Adakah manusia di dunia ini memiliki kekuasaan untuk mengubah sesuatu terhadap sesuatu? Sebagai salah satu makhluk, apakah manusia memiliki adidaya untuk mengubah sebuah kepastian yang sudah Tuhan tuliskan untuknya? Jika iya, satu contoh kecil saja, apakah kehadirannya di dunia ini adalah semau manusia tersebut, ataukah Tuhan yang memberikannya jasad dan meniupkan ruh ke dalam jasadnya? Jika kita merenungkan hal ini, bahkan untuk hidup, manusia tidak memiliki pilihan. Tiba-tiba ia sudah ada, tanpa tahu bagaimana proses keberadaan ini semua.
Contoh sederhana tersebut adalah sebuah wujud bahwa hidup manusia bergantung, dependent, bukan independent. Kebergantungan ini tentu saja bergantung kepada Sesuatu Zat yang menjadi tempat tumpuan segala hal. Siapakah Ia? Tentu saja, Tuhan yang menciptakan seluruh langit, bumi, ikan-ikan di lautan, bintang gemintang, bulan, matahari, dan seluruh makhluk-Nya yang hidup, maupun yang (tampak) tidak hidup. Tidak mungkin sebuah ada bisa terwujud oleh ketiadaan tanpa adanya Sang Mahaada. Oleh karena sifat alamiah manusia yang menggantungkan dirinya terhadap Zat yang Ada inilah, jika manusia merasa memiliki adidaya dan power untuk melakukan sesuatu dan menafikan bahwa ia bisa mencapai tahap itu sebab izin dari Zat yang menciptakannya, puncak keguncangan ruh dan jiwanya akan mulai menggerogoti. Kegersangan jiwa akan terasa, dan teriknya kemilau dunia mulai mengeringkan kerongkongan jiwa.
Makhluk bernama manusia memang unik, jika dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Dari kehadirannya saja, manusia telah menggoncangankan Arsy Allah, dan membuat setan serta iblis membangkang terhadap perintah Allah karena tidak mau bersujud kepada Adam As., kakek buyut dari manusia. Di bumi pun, manusia dianugerahi akal pikiran yang bisa menciptakan penemuan-penemuan untuk mempermudah kehidupannya. Sering pula manusia memperbaiki sekaligus merusak bumi. Inilah keunikan yang dimiliki oleh manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain.
Pada proses hidupnya, manusia sering disibukkan urusan-urusan duniawi yang menggerus seluruh waktunya. Padahal, tentu mereka juga mafhum, bahwa ‘segala yang hidup, pasti mati.’ Dengan menyadari dan mengingat perkara itu, sepatutnya manusia bisa menempatkan diri di tempat yang tepat, bukan malah menghalalkan semua cara untuk memperoleh kekuasaan dan popularitas dalam hidupnya yang singkat.
Zaman modern seperti sekarang ini memberikan beragam dampak masif dalam kehidupan manusia. Hilangnya tabir jarak dan waktu melalui kehadiran smartphone menggiring manusia untuk terus menuai eksistensi. Manusia terus menerus disibukkan dengan perkara-perkara dunia yang sering membuat mereka terlalu lelah dan capai dalam mengurusi kehidupan setelah ini. Bahkan waktu sehari 24 jam saja terasa begitu kurang. Padahal, keseimbangan terhadap dunia dan perkara ukhrawi semestinya bisa disandingkan. Namun karena kurangnya asupan gizi untuk hati, menyebabkan hati menjadi mati. Hal ini terwujud dengan beragam cara yang dihalalkan agar memeroleh ambisi duniawi yang diinginkan.
Lantas, bagaimana cara menyirami hati agar naluri dan nurani tumbuh subur? Agama hadir sebagai penopang dalam kehidupan. Dalam Islam, Allah berfirman bahwa ‘Dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.’ Meski telah diajarkan cara menenangkan hati, manusia sering lupa tentang mengingat Tuhannya. Wajar, memang manusia adalah tempat salah dan lupa. Namun betapa beruntungnya kita, jika Allah tetap memberikan kesempatan untuk mengingat-Nya dengan cara-cara yang penuh surprise untuk kita.
Hidup ini bisa dipandang dari beragam sisi, tergantung sudut mana yang hendak kita pakai. Jika kita memilih kacamata yang memberikan bias pandangan bahwa hidup ini rumit, tentu hidup akan rumit dan sulit. Sebaliknya, jika kacamata bahwa hidup ini simple dan mudah, yang terjadi adalah demikian, hidup ini mudah dan sederhana. Bisakah kita menentukan kacamata dalam memandang kehidupan? Bisa. Kita selalu memiliki pilihan, tergantung kita sendiri memilih jalan dan kartu mana dalam hidup yang membawa dampak di masa kini serta masa mendatang.
Dalam hal ini, paham dan keyakinan yang saya anut adalah paham di mana Allah telah menuliskan segala sesuatu untuk kita. Hal ini bisa menuntun kita untuk senantiasa bersikap sumeleh dan legowo yang memberikan bias ketenangan dan kebahagian agar senantiasa merajai hati dari sifat-sifat yang bisa mematikan hati. Berkompetisi sangat boleh, totalitas dalam melakukan semua hal yang baik harus, disiplin wajib dan semua hal-hal yang bisa meningkatkan produktivitas adalah sebuah keharusan agar hidup ini, setidaknya bukan hanya sekadar hidup yang menanti nomor antre kematian. Namun, jangan pernah melupakan poin bahwa semua terjadi atas kehendak dan izin dari Allah Swt. Tanpa izin dari-Nya, segala hal tidak akan mungkin terjadi. Jadi, manusia tidak memiliki daya untuk dirinya sendiri kecuali apa yang telah ia lakukan telah mendapatkan ACC dari Allah. Hal ini penting untuk diingat, agar manusia tidak mengakukan dirinya dan melupakan kekuatan dahsyat yang menjadi tempatnya bergantung.
Almarhum Mbah Moen (KH. Maimoen Zubair) pengasuh pondok pesantren Sarang memberikan sebuah contoh nasihat tentang ini, bahwa sebagai seorang pendidik, kita tidak bisa memintarkan anak didiknya. Tugas seorang pendidik yakni mendidik. Urusan memintarkan anak didiknya adalah urusan Allah. Sebagai pendidik pun, kita juga patut melakukan hal-hal profesional, misalnya memberikan metode yang tepat dan menarik untuk siswa, menyampaikan dengan sederhana untuk materi yang rumit agar mudah dicerna siswa, terus meng-upgrade pengetahuan agar cara dan apa yang disampaikan bisa terus mengikuti perkembangan zaman. Dengan mempraktikkan teori-teori pendidikan, bukan berarti jika tujuannya berhasil itu karena para pendidik menggunakan teori termutakhir dan karena kebagusan skill pendidik dalam menyampaikan materi kepada siswanya. Jika pikiran terus digerus dengan stigma seperti itu, lantas, di mana peran Allah? Bisa jadi juga, manusia yang memiliki ego dan nafsu merasa bahwa itu semua adalah karena dirinya sendiri tanpa ada campur tangan Tuhan. Padahal hakikatnya semua yang terjadi adalah karena Allah memberikan kita kemudahan dan Allah membuka pikiran-pikiran para peserta didik kita untuk paham.
Argumen ini akhirnya harus terlontarkan berangkat dari banyaknya problem yang dihadapi oleh manusia modern, pun dari renungan penulis tentang pengalaman hidupnya di zaman post-modern seperti sekarang ini. Banyak yang berlomba untuk menjadi yang terbaik, meski cara dan jalan yang dilalui menggunakan shortcut, bahkan menjegal kawan dan saudaranya sendiri. Untuk hal ini, Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib) memberikan nasihat yang sangat menyejukkan dan patut untuk disimak, yakni ‘yang memaknai hidupnya perlombaan, mati kepedulian hatinya pada orang lain, dengan cara mencengkram menyakiti, bahkan membunuh sekalipun, yang penting bisa juara. Yang memaknai hidupnya perjuangan menuju Tuhan, tak akan berhenti berbuat kebaikan sampai mati, membela yang papa dan mengasihi sesama, hidupnya menjadi cahaya menerangi semua manusia.’
Terakhir, sebagai penutup catatan ini, jangan lupa menjadi manusia yang manusia. Manusia yang memiliki esensi kemanusiaan dan manusia yang sadar bahwa suatu masa, ia akan kembali kepada Tuhannya.
Blitar, 12 Oktober 2019