Jejak Perjalanan Seperempat Abad

0
2701

Oleh: Dr. Ngainun Naim
(Dosen IAIN Tulungagung. Anggota Sahabat Pena Kita (SPK)

Masruri Abdul Muhit, Rasanya Baru Kemarin, Refleksi Seperempat Abad Darul Istiqomah Bondowoso, Gresik: Sahabat Pena Kita, 2019.

Mendirikan pondok pesantren itu tidak mudah. Ini pekerjaan berat. Hanya orang-orang yang memiliki keyakinan kuat, motivasi tinggi, dan teguh menghadapi segenap tantangan saja yang mampu melakukannya.

Kiai Masruri Abdul Muhit adalah sosok yang termasuk dalam kategori ini. Penampilan beliau tenang. Tutur katanya halus. Sikapnya lembut. Tetapi di balik itu semua terdapat pengalaman hidup yang sungguh luar biasa.

Buku ini adalah buktinya. Buku ini merekam—sebagian kecil saja—dari dinamika perjalanan beliau mendirikan, mengembangkan, dan menjadikan Pondok Pesantren Darul Istiqomah seperti sekarang ini. Saya sangat yakin fakta yang sesungguhnya lebih rumit, lebih dinamis, dan banyak hal yang tidak mungkin untuk ditulis.

Membaca bagian awal buku ini akan mengantarkan kepada kita sebab mengapa Pondok Pesantren Darul Istiqomah didirikan. Dijelaskan bahwa Darul Istiqomah lahir dari rasa percaya diri Kiai Masruri di tengah pesimisme yang sedemikian kuat. Motivasi awalnya adalah proses Kristenisasi sehingga ada 7 orang warga Dusun Curah Kebo Dekat Desa Pakuniran Maesan Bondowoso yang pindah keyakinan.

Realitas ini betul-betul menyentak kesadaran Kiai Masruri muda. Tekad ditancapkan. Pesantren harus didirikan. Hambatan dan rintangan menyertai setiap tahapan perjalanan. Meskipun demikian semangat itu terus terawat sehingga pesantren bisa berdiri, berkembang, dan terus berkembang seperti sekarang.

Apa kuncinya? Tentu banyak. Saya justru menemukan ungkapan bahasa Jawa yang beliau tulis di beberapa tempat, yaitu sing tekun bakal tekan najan kudu nganggo teken, siapa yang tekun akan sampai (sukses) walaupun harus memakai tongkat. Ketekunan itulah yang membuat Kiai Masruri begitu sabar merawat Pesantren Darul Istiqomah dengan sejuta dinamika, harapan, tantangan, dan juga kemajuan.

Buku ini, menurut saya, menarik sejak dari judulnya, “Rasanya baru kemarin”. Setiap paragraf di buku ini diawali juga dengan kalimat “rasanya baru kemarin”. Sungguh unik namun menggetarkan. Ada juga humornya. Pada halaman 9 Kiai Masruri menulis bahwa pada masa-masa awal banyak orang yang kurang setuju dengan pendirian Daris. Mereka suatu ketika menyetel lagu dangdut dengan volume yang tinggi sehingga shalat pun sulit khusyuk. “Bisa dibayangkan shalat yang diiringi irama lagu dangdut yang memekakkan telinga…Goyang maannggg”.

Bagian demi bagian—total 23 bagian—dari buku ini berisi kisah perjuangan. Keteguhan, keyakinan, dan semangat juang Kiai Masruri sungguh luar biasa. Meskipun demikian, pada bagian tertentu terbaca juga asa keputusasaan saat persoalan begitu berat mendera. Namun itu tidak lama. Sesaat kemudian semangat itu seperti terlecut kembali. Persoalan demi persoalan bisa terurai. Daris pun terus melaju hingga sekarang ini.

Misalnya, ada bagian yang membuat saya tertegun cukup lama. Bagaimana rasanya menyebarkan undangan kepada banyak pihak, mulai Bupati sampai perangkat desa, dan mereka awalnya menyanggupi hadir tetapi tidak ada satu pun yang datang? Kondisi ini terjadi saat peresmian PP Daris. Kecewa itu pasti tetapi semua itu harus dijalani sebagai bagian dari perjalanan pesantren. Ketegaran Kiai Masruri terlihat pada setiap kalimat yang ditorehkan di buku ini.

Kiai Masruri adalah sosok yang luar biasa. Beliau bukan anak kiai tetapi bisa menjadi kiai dengan pesantren yang terus tumbuh dan berkembang secara pesat. Perjuangannya, sebagaimana tergambar di buku ini, sungguh luar biasa.

Buku ini merupakan bukti nilai lebih yang dimiliki oleh Kiai Masruri yang jarang dimiliki oleh kiai-kiai yang lainnya. Jejak perjalanan pesantren dengan segenap dinamikanya sungguh sangat penting artinya untuk disampaikan kepada masyarakat luas. Sebuah buku yang ditulis oleh tokoh utama seperti buku ini bisa memberikan informasi yang lebih objektif dan komprehensif kepada masyarakat yang umumnya tidak mengetahui secara utuh perjalanan pesantren.

Sebagai catatan untuk cetakan berikutnya, saya kira buku ini penting dilengkapi dengan dua bagian lagi sehingga lengkap 25 bagian, bukan hanya 23 bagian. Buku ini berkisah 25 tahun perjalanan Darul Istiqomah maka akan singkron jika isinya juga 25 bagian. Album foto di bagian belakang buku ini akan lebih baik jika ada keterangan peristiwa dan waktunya. Ini memudahkan bagi kami sebagai orang dari Luar Darul Istiqomah untuk memahami konteks foto tersebut.

Terlepas dari itu, buku ini sungguh luar biasa. Ditulis oleh Kiai Masruri yang juga luar biasa. Sebuah kisah perjuangan yang masih koma, belum titik karena perjuangan akan terus berjalan. Semoga Darul Istiqomah semakin sukses. Amin.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here