jumlah katanya, mengikuti tantangan menulis,  berani dan percaya diri menerbitkan tulisan dalam bentuk artikel maupun buku, menjadikan hal ini sebagai bentuk ekspresi diri. Hal ini tentu awalnya tidak mudah. Ada rasa ragu, malu, tidak percaya diri atau berbagai amuk rasa lainnya. Namun, inilah satu-satunya jalan untuk mencapai impian ingin menjadi seorang penulis. Dengan memberanikan diri tampil di  hadapan khalayak umum, setidaknya penulis sudah berani berenang di kolam literasi, merasakan panas dinginnya air kolam, gaya renang yang bagaimana yang harus dimainkan agar selamat dan tidak tenggelam, apa yang harus dilakukan ketika menghadapi kondisi darurat karena kehilangan motivasi, momentum maupun kondisi kedaruratan lainnya yang bakal menenggelamkan penulis sehingga terbenam dalam dasar kolam yang tidak ada yang mencari dan menemukan lagi. Artinya, keberadaan kita tidak atau belum dirasakan oleh sesama orang yang berada dalam kolam yang sama. Kondisi inilah yang harus dijaga oleh seorang penulis pemula: Menjaga motivasi dan momentum sebagai titik tolak menuju eksistensi sejati sebagai penulis. Dengan kata lain, keep writing, tetaplah menulis sehingga lama-lama kita menjadi ada sebelum ada yang mencari.

Penulis sangat berterima kasih kepada para guru, motivator, influencer dan pembaca yang telah menjadi bagian dari perjalanan panjang penulis meraih pengalaman yang hanya bisa diraih bersama waktu. Itulah jam terbang pengalaman.

Mengutip quote di atas, hal ini sangat sesuai dengan prinsip menulis yang penulis lakukan. Penulis akan terus menulis ke dalam buku apa yang dirasakan, dialami, dan dilakukan dengan cara sederhana sehingga mudah dipahami pembaca dengan cara terbaik yang mampu penulis lakukan. Ketika pembaca dapat merasakan dan tercebur ke dalam tulisan yang penulis buat kemudian mereka merasa menjadi bagian dari apa yang mereka baca dari buku tersebut, ityuah ukuran penulis untuk mengetahui bahwa buku penulis dibaca orang, dipahami dan syukur-syukur menjadi ilham untuk menghasilkan ide baru agar dapat dikembangkan lagi.

Dengan bertambahnya usia, kegiatan menulis bagi penulis menjadi sebagai sebuah kesadaran dalam merawat kewarasan, kemampuan mengelola ide menjadi sesuatu yang bermakna, melatih koordinasi yang seimbang antara kemampuan menggerakan otot-otot jemari (sebab sekarang kita nyaris tidak menulis dengan pena melainkan dengan komputer atau media sejenis), kemampuan mengelola pikiran dan menghadirkan rasa sebagai alat mempertimbangkan nilai dan norma.

Penulis berharap, semoga Allah Swt terus melimpahkan karunia-Nya agar penulis terus memiliki daya upaya dalam menjaga dan merawat eksistensi diri melalui penulisan buku. Apalagi, penulis telah diberi kesempatan mencicipi melalui proses belajar menulis buku dengan tema-tema yang penulis sukai dan kuasai. Inilah dua kata kunci agar keberlanjutan menulis buku dapat terus dipelihara dan diwujudkan.

Menambahkan motivasi menulis, penulis sepakat dengan apa yang juga dikatakan Isabel Allende Liona, seorang novelis dari negara Chilli. Allende berakata,  ”Tulislah apa yang tidak boleh dilupakan”.  Luar biasa!

***

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here