INIKAH RAMADHAN TERAKHIRKU?

0
842

Allah swt mewajibkan manusia dari masa ke masa untuk berpuasa. Manusia di berbagai belahan bumi mempraktikkan aneka ragam puasa sebagai latihan pengendalian diri. Puasa menahan diri dari melakukan apa saja yang dilarang, bahkan yang dibolehkan sekalipun. Kemampuan seseorang menahan diri membuahkan kemampuan mendorong diri yang sebanding.

Kita sudah menjalani Ramadhan entah berapa kali. Mereka yang telah memasuki usia enampuluh tahun, boleh jadi sudah berpuasa di bulan suci 50 kali. Tetapi, apakah puasa hari demi hari di bulan Ramadhan, dan puasa dari Ramadhan ke Ramadhan telah mengantarkan kita menjadi hamba-hamba Allah yang makin tua makin bertakawa kepada-Nya? Jika tidak, lalu bagaimana status kita di akhir hayat nanti? Bolehkah kita berharap agar Ramadhan 1444 H ini melambungkan kita menjadi hamba-hamba-Nya yang muttaqin?

Allah swt berfirman dalam Al-Quran,

Hai orang-orang yang beriman, berpuasa diwajibkan atas kamu sebagaimana telah diwajibkan atas mereka sebelum kamu, supaya kamu bertakwa (QS Al-Baqarah/2:183)

Perintah berpuasa pada ayat tersebut menggunakan kata kerja pasif `diwajibkan,` seolah-olah manusia sudah mengetahui manfaat berpuasa, sehingga andaikata Allah swt tidak mewajibkan berpuasa, manusia akan mewajibkan dirinya sendiri untuk berpuasa.

Ungkapan `sebagaimana telah diwajibkan` tidak berarti bahwa puasa dalam Islam sama dengan ketentuan puasa sebelumnya, seperti jumlah hari, waktunya, dan caranya, atau dalam peristiwa-peristiwa yang lain. Itu hanya berarti bahwa dasar-dasar pengorbanan kepentingan diri sendiri dengan berpuasa bukan hal yang baru. Hal itu secara psikologis juga menguatkan hati orang-orang beriman untuk tidak ragu-ragu berpuasa, karena sudah `diujicobakan` pada umat-umat terdahulu dengan hasil yang sangat positif.

Berpuasa untuk beberapa hari tertentu, tetapi jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka berpuasalah sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari lain. Dan bagi mereka yang mampu berpuasa tapi dirasa berat, wajib membayar fidyah, memberi makan kepada seorang orang miskin. Siapa yang akan memberi lebih dengan sukarela, baginya itu lebih baik. Dan berpuasa lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah/2:184)

Puasa dalam Islam tidak berarti untuk menyiksa diri. Sekalipun itu memang lebih ketat daripada puasa-puasa yang lain, ia juga memberikan keringanan-keringanan dalam hal-hal tertentu. Meskipun puasa hanya sekadar menahan nafsu makan dan minum untuk sementara, tidak sedikit orang yang merasa mendapat manfaat karenanya, terutama bagi mereka yang biasa makan dan minum secara berlebihan.

Naluri makan, minum, dan pemenuhan keperluan biologis kuat sekali dalam kodrat hewani, dan dengan menahan untuk sementara dari semua itu, perhatian akan dapat diarahkan pada nilai-nilai yang lebih luhur.

Siapa yang sakit atau dalam perjalanan boleh tidak berpuasa, tetapi tidak boleh ditafsirkan dengan pengertian yang serba elastis. Mengenai dalam perjalanan, sebagian ulama tidak membatasi berapa jarak minimal yang ditempuh perjalanan itu. Perjalanan yang membolehkan tidak berpuasa asumsinya adalah yang melelahkan, berapa pun jarak yang ditempuhnya. Hal itu bergantung pada sarana kendaraan, sumber-sumber penghasilan, dan fisik musafir. Tiap keadaan selayaknya ditentukan sesuai dengan lingkungan, situasi, dan kondisi.

Mereka yang mampu berpuasa tapi dirasa berat boleh tidak berpuasa, yakni mereka yang lanjut usia, sedang hamil atau menyusui, mengganti puasanya dengan membayar fidyah, yaitu memberi makan per hari seorang yang miskin.

Rasulullah saw bersabda tentang keutamaan puasa dan rangkaian ibadah di dalamnya.

“Siapa yang melakukan shalat malam pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya terdahulu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw beriktikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan, dan beliau bersabda. “Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir dari Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda, “Apabila Ramadhan tiba pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Pada bulan Ramadhan itulah Al-Quran diturunkan, sebagai petunjuk bagi manusia, juga penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara hak dan batil. Siapa di antara kamu yang berada di tempatnya sendiri pada bulan itu, maka berpuasalah. Tapi jika ada yang  sakit atau sedang dalam perjalanan, lalu tidak berpuasa, maka berpuasalah sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki yang mudah bagimu, dan tidak ingin mempersulit kamu. Ia menghendaki kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah yang telah memberi petunjuk kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS Al-Baqarah/2:185)

Wahyu Allah swt adalah pernyataan kehendak-Nya, ukuran yang sesungguhnya mengenai yang benar dan yang salah. Furqan ialah kriteria atau ukuran yang dengan itu mukmin dapat menilai antara yang baik dengan yang buruk.

Peraturan-peraturan dalam berpuasa itu dirangkaikan dengan dua hal penting. Pertama, memberi kemudahan dan kesempatan. Kedua, pentingnya arti puasa dari segi rohani. Tanpa itu maka puasa seperti tempurung kosong tanpa isi. Jika mukmin mampu memahami ini, ia akan melihat puasa Ramadhan tidak lagi sebagai beban, melainkan sebagai suatu rahmat, dan ia akan bersyukur atas bimbingan yang telah diberikan Allah swt kepadanya.

Apabila ada hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat sekali kepada mereka. Aku mengabulkan permohonan setiap orang yang berdoa bila memohon kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka juga menjalankan perintah-Ku, dan beriman kepada-Ku, supaya mereka berada dalam jalan yang benar. (QS Al-Baqarah/2:186)

Allah swt menyisipkan ayat 2:186 tentang doa dan begitu dekatnya Dia dengan hamba-hamba-Nya. Bulan Ramadhan dan saat berpuasa menjadi momentum yang sangat tepat dan baik untuk memohon kepada Allah swt. Sebagai imbangan atas kedekatan Allah swt kepada hamba-Nya, muslim niscaya beriman kepada-Nya dan menjalankan perintah-Nya.

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan istri kamu. Mereka pakaian bagimu, dan kamu pun pakaian mereka. Allah mengetahui kamu telah mengkhianati diri kamu sendiri, tetapi Allah menerima tobat kamu, dan mengampuni kamu. Maka sekarang pergaulilah mereka, dan lakukanlah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah, hingga benang putih jelas perbedaannya bagi kamu dari benang hitam di waktu fajar. Kemudian cukupkanlah puasa kamu hingga malam tiba, tetapi janganlah mencampuri istri kamu, sementara kamu beriktikaf di dalam mesjid. Itulah batas-batas ketentuan Allah. Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah/2:187)

Laki-laki dan perempuan menjadi pakaian satu sama lain, yakni saling menopang, saling menghibur, dan saling melindungi, serta menyesuaikan diri satu sama lain, seperti pakaian yang disesuaikan dengan badan masing-masing. Pakaian untuk menutupi dan menjaga kesopanan.

Naluri seks itu sejajar dengan naluri makan dan minum, suatu kodrat hewani yang bisa dikendalikan, dan jangan sampai memalukan. Sewaktu berpuasa pada siang hari ketiga hal itu terlarang dilakukan. Sesudah berbuka diizinkan Kembali sampai hari berikutnya.

Beriktikaf di masjid malam hari sesudah berbuka puasa sangat dianjurkan menjelang akhir Ramadhan, sehingga dengan demikian segala godaan dunia dapat dihindari. Itulah  beberapa ketentuan mengenai puasa.

Janganlah kamu memakan harta di antara sesama kamu secara tidak sah, juga janganlah harta itu digunakan untuk menyuap para hakim, dengan tujuan agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah/2:188)

Rangkaian ayat-ayat puasa disusul dengan larangan memakan harta sesama secara tidak sah, termasuk menyuap para hakim dengan maksud agar dapat dapat memakan sebagian harta orang lain dengan melanggar hukum, padahal mengetahui. Bila Ramadhan tidak menghentikan muslim dari perilaku demikian dan semacamnya, boleh jadi ia tidak benar-benar berpuasa.

Akankan ini menjadi Ramadhan terakhirku?

Nyanyian Perlambang

 

Sahabatku,

Telah tiba waktu yang tepat bagi semburat fajar

Yang bersinar di antara bintang-bintang

Setiap orang yang terbangun, pertama-tama ’kan bergerak,

Dan bangkit dari tidurnya, lalu menyingkirkan pakaian kumalnya

Mentari penuh kan menyinari kiprahmu

Yang melangkah dengan segar dan ringan

Saat kota yang kemarin tidur, masih tetap meringkuk

Semburat fajar subuh yang baru

Kan membawa bayangan kiprahmu yang penuh berkah

Dalam padang penyemaian

Jauh dari langkahmu

Hembusan angin yang kini lewat

’kan membawa benih-benih yang dulu kau tebarkan

Jauh dari bayanganmu

Semaikan, sahabat petaniku!

Agar benih-benihmu berserak jauh dari ladangmu

Dalam langkah-langkah yang kau ayun

Dalam jantung masa depan

Dengarlah, suara-suara telah terdengar

Suara-suara yang terusik langkah-langkahmu di kota

Saat engkau hadir kembali dalam kiprah pagimu

Dan orang-orang yang terbangunkan oleh langkah-langkahmu

Sebentar lagi kan bergabung denganmu

Bernyanyilah, sahabat petaniku!

Agar langkah-langkah yang terayun di rembang fajar

Dapat mengikutimu

Menuju garis yang datang dari jauh

Dan agar nyanyian merdumu menggema,

Seperti nyanyian para nabi di fajar yang lain,

Pada saat peradaban dilahirkan.

(Malik Bin Nabi)

 

Berhenti tak ada tempat di jalan ini

Sikap lamban berarti mati

Siapa bergerak dialah yang maju ke depan

Siapa berhenti sejenak sekalipun pasti tergilas.

(Mohammad Iqbal)

 

Kesadaran adalah matahari

Kesabaran adalah bumi

Keberanian menjadi cakrawala

Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

(WS Rendra)

 

*Prof. Dr. H. Muhammad Chirzin, M.Ag., Guru Besar Tafsir Al-Quran UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis e-book 365 Kearifan Dari Sokrates Hingga Soekarno (2023), dan 60-an buku lainnya.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here