FENOMENA PROF. DR. M. DIN SYAMSUDDIN

0
1775

Oleh: Muhammad Chirzin

 

Pak Din, demikian sapaannya, adalah Guru Besar Politik Islam Global FISIP UIN Jakarta.

Sejak muda Pak Din telah aktif berkecimpung di organisasi. Ketika masih di kampung halaman Sumbawa, dia menjadi Ketua Ikatan Pelajar Nahdlotul Ulama.

Merantau ke pulau Jawa Pak Din nyantri di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur, tempat Dr (HC) KH Idham Kholid, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dr (HC) KH Hasyim Muzadi, Cak Nun, Dr. Hidayat Nur Wahid, Kiai Lukman Hakim Saifuddin, dan Dr. Yudi Latif menuntut ilmu. (Pak Din kakak kelas tiga tahun di atas penulis).

Wajar bila alumni Gontor ada yang menjadi Ketua PB NU maupun Ketua PP Muhammadiyah serta Ketua Umum Partai Politik berbasis Islam, maupun menjadi Menteri Agama dan tokoh masyarakat di seluruh pelosok tanah air, karena mereka dididik untuk menjadi perekat umat, dengan semboyan belajar mau dipimpin dan siap memimpin. Di samping itu Pondok Gontor memiliki semboyan, “Di atas dan untuk semua golongan.”

Pondok Gontor tidak berafiliasi pada salah satu organisasi sosial keagamaan tertentu. Andaikata semua guru Gontor adalah Muhammadiyah, maka Gontor tidak boleh menjadi Muhammadiyah. Andaikata semua guru Gontor adalah NU, maka Gontor tidak boleh menjadi NU.

Begitu pula, jika mayoritas wali santri adalah Muhammadiyah, Gontor tidak boleh di-Muhammadiyah-kan, dan bila mayoritas orang tua santri adalah NU, maka Gontor juga tidak boleh di-NU-kan.

Selama belajar di Gontor santri tidak boleh membawa bendera atau baju organisasi apa pun. Istilahnya, bendera atau baju organisasi harus ditinggalkan di rumah. Kelak, setelah tamat dari Gontor, baik pada pendidikan tingkat menengah (KMI -Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah) maupun pendidikan tinggi UNIDA – Universitas Darussalam, baik S1, S2, maupun S3, santri bebas memilih untuk aktif di organisasi sosial keagamaan maupun pomilik apa pun yang diminatinya.

Prof. Din Syamsuddin tercatat pernah menjadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah setelah periode M. Habib Chirzin, Ketua Umum PP Muhammadiyah dua periode, dan menjadi Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia), sebelum periode Prof. Dr. (HC) Ma’ruf Amin.

Prof. M. Din Syamsuddin adalah konseptor Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi was Syahadah (Negara Kesepakatan dan Kesaksian). Konsep tersebut disampaikan Pak Din pada Pidato Kebangsaan 18 Agustus 2011 di PP Muhammadiyah, dan Pidato 1 Juni 2012 di MPR.

Prof. M. Din Syamsuddin adalah juga penggagas Khilafah Peradaban, bukan Khilafah Politik, dalam konteks keislaman, kekinian, dan keindonesiaan.

Prof. M. Din Syamsuddin menjadi Ketua Dewan Penasihat MUI Pusat sejak 2015, dan Ketua Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) sejak 2007.

Pak Din juga aktif di berbagai organisasi tingkat internasional, antara lain sebagai Ketua World Peace Forum (2006-sekarang), Co-President of World Conference of Religions for Peace (WCRP) USA (2006-sekarang); President Moderator of Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) Japan (2007-sekarang); dan Advisory Forum of King Abdul Aziz Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KACIID) Austria (2015-sekarang).

Bersama Jenderal Gatot Nurmantyo dan Prof. Dr. Rochmat Wahab, Pak Din menjadi Trio Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).

Prof. Din Syamsuddin memegang teguh pandangan bahwa demokrasi membutuhkan dialog. Pemerintah memerlukan oposisi sebagai pengontrol aksi.

Demokrasi juga memberikan ruang ekspresi dan kebebasan akademik yang bertanggung jawab.

Kritik dan evaluasi kepada pihak mana pun dipandangnya sebagai pengejawantahan pesan amar makruf nahi mungkar dalam Al-Quran. Hal itu merupakan pelaksanaan pesan Tuhan untuk saling mengingatkan menuju kebaikan, sebagaimana difirmankan Tuhan:

Demi waktu sepanjang sejarah.

Sungguh manusia benar-benar rugi.

Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan kebaikan.

Saling mengingatkan pada kebenaran.

Saling mengingatkan pada kesabaran.

(QS Al-‘Ashr)

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here