Oleh: Much. Khoiri
Dalam tulisan “Ojo Nggege Mangsa,” saya menegaskan, bahwa menulis itu seharusnya ojo nggege mangsa, jangan terlalu ambisius mengharapkan hasilnya secara instan, sebelum waktunya tiba. Sebagaimana janji saya, saya akan membeberkan penjelasannya satu persatu. Kali ini, saya fokus pada niat: Jangan abaikan menata niat menulis.
Mengapa soal menata niat menulis ini saya bagikan di sini? Sebab, pertama, tak sedikit orang yang menjalani dunia menulis tanpa memiliki niat yang kuat. Ada “kekhilafan” yang salah kaprah. Mungkin berkat persuaan dengan pembicara pelatihan, atau membaca tulisan inspiratif, mereka langsung tancap gas menulis. Akibatnya, niatnya mengambang, atau bahkan tidak memiliki niat. Maka, tak sedikit mereka bertumbangan, dan tak bangun kembali.
Mereka tumbang bukan karena tidak bisa menulis, bukan!, namun karena mereka tidak memiliki niat kuat dalam menulis. Niat kuat membangkitkan kemauan, bukan? Meski pada permulaan mereka amat antusias belajar menulis, begitu ada godaan atau cobaan di tengah jalan—semisal kesibukan, keterbatasan fasilitas, dan sebagainya—mereka tidak berdaya untuk bertahan. Mereka goyah dan tumbang, itu akibat rapuhnya niat di dalam dirinya.
Kedua, dalam buku Rahasia Top Menulis (2014) dan dalam sejumlah fora diskusi, saya menegaskan bahwa niat menulis itu kekuatan yang sangat dahsyat yang seharusnya dimiliki oleh siapa pun yang ingin menjadi penulis. Ia adalah sumber motivasi, yang menggerakkan diri untuk mewujudkan inspirasi menjadi tulisan—tentu saja, dengan melakukan aksi menulis.
Niat itu bisa bersifat umum dan filosofis, bisa pula bersifat khusus dan pragmatis. Niat umum, misalnya, penulis harus menulis untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan bangsa. Adapun niat khusus, misalnya, penulis harus menulis untuk mendapatkan royalti atas diterbitkannya buku atau karya yang diciptakannya.
Penulis boleh saja hanya memiliki niat umum saja atau khusus saja. Namun, ada pula penulis yang memiliki kedua-duanya. Niat umum ada, demikian pun niat khusus; satu memperkuat yang lain. Namun, satu hal jelas, bahwa semakin tegas niat itu disusun dan disanubarikan ke dalam diri sendiri, maka kekuatan dahsyatnya akan menjadi daya dorong dan daya tahan.
Niat kuat akan menjadi daya dorong ketika diri menjadi malas, lemah, dan tak berdaya menghadapi berbagai kesulitan—baik kesulitan fisik diri maupun kesulitan lain semacam fasilitas, momentum, dan sebagainya. Sementara, niat kuat juga berfungsi sebagai daya tahan ketika diri diserang oleh berbagai godaan dan gangguan dari luar diri.
Mengapa orang menulis kadang berhenti di tengah jalan? Inilah penyebab mendasarnya: niatnya belum tertata rapi. Ketika godaan dan gangguan datang menghantam, orang tua itu tak kuasa bertahan, dan kemudian menyerah begitu saja. Akibatnya, mereka berhenti melakukan kegiatan menulis. Writer’s block inilah akibatnya.
Ketiga, dengan niat kuat, seorang penulis memiliki visi ke depan, dengan misi-misi yang jelas untuk direalisasikan. Dia akan menyusun atau merencanakan langkah-langkah kecil terencana untuk mewujudkan misi-misi yang ada. Dalam hal ini, dia akan bekerja keras, namun tidak nggege mangsa, sebab dia sadar bahwa semuanya membutuhkan proses.
Bagi orang demikian, kesuksesan bukanlah dicapai hanya dengan satu lompatan besar, melainkan dengan puluhan, ratusan, atau ribuan langkah terstruktur, terencana, dan terukur. Dia bukan seseorang sumbu pendek, yang cepat terbakar dan kemudian segera padam. Dia menikmati proses untuk menuju ke hasilnya, termasuk buku yang diterbitkan.
Nah, kini saatnya bertanya pada diri sendiri, apakah Anda masih tetap nggege mangsa akan menerbitkan buku sendiri meski Anda sejatinya belum siap? Mulailah dulu dengan menata niat yang kuat. Dengan memiliki niat kuat ini, Anda bisa meniti proses menulis selanjutnya secara alamiah—dan tidak instan!
*Much. Khoiri adalah dosen, penggerak literasi, editor, dan penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya.