Dalam beberapa paragraf berikut ini, saya akan mengutip sejumlah pernyataan inspiratif Kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang berikut beberapa potong kalimat sebagai penjelas. Kutipan yang ingin saya utarakan di sini adalah yang berkenaan dengan idenya tentang perlunya keseteraan antara wanita dan laki-laki.
Yang perlu diklarifikasi terlebih dahulu adalah kesetaraan yang dimaksud bukan berarti persamaan sepenuhnya antara laki-laki dan perempuan. Namun lebih pada keseimbangan antara mereka. Jika yang dimaksud seimbang, maka boleh jadi peran yang dilakukan oleh masing-masing pihak berbeda. Namun peran mereka mempunyai bobot yang sama.
Kasus poligami agaknya menjadi contoh paling aktual untuk pemikiran di atas. Terhadap praktik poligami yang terjadi ketika itu, Kartini begitu tegas menolaknya.
“Meskipun seribu kali orang mengatakan, beristri empat itu bukan dosa menurut hukum Islam, tetapi aku, tetap selama-lamanya aku mengatakan itu dosa. Segala perbuatan yang menyakitkan sesamanya, dosalah pada mataku.”
Jika dilihat dari kandungan paragraph di atas semata, mungkin akan segera tersimpulkan bahwa Kartini menolak poligami. Dan tentu ini satu hal yang agak janggal. Sebab beliau adalah murid dari KH Sholeh Darat dari Semarang yang merupakan guru baik dari KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyyah, dan KH Hasyim Asya’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.
Namun hingga pada pembahasan ini, saya tidak dalam posisi membenarkan atau menolak pandangan bahwa Kartini menolak poligami sepenuhnya. Yang ingin ditegaskan dalam artikel ini adalah paragraph di atas dan pemahaman terhadap pemikiran Kartini harus dilihat secara holistik, disambungkan antara pernyataannya yang satu dengan dengan yang lain. Sebab, poligami itu pun suatu praktik hukum Islam yang tidak bisa serta merta dan sekehendak hati dilakukan oleh seorang laki-laki. Mesti sekian syarat harus bisa diperhatikan dan dipenuhi oleh seorang laki-laki.
Menurut pendapat Penulis, agaknya yang ditolak oleh Kartini adalah poligami yang dipenuhi kesewenang-wenangan dari pihak laki-laki terhadap perempuan. Kesewenang-wenangan itulah yang akhirnya melahirkan sakit dan penderitaan. Dan menebar rasa sakit dan penderitaan terhadap sesama, menurut Kartini, adalah sesuatu yang jelas berdosa. Sebenarnya hal ini tidak hanya disampaikan oleh Kartini. Namun sedari awal agama Islam, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Qayyim al-Jawzi, mendeklarasikan bahwa hukum Islam berdasar atas kasih sayang dan toleransi.
Praktik poligami yang melahirkan sakit dan penderitaan inilah yang kemudian akhirnya menjadikannya mengharamkan pernikahan bahkan untuk dirinya sendiri.
“Mengertilah engkau sekarang apakah sebabnya maka sesangat itu benar benciku akan perkawinan? Kerja yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas. Tetapi, tiada suatu jua pun boleh dikerjakan, karena menilik kedudukan Bapak.”
Dari kalimat di atas, jelas bahwa Kartini menolak pernikahan. Namun, sekali lagi, pemikiran Kartini yang luas tidak boleh hanya disimpulkan dihakimi berdasarkan satu atau dua paragraph. Pemikirannya harus dibaca dengan komprehensif dan holistik. Menurut Penulis, Kartini tidak bermaksud mengharamkan pernikahan sepenuhnya. Yang ia tolak adalah perkawinan yang justru melahirkan penderitaan.
Kesimpulan ini akan menemukan kelindan erat pada paragraph panjang berikut ini:
“Adapoen jang disoekaï R. A. Kartini pengetahoean, soepaja moedah ia dapat mendjalankan pekerdjaannja jang telah didjandjikannja dalam hatinja sendiri, jaïtoe menambahi kepandaian dan boedi perempoean Djawa, soepaja ia tjakap memeliharakan anak-anaknja. Lain dari pada itoe meiepaskan anak perempoean Djawa dari pada kawin terpaksa dan dari segala ganggoean jang mengoerangi kebébasan si anak itoe. Dengan tjara demikian R. A. Kartini hendak menjampaikan maksoednja, soepaja perempoean-perempoean mendjadi sahabat jang berharga oentoek soeaminja. Dalam pada itoe berapapoen keras hati R. A. Kartini hendak menjampaikan niatnja itoe, iapoen sekali-kali tidaklah maoe mendoekatjitakan ajahanda jang ditjintainja.”
Begitu mulia akhlak Kartini. Penolakannya terhadap praktik perkawinan biasa atau bahkan poligami bukan semata-mata berdasarkan bentuk perkawinan tersebut. Yang ditolaknya adalah penderitaan dan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh praktik tersebut. Dan tentu hal ini selaras dengan prinsip dasar dalam Islam, yaitu maqasid al-shariah, yang berusaha dalam setiap ketentuannya untuk menghindar manusia dari segala jenis penderitaan.
Apa yang kemudian dicita-citakannya dengan penolakan tersebut adalah, sebagaimana tertulis pada paragraph di atas, justru penguatan spirit emansipasi wanita, yaitu untuk menjadikan para perempuan lebih terdidik sehingga bisa menjadi sahabat yang berharga untuk suaminya. Ini juga tentu selaras dengan ajaran Islam yang memandang setiap manusia, lelaki atau perempuan, setara belaka. Pekerjaan boleh jadi berbeda; namun tanggung jawab yang diembannya tetaplah sama. Keduanya sama-sama bertanggung jawab langsung terhadap Allah Swt Yang Maha Kuasa.
Luar biasa, Kartini!