ISRA MIKRAJ DAN RELATIVITAS WAKTU

0
980

ISRA MIKRAJ DAN RELATIVITAS WAKTU

Oleh:

Agung Nugroho Catur Saputro

 

 

Tanggal 18 Februari 2023 nanti, kita (umat Islam) akan memperingati Isra Mikraj. Mengapa kita perlu memperingati peristiwa Isra Mikraj setiap tahunnya? Karena peristiwa Isra Mikraj mengandung banyak hikmah yang bermanfaat untuk meningkatkan kadar keimanan kita. Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa Isra Mikraj-nya Rasulullah Saw.

Sampai sekarang masih terjadi perdebatan tentang peristiwa agung Isra Mikraj yang dilakukan Rasulullah Saw. Apakah peristiwa tersebut masuk akal (rasional) atau hanya cerita fiktif saja? Apakah Rasulullah Saw melakukan Isra Mikraj dengan tubuh (jasad) atau hanya ruh saja? Bagaimana pandangan ilmu Sains dalam menjelaskan peristiwa Isra Mikraj tersebut? Dalam artikel ini beberapa pertanyaan tersebut akan dibahas dan dijelaskan jawabannya.

Isra Mikraj merupakan salah satu peristiwa penting dalam agama Islam. Kata Isra Mikraj  merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Makna Isra Mikraj menurut KBBI ialah peristiwa perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa, langsung ke Sidratulmuntaha (di langit ke tujuh) pada malam hari untuk menerima perintah salat lima waktu (Prasetya, 2022). Isra Mikraj terjadi pada periode akhir kenabian di Makkah, sebelum Rasulullah Saw. hijrah ke Madinah. Menurut al-Maududi dan mayoritas ulama, Isra Mikraj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mikraj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian, dan inilah yang popular (Faisal, 2022).

Peristiwa Isra Mikraj merupakan peristiwa penting dalam agama Islam karena pada peristiwa Isra Mikraj tersebut perintah ibadah salat fardhu ditetapkan Allah Swt. yang langsung diterima oleh baginda Rasulullah Muhammad Saw. di Sidratul munthaha. Peristiwa perjalanan Nabi Saw dalam Isra Mikraj tersebut mengandunng banyak pelajaran dan hikmah karena banyak kejadian yang penuh misteri. Kisah peristiwa Isra Mikraj sulit diterima oleh akal pikiran manusia awam pada umumnya karena sekilas bertentangan dengan hukum alam. Bagaimana mungkin ada manusia yang mampu mengadakan perjalanan dalam satu malam dari masjidilharam ke masjidilaqsa dan lanjut ke langit ketujuh (sidratul munthaha)?

Akal pikiran manusia biasa akan mudah menyangkal kebenaran peristiwa tersebut. Maka, untuk dapat memahami peristiwa Isra Mikraj tersebut diperlukan hati dan pikiran yang jernih serta didukung dengan pengetahuan yang cukup. Orang awam akan kesulitan memahami peristiwa luar biasa tersebut karena mereka tidak memiliki pengetahuan pendukungnya. Peristiwa Isra Mikraj dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan sains modern. Teori Relativitas waktu dapat dipergunakan untuk memahami perjalanan Rasulullah Saw di malam Isra Mikraj tersebut. Hal itu dikarenakan peristiwa Isra Mikraj sangat berkaitan dengan fenomena relativitas waktu. Boleh jadi peristiwa Isra Mikraj merupakan nubuwwah Nabi Muhammad Saw tentang pentingnya pengetahuan tentang relativitas waktu.

Relativitas waktu adalah fakta yang telah terbukti secara ilmiah, sebagaimana telah diungkapkan oleh Teori Relativitas Khusus yang dipublikasikan oleh Albert Einstein pada tahun 1905. Teori relativitas khusus merupakan salah satu dari teori relativitas Albert Einstein, selain itu ada teori relativitas umum. Teori relativitas (theory of relativity) digaungkan pertama kali pada 1916. Kemudian menjadi gagasan yang paling revolusioner dalam sejarah dan menjadi lompatan besar atas hukum gravitasi yang sebelumnya digagas oleh Sir Isaac Newton pada 1687 (CNN Indonesia, 2019). Teori relativitas khusus menyatakan bahwa “Kecepatan membuat waktu bersifat relatif”. Bila suatu benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya maka waktu akan mengalami pemuluran atau melambatnya waktu. Fenomena ini disebut dengan dilatasi waktu (Jumini, 2015). Teori relativitas khusus Einstein ini dapat dipergunakan sebagai pendekatan berpikir untuk memahami peristiwa Isra Mikraj-nya Rasulullah Saw.

Penjelasan teori relativitas khusus Einstein tentang terjadinya pemuluran atau pelambatan waktu menunjukkan bahwa waktu di alam semesta ini bersifat relatif. Waktu bersifat relatif bergantung pada kerangka acuannya. Jika suatu kerangka acuan bergerak relatif terhadap kerangka acuan lain yang diam, maka waktu yang dialami oleh seseorang di kerangka acuan yang bergerak tersebut akan berbeda waktu dengan waktu pada kerangka acuan yang diam. Tetapi hal ini hanya berlaku jika gerak tersebut mempunyai kecepatan yang mendekati kecepatan cahaya. Perbedaan waktu tersebut kemudian dikenal sebagai konsep dilatasi waktu (Jumini, 2015).

Kebenaran adanya relativitas waktu di dunia ini berkesesuaian dengan apa yang termaktum dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an di beberapa ayat dan surat menyatakan bahwa waktu bersifat relatif. Inilah beberapa ayat Al-Qur’an yang membuktikan adanya relativitas waktu.

“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj [22]: 47).

Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah [32]: 5).

“(3). (yang datang) dari Allah, yang mempunyai tempat-tempat naik. (4).Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’aarij [70]: 3-4).

Dilihat dari ketiga ayat dalam Al-Qur’an di atas, tampak begitu jelasnya bahwa waktu itu relatif. Allah menggambarkan terjadinya relativitas waktu dengan memberikan contoh perbandingan waktu dimana waktu di sisi-Nya sangat berbeda jauh dengan waktu di dunia, yaitu waktu satu hari di sisi-Nya setara dengan seribu tahun dan lima puluh ribu tahun waktu di dunia. Konsep relativitas waktu menurut Al-Qur’an ini menunjukkan bahwa betapa lambatnya waktu di akhirat jika dilihat dari kerangka acuan waktu di dunia.

Ketiga firman Allah Swt tersebut di atas jelas-jelas menunjukkan bahwa waktu di akhirat itu sangat lama sekali, sampai di ayat lain Allah Swt menggunakan istilah abadi untuk menggambarkan betapa lamanya waktu di akhirat dibandingkan waktu di dunia. Jika dihitung, maka:

1). 1 hari di akhirat = 1.000 tahun di dunia.

1 hari di akhirat = 1.000 x 365 hari di dunia = 365.000 hari di dunia.

2). 1 hari di akhirat = 50.000 tahun di dunia

1 hari di akhirat = 50.000 x 365 hari di dunia = 18.250.000 hari di dunia.

Angka-angka di atas merupakan angka-angka yang sangat besar jika dibandingkan angka (jumlah) usia manusia hidup di dunia. Jika rata-rata usia manusia hidup di dunia diambil 70 tahun, maka 1000 tahun : 70 = 14,285 tahun. Berarti sehari di akhirat sama dengan 14 kali usia hidup manusia, padahal itu baru sehari, bagaimana jika seminggu? Sebulan? setahun? Otak  manusia tidak akan mampu membayangkan lamanya waktu di akhirat. Maka untuk memudahkan agar manusia bisa memahami maksud ayat-ayat relativitas waktu tersebut, Allah Swt menggunakan istilah yang lebih sederhana yaitu abadi. Jadi kehidupan di akhirat adalah kehidupan yang abadi atau selama-lamanya karena waktu sangat lama sekali jika dibandingkan dengan waktu hidup manusia di dunia.

Kita kembali ke pembahasan tentang peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad Saw. Dalam peristiwa Isra Mikraj dikisahkan dalam waktu semalam Rasulullah Saw diberangkatkan (menempuh perjalanan) dari Masjidilharam di Mekkah ke Masjidilaqsa di Jerusalem kemudian dilanjutkan naik melewati langit ke tujuh menuju Sidratul Munthaha. Cerita perjalanan beliau dalam peristiwa Isra Mikraj tersebut bagi akal pikiran orang awam akan sulit diterima dan dipandang cerita yang tidak masuk akal. Mengapa? Karena orang awam masih menggunakan kerangka acuan hukum alam di dunia ini dimana tidak masuk akal manusia mampu bergerak dengan begitu cepatnya dalam waktu semalam mampu mengadakan perjalanan yang sangat jauh (jarak Mekkah-Jerusalem setara dengan perjalanan onta berlari selama satu bulan) dan bahkan ke langit ke tujuh. Tetapi jika kita menggunakan teori relativitas waktu dengan menggunakan kerangka acuan hukum alam berbeda dengan hukum alam dunia ini, maka peristiwa Isra Mikraj tersebut bisa masuk akal (rasional).

Peristiwa Isra Mikraj mudah diterima akal jika kita berpikir bahwa Rasulullah Saw melakukan perjalanan Isra Mikraj di alam yang hukum alamnya (sunnatullah) berbeda dengan hukum alam di dunia ini. Artinya Rasulullah Saw ketika melakukan Isra Mikraj beliau memasuki alam atau dimensi lain yang berbeda dengan alam dunia sehingga hukum alam yang berlaku juga berbeda dengan hukum alam di dunia. Jadi untuk memahami peristiwa Isra Mikraj yang luar biasa tersebut, kita harus menggunakan kerangka acuan bukan alam dunia ini. Dengan kata lain, Rasulullah Saw menempuh perjalanan Isra Mikraj bukan di alam dunia ini, karena pasti terkendala oleh hukum alam (sunnatullah) alam dunia.

Pendapat yang paling masuk akal terkait peristiwa Isra Mikraj adalah Rasulullah Saw menempuh perjalanan Isra Mikraj di alam ruh, atau dengan kata lain Rasulullah Saw melakukan perjalanan Isra Mikraj hanya dengan ruhnya saja, tidak beserta dengan jasadnya. Alam ruh berbeda dimensi ruang dan waktunya dengan dimensi ruang dan waktu alam dunia, maka pastilah hukum alam (sunnatullah) yang berlaku di alam ruh juga berbeda dengan hukum alam (sunnatullah) alam dunia. Hokum alam (sunnatulah) yang berlaku di alam ruh tidak berlaku di alam dunia, dan sebaliknya juga hukum alam di dunia juga tidak berlaku di alam ruh. Hal itu dikarenakan di setiap alam Allah Swt menetapkan hukum alam (sunnatullah) sendiri-sendiri yang berbeda antara satu alam dengan alam yang lain. Dengan pendekatan pemikiran seperti ini, maka peristiwa Isra Mikraj Rasulullah Saw merupakan peristiwa yang masuk akal (rasional) karena terjadi bukan di alam dunia tetapi di alam ruh yang hukum alamnya (sunnatulah) berbeda sehingga memungkinkan terjadinya perjalanan yang sangat cepat menurut pandangan kerangka acuan hukum alam di dunia.

Dalam peristiwa Isra Mikraj, ruh Rasulullah Saw keluar dari jasad dan berada di alam yang tidak terinderakan oleh panca indera kita; beliau melihat serta mendengar apa-apa yang ada di alam kita. Dengan kata lain, ruh beliau memasuki alam dimensi lain yaitu alam ruh. Perjalanan beliau yang berlangsung sangat cepat dapat terjadi karena dilakukan tanpa jasad sehingga tidak terkendala oleh hukum alam (sunnatullah) yang berlaku di alam kita. Ruh beliau yang berada di alam lain mengikuti hukum alam (sunnatullah) yang berlaku di sana. Jadi peristiwa Isra Mikraj adalah masuk akal (rasional) (Baiquni, 1996).

Jika masih juga muncul keraguan dengan pertanyaan, bagaimana mungkin Rasulullah Saw bisa memasuki alam ruh dan mengadakan perjalanan Isra Mikraj, padahal beliau manusia biasa yang ruhnya berada di dalam jasadnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penting untuk diketahui bahwa peristiwa Rasulullah Saw melakukan perjalanan Isra Mikraj itu bukan atas kehendaknya sendiri dan bukan atas kemampuannya sendiri, melainkan atas kehendak dan kuasa Allah Swt. Jadi Rasulullah Saw bukan berangkat sendiri melakukan perjalanan Isra Mikraj melainkan Rasulullah Saw diberangkatkan oleh Allah Swt. Jadi Allah Swt yang berkuasa dan berkendak untuk memberangkatkan Rasulullah Saw untuk memasuki alam ruh dan melakukan perjalanan Isra Mikraj. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surat Al-Israa’ ayat 1.

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Israa’ [17]: 1).

Dengan memahami teori relativitas waktu, kita jadi lebih mudah memahami dan menerima bahwa peristiwa Isra Mikraj yang dialami Rasulullah Saw adalah masuk akal. Memang zaman dulu ketika orang-orang zaman Nabi Saw belum memahami tentang relativitas waktu, peristiwa Isra Mikraj sulit diterima akal sehat alias tidak masuk akal, tetapi setelah sains mengungkap kebenaran bahwa waktu bersifat relatif dengan ditemukannya teori relativitas khusus oleh Albert Einstein, maka peristiwa Isra Mikraj adalah masuk akal dan rasional.

Memperingati peristiwa Isra Mikraj mengajarkan kita untuk mengungkap kebenaran Ilahi yaitu konsep relativitas waktu bahwa waktu di alam semesta ini bersifat relatif. Kini bisa dimengerti bahwa waktu berubah-ubah di ruang-ruang alam semesta yang berbeda dan bahwa setiap tempat mempunyai kerangka referensi (kerangka acuan), yakni ukuran yang berbeda. Juga diketahui bahwa posisi tempat-tempat di alam semesta menentukan pengaturan waktu relatifnya. Melalui pemahaman konsep relativitas waktu, kita dapat memahami bahwa pengamat di alam semesta, dengan sedikit waktu yang sama dengan seribu tahun menurut perhitungan kita, dapat dengan mudah melihat milyaran orang yang lahir, hidup, dan mati selama periode ini. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau Allah Swt dapat melihat masa lalu, masa kini, dan masa akan datang (Abbas, 2000).

Sebagai penutup, memperingati hari besar Islam Isra Mikraj penting dilakukan umat Islam karena mengandung beberapa hikmah. Hikmah pertama, umat Islam jadi memahami betapa bermanfaatnya penemuan sains tentang teori relativitas khusus yang khusus berbicara tentang waktu yang bersifat relatif, walau sebenarnya jika umat Islam mau mengkaji Al-Qur’an lebih serius lagi, khususnya terkait ayat-ayat kauniyah, maka kebenaran konsep relativitas waktu akan lebih dulu dipahami orang Islam jauh sebelum Albert Einstein mengungkap teori relativitas khususnya. Hikmah kedua, dengan memahami kemukjizatan Isra Mikraj yang dialami Rasulullah Saw, dapat menambah keimanan kita tentang alam ghaib, yaitu ada alam lain di luar alam dunia yang dimensi ruang dan waktunya atau hukum alamnya (sunnatullah) berbeda dengan hukum alam di dunia. Hikmah ketiga, keberadaan hari akhir dapat diterima secara rasional sebagai alam berdimensi lain dimana dimensi ruang dan waktunya berbeda dengan dimensi ruang dan waktu di alam dunia. Dengan analogi berpikir tentang adanya planet, sistem tata surya ataupun galaksi di luar planet, sistem tata surya dan galaksi kita yang mana hukum alamnya berbeda dengan hukum alam di bumi, yang secara sains terima sebagai kebenaran ilmiah, maka harusnya keberadaan alam akhirat sebagai alam lain di luar alam dunia yang mana hukum alamnya juga berbeda dengan hukum alam di dunia, adalah sesuatu yang mudah diterima akal sehat atau bersifat rasional. Hikmah keempat, dari pemahaman tentang relativitas waktu yang ditunjukkan dari peristiwa Isra Mikraj membuka pemahaman kita bahwa sifat keabadiaan di alam akhirat itu masuk akal atau rasional karena memang di alam akhirat dimensi waktunya berbeda atau bersifat relatif dibandingkan dimensi waktu di alam dunia, yang mana di Al-Qur’an Allah Swt memberitahukan bahwa waktu sehari di akhirat itu setara dengan waktu seribu tahun waktu di dunia.  Hikmah kelima, dengan memahami konsep relativitas waktu yang diajarkan dari peristiwa Isra Mikraj, kita jadi lebih mudah menerima kebenaran bahwa Allah Swt mampu mengamati seluruh kehidupan makhluknya di dunia ini, karena waktu di sisi-Nya sangat lama dibandingkan waktu di dunia. Wallahu A’lam bish-Shawab. []

Gumpang Baru, 29 Januari 2023

 

Sumber Bacaan

Abbas, A. M. A. (2000). Singgasana-Nya di atas Air: Penciptaan Alam Semesta Menurut Al-Qur’an dan Sains. Jakarta: Penerbit Lentera.

Baiquni, A. (1996). Al-Quran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa.

CNN Indonesia. (2019, Oktober). Mengenal Teori Relativitas Einstein Beserta Pembuktiannya. Retrieved January 26, 2023, from Teknologi website: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191003101030-199-436322/mengenal-teori-relativitas-einstein-beserta-pembuktiannya

Faisal, I. (2022, February 27). Membumikan Makna Isra Mikraj. Retrieved January 13, 2023, from Kementerian Agama Republik Indonesia website: https://kemenag.go.id/read/membumikan-makna-isra-mi-raj-v3v7v

Jumini, S. (2015). Relativitas Einstein terhadap Waktu Ditinjau dari Al-Qur`an Surat Al-Ma’ârij Ayat 4. Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum, 1(02), 213–232. doi: 10.32699/syariati.v1i02.1110

Prasetya, Y. (2022, February 28). Mana yang Benar: Isra Mikraj atau Isra Miraj? Retrieved January 29, 2023, from KOMPASIANA website: https://www.kompasiana.com/yogaprasetya/621c0474bb44864df32420f2/mana-yang-benar-isra-mikraj-atau-isra-miraj

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here