Setiap malam, saya terbiasa untuk tidur dengan mendengar suara Gus Baha yang mengaji melalui YouTube. Meski suami berada di sisi, jika saya belum mendengar pengajian beliau, saya belum bisa memejamkan mata. Kadang, ketika mendengar beliau mengaji, saya tertawa karena kelucuan beliau dalam menyampaikan suatu riwayat atau kisah ulama terdahulu yang menggelikan. Kadang, saya manggut-manggut, mengamini ungkapan beliau. Kadang, saya merasa mendapatkan ilham atau ilmu yang sangat luar biasa. Dan kadang, saya langsung terlelap, mungkin dampak dari lelah beraktivitas seharian.
Jika boleh menyampaikan, saya benar-benar mencintai beliau dengan kealiman beliau yang luar biasa. Dalam ngaji bersama Gus Baha, saya rasa Islam terasa begitu mendamaikan, menyejukkan, meringankan, dan menambah rasa tawadhu serta cinta kepada Allah dan baginda Nabi Muhammad Saw, biiznillah. Islam bukanlah agama horror yang menakutkan. Memang, selain membahas nikmat, Allah juga sangat tegas membahas siksa terhadap mereka yang membangkang. Namun, dalam pemaparannya, Gus Baha selalu menyampaikan dengan ringan, lucu dan mengena. Alhamdulillah, di tengah zaman yang penuh dengan chaos seperti saat ini, Allah mengirimkan sesosok alim seperti beliau. Ibarat menenggak air dingin, di tengah terik yang sangat menyengat.
Salah satu hal yang membuat saya sungkem dan sangat mengagumi beliau adalah, kealiman beliau. Bagaimanapun, kepada orang yang alim, saya tidak bisa menyembunyikan rasa kagum. Betapa hebat orang alim dalam pandangan saya. Selain karena berdasarkan dalil naqli bahwa Allah meninggikan derajat orang alim, dalil aqli juga berperan di sini. Bahwa Allah Swt., menunjukkan kekuasaanNya, menunjukkan bagaimana sifatNya melalui ilmu. Sedangkan ilmu diteteskan kepada orang-orang alim pilihanNya. Beliau-beliau yang bahkan dikarunia sifat kasyaf, bisa melebihi luar biasa kemampuannya dibandingkan dengan orang-orang awam. Orang alim mampu menyibak tabir yang tidak dimiliki orang awam. Orang-orang alim, berilmu bisa melihat sesuatu dari sudut lain di mana orang lain tidak mampu melihatnya. Semakin luas pengetahuan, maupun ilmu dalam hidup, maka akan semakin mudah menjalani hidup. Sebagaimana, di sini yang saya ambil contoh adalah Gus Baha.
Melalui pemahaman beliau terhadap kajian Al-Hikam, karya Ibn Athaillah As-Sakandary, bahwasanya ‘semakin sedikit hal yang membuat kita bahagia, maka akan semakin sedikit hal yang membuat kita sedih atau kecewa.’ Salah satu dalam kajian Gus Baha, saya sering mendengar tuturan tersebut. Beliau selalu tampak bahagia, cukup dan seperti tidak memiliki beban sedikitpun. Sering beliau berkisah juga, banyak orang-orang alim sekaliber kiai yang bertanya kepada beliau, apa resep beliau? Beliau, dengan gaya khas beliau yang sangat sederhana menjawab dengan santai, bahwa beliau memiliki standar hidup minimalis. Beliau selalu menghitung bahwa hidup ini dilalui dua atau tiga menit ke depan. Tidak malah seperti kebanyakan kita, menghitung-hitung hingga dua puluh bahkan empat puluh tahun lagi. ‘Iya kalau kita masih hidup, kalau besok sudah mati bagaimana?’ Beliau berceletuk seperti itu. Pernah suatu masa beliau kehabisan beras, dan ditanya oleh santri beliau, ‘Gus, besok makan apa?’ Beliau dengan santai menjawab, ‘Yakin masih hidup sampai besok?’
Selain itu, ada juga ketika beliau menggunakan standar sederhana untuk menyikapi hal-hal lain. Seperti halnya, jika sepulang dari mengaji, membayangkan istri sudah dandan cantik, diseduhkan kopi, dan hal-hal yang mungkin ‘membahagiakan’ bagi orang lain. Beliau menuturkan, jika seandainya istrinya tidak seperti itu, beliau akan kecewa. Jadi bagi beliau, cukuplah istrinya itu Islam, jika salat menghadap kiblat, itu sudah sangat cukup. Tidak perlu harus melayani seperti ini itu, malah merepotkan, tutur beliau. Dari poin ini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa sebenarnya, semakin kita mengurangi standar yang membahagiakan kita, maka semakin sedikit kita merasa kecewa. Sebab kita tentu tahu, bahwa berharap kepada manusia tidak akan ada yang bisa kita dapatkan kecuali kekecewaan. Baginda Nabi Muhammad Saw., sudah menyampaikan hal tersebut. Namun tetap saja, kita sering kali mengulang kesalahan demi kesalahan, dan berujung dengan kekecewaan. Jika sudah seperti itu, lantas sering kita menyalahkan satu dengan lainnya yang berujung pada pertikaian, dan berujung kepada kekecewaan serta kedukaan mendalam.
Hal lain yang ingin saya soroti tentang Gus Baha di catatan sederhana ini adalah, bahwa Gus Baha menyampaikan, sejatinya ‘sunnah’ Nabi Muhammad Saw., ada pada perilaku beliau Saw. Bukan malah kita mencontoh dan meng-highlight pada poin ‘display’ atau tampilan saja, namun melupakan esensi yang sebenarnya. Memang baginda Nabi Muhammad Saw., memelihara janggut, dan itu merupakan salah satu sunnah beliau, namun itu adalah sunnah dengan poin ke sekian. Sedangkan, sudahkah kita menerapkan perilaku sosialis yang beliau ajarkan? Bagaimana cara berakhlak kepada sesama manusia? Bagaimana cara beradab kepada manusia? Apakah kita sudah memberikan hak-hak orang lain yang dititipkan kepada kita? Saya benar-benar malu di poin ini. Sedangkan sering mungkin, mementingkan diri sendiri di atas orang lain, bahkan kadang, menyampaikan ‘kebenaran’ versi kita tanpa mengindahkan atau meneladani akhlak baginda Nabi Muhammad Saw., tentang bagaimana cara beliau Saw., menyampaikan. Jika cara kita malah menyinggung orang lain, apakah baginda Nabi Muhammad Saw., akan senang? Apakah kita akan diakui sebagai umat beliau? Hal yang sangat saya sayangkan adalah poin tersebut. Dan di poin ini, Gus Baha memberikan teladan yang indah. Beliau selalu menyampaikan dengan cara yang sederhana, lembut namun sangat mengena. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin beliau paham, bagaimana menyampaikan sesuatu yang rumit menjadi sederhana, dan bisa dipahami banyak kalangan.
Hidup sederhana yang Gus Baha lalui sering membuat saya terenyuh dan mengerdil. Bagaimana bisa beliau begitu santun, dan sangat sederhana? Beliau sering ke mana-mana naik bus, atau bahkan memilih untuk naik ojek. Padahal, jika beliau meminta seorang sopir pribadi dan mobil yang membuat nyaman, sejatinya bukan hal sulit. Namun, beliau memilih untuk hidup sederhana. Saya cukup ‘ngeri’ dengan kisah ini.
Tentang kesederhanaan lain, saya mengingat kisah beliau ketika menerangkan tentang Sayyidina Umar bin Khattab, ketika pertama kali diangkat menjadi khalifah. Kala itu, Sayyidina Umar sedang berdiri, hendak menyampaikan pidato. Banyak sahabat Nabi Muhammad Saw., yang mengharapkan beliau akan menyampaikan sesuatu yang spektakuler. Namun ternyata, Sayyidina Umar malah menyampaikan ‘Sewaktu saya kecil, saya menjadi buruh pengambil kurma di kebun bibi saya. Di sana, saya sering mendapatkan upah beberapa biji kurma, sehingga akhirnya tidak merasakan kelaparan dan menjadi jalan saya masih hidup hingga sekarang.’ Selepas itu, beliau menyampaikan salam.
Oleh Gus Baha, disampaikan bahwa pidato Sayyidina Umar ramai diperbincangkan para sahabat. Namun sejatinya, apa yang beliau sampaikan adalah hal sederhana yang dengannya bisa menjadikan kita hidup. Kita kadang lupa menyadari atau mensyukuri hal-hal sederhana. Semua hanya akan terasa tatkala kita mendapatkan sesuatu yang ‘wah’ yang ‘luar biasa’ dan lain-lain. Standar kita selama ini mungkin terlampau tinggi, sehingga kadang kita lupa mensyukuri segala nikmat yang kita miliki saat ini. Kita lupa bahwa sederhana sejatinya bisa mengundang kebahagiaan. Kita lupa dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat, yakni merasa cukup dan bahagia. Jadi kita tidak perlu menunggu untuk menjadi konglomerat, kaya dengan rumah magrong-magrong agar menjadi bahagia. Begitu teladan yang Gus Baha sampaikan.
Mengenang kisah Sayyidina Umar bin Khattab, saya mengingat salah satu riwayat menyebutkan bahwa, selepas beliau berpulang dari perang menaklukkan imperium Romawi dan Persia, yang sangat megah dan luar biasa peradaban di sana kala itu, ada mata-mata Romawi yang mencoba untuk menelisik bagaimana kemegahan kekhalifahan Islam. Pada kala itu, sayyidina Umar sebagai Khalifah, dan beliau tertidur beralaskan daun kurma, di bawah pohon kurma. Si mata-mata bertanya kepada umat Muslim saat itu. Ketika dijawab oleh beliau, si mata-mata merasa sangat kaget dan tidak percaya. Bagaimana mungkin orang sesederhana itu bisa menaklukkan kerajaan besar?
Hidup sederhana, pada dasarnya bukan hanya sebuah ‘paksaan keadaan’. Meski mungkin, dalam beberapa kasus, tidak ada pilihan lain selain memilih untuk ‘hidup sederhana’, namun dalam beberapa konteks, sederhana merupakan sebuah pilihan. Dan saya tidak mengatakan, memilih hidup sederhana adalah hal mudah yang bisa diklik kapan saja, melainkan merupakan pilihan yang sangat sulit, menilik nilai-nilai yang terpapar dalam masyarakat kita merupakan nilai kapitalis, feodal dan materialistik. Seseorang yang dianggap sukses, adalah mereka yang memiliki tingkat kemapanan yang baik, rumah mewah, mobil berjajar sekian jumlah, dan lain-lain. Namun, di sisi lain, meneladani baginda Nabi Muhammad Saw., melalui Sayyidina Umar bin Khattab, mungkin bisa juga sayyidina Umar bin Abdul Aziz‒khalifah dinasti Umayyah‒dan Gus Baha, adalah pilihan luar biasa di tengah kering tandusnya zaman seperti saat ini. Meski beliau semua memilih hidup sederhana, namun kontribusi, kealiman, dan manfaat kepada sesama tidak bisa dibandingkan dengan siapapun. Mungkin seperti itu, umat-umat yang akan mendapatkan syafaat dan akan mendapatkan nominasi penganugerahan oleh baginda Nabi Muhammad Saw di kehidupan selepas ini. Maka, saat ini adalah saat yang tepat untuk saya pribadi, dan mungkin Pembaca untuk merenungi, apakah kelak, baginda Nabi Muhammad Saw., bisa bangga memiliki umat seperti kita dengan jalan kita saat ini? Wallahualam bishshawab.
Tulungagung, 13 November 2020