Pendidikan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia saat ini tidak terlepas dari perjuangan oleh tokoh-tokoh bangsa terdahulu yang telah memperjuangkan Pendidikan. Mereka mempunyai keyakinan bahwa salah satu jalan yang mampu merubah nasib bangsa supaya lebih baik adalah melalui pendidikan. Melalui jalur pendidikan yang terstruktur dengan sistematis, maka kemajuan preradaban bangsa akan mampu terwujud.
Begitu banyak tokoh bangsa yang memperjuangkan pendidikan. Kita mengenal Ki Hajar Dewantara yang memperjuangkan bangsa Indonesia melalui konsep pendidikan yang harus berakar dari jati diri bangsa dan khazanah luhur budaya bangsa yang dikenal dengan pribumisasi, dalam perkembangannya pada zaman kontemporer, konsep ini dikenal dengan indigenisasi.[1]
Selanjutnya kita juga mengenal seorang perempuan yang berjuang melalui lini pendidikan. Dia adalah Nyai Walidah. Sebagai seorang perempuan, tentu Nyai Walidah berusaha memperjuangkan kaum perempuan melalui pendidikan, dia berusaha membuang jauh-jauh stigma perempuan hanya sebagai konco wingking bagi kaum pria. Salah satu organisasi yang didirikan oleh Nyai Walidah bernama Sopo Tresno. Organisasi inilah yang menjadi embrio dari salah satu organisasi Muhammadiyah yang kelak menjadi nama Aisyiyah.[2] Sebagai istri dari seorang tokoh besar dan pendiri Muhammadiyah–K.H. Ahmad dahlan—tentu Nyai Walidah tetap berusaha berjuang sesuai dengan tuntunan agama Islam yang dianutnya.
Jauh sebelum kedua tokoh dan beberapa tokoh pahlawan lain yang berjuang demi kemajuan bangsa Indonesia melalui jalur pendidikan, ada satu tokoh perempuan yang menjadi inspirasi bagi tidak hanya bagi kaum perempuan, akan tetapi tokoh tersebut juga membawa inspirasi tersendiri bagi kaum pria. Sifat kegigihan dan keuletannya inilah yang menjadi teladan di dalam menkontruksi sikap positif bagi bangsa Indonesia.
Setiap tanggal 21 April selalu diperingati Hari Kartini, berbagai ragam kegiatan diselenggarakan untuk memeriahkan hari yang sangat bersejarah ini. Mulai dari pawa memakai baju layaknya Raden Ajeng Kartini, perlombaan dolanan jadul pada masa Kartini, dan masih banyak lainnya. Semua dengan satu tujuan, yaitu mengingat jasa dan meneladani Kartini.
Bahkan, nama Kartini ini tidak jarang diberikan oleh orang tua terhadap anak perempuan mereka. Tentu dengan memberikan nama kartini, orang tua-orang tua ini mempunya harapan yang positif terhadap anaknya. Sosok Kartini dulu memang terkenal ibarat Wonder Woman yang mampu merubah putus asa menjadi asa bagi kaum perempuan, meski saat itu kaum perempuan tidak mendapatkan pendidikan formal, namun dengan upaya-upaya yang dilakukan Kartini, sampai detik ini hasilnya mampu dirasakan oleh kaum perempuan bangsa Indonesia.
Sebuah buku yang merupakan magnum opusnya R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah terang, terkandung beberapa konsep pendidikan yang relevan dengan pendidikan Islam. Konon buku ini muncul manakala Kartini mengaji sebuah tafsir dari ayat al-Qur’an yang diajarkan oleh gurunya, yatu Kiai Sholeh Darat (Semarang: 1820-1903 M), tafsir tersebut bernama Tafsîr Faidh ar-Rahmân.[3]
Sebuah peneltian yang dilakukan oleh Siti Kholisoh terhadap analisis dan penalaran karya R.A. Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang menghasilkan 5 konsep pendidikan yang masih relevan dengan pendidikan saat ini, yaitu; pertama, perempuan merupakan tempat pendidikan yang pertama bagi anak-anak. Kedua, perempuan mampu menghadirkan perubahan di dalam kehidupan berkeluarga. Ketiga, seyogiayanya konsep pendidikan yang dilakukan ini mendidikan jiwa dan budi pekerti, sehingga anak tidak akan cerdas secara otak, tetapi akhlak tetap diperhatikan dalam perkembangannya. Keempat, di dalam konsep pendidikan antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang pantas. Dan kelima, konsep pendidikan ini harus dibangun berlandaskan cinta terhadap tanah air bangsa Indonesia.[4]
Konsep pendidikan yang digagas oleh R.A. Kartini sebenarnya relevan dengan konsep pendidikan yang ada ada sekarang ini, signifikansi ini bisa dilihat dari konsepsi pendidikan bangsa Indonesia yang merupakan nusantara dan konsepsi pendidikan Islam yang sebenarnya sudah digagas oleh R.A. Kartini, tentu di dalam perkembangan akan muncul konsep-konsep baru yang akan menguatkan kedua konsep pendidikan, baik secara nusantara maupun secara islam.
Bangsa indonesia sebenarnya adalah bangsa yang plural dan heterogen, sehingga paham mutikultural tidak mampu dipisahkan dengan budaya-budaya yang ada di dalam bangsa ini. Sehingga konsep pendidikan seyogianya mengusung konsep pendidikan yang berkarakter dan multikultural. Konsep-konsep karakter bangsa sebagian sudah diwakili oleh konsep yang diusung oleh R.A. Kartini. Multikultural sendiri memberikan tawaran menarik yaitu dengan model pendidikan karakter yang holistik diajarkan secara trstruktur dan sistematis melalui knowing the good, feeling the good, dan acting the good.[5]
Pada kondisi semacam ini, konsep-konsep yang diusung oleh R.A. Kartini dalam bukunya menjadikan sebuah pemantik bagi para stakeholder pemangku kebijakan dan aktor dunia pendidikan. Antara konsep dahulu dan sekarang diharapkan saling melengkapi, bukan saling menghancurkan satu sama lain. Lebih baik mempertahankan sesuatu yang lama itu yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru untuk kemaslahatan dan kemajuan bersama. Dunia pendidikan memerlukan kerjasama dari semua pihak untuk maju dan berkembang. Saling berjalan beriringan dan saling menopang antara satu dan lainnya.
[1] Al Musanna, “INDIGENISASI PENDIDIKAN: Rasionalitas Revitalisasi Praksis Pendidikan Ki Hadjar Dewantara,” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan 2, no. 1 (June 13, 2017): 117–133, accessed April 30, 2023, http://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk/article/view/529.
[2] Candra Rizki Dwi Safitri and Budi Haryanto, “Nyai Walida Sebagai Tokoh Pendidikan Nasional,” Journal of Islamic and Muhammadiyah Studies 1, no. 1 (February 15, 2020): 1–6, accessed April 30, 2023, https://jims.umsida.ac.id/index.php/jims/article/view/222.
[3] Siti Kusrini, “Methodology of Quranic Interpretation in Faidur Rahman by KH. Saleh Darat,” Tafhim Al-’Ilmi 13, no. 2 (March 4, 2022): 228–239, accessed April 30, 2023, http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/tafhim/article/view/5456.
[4] Siti Kholisoh, “Konsep Pendidikan Perempuan R.A. Kartini Dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang,” 2016.
[5] Chusnul Muali, “Rasionalitas Konsepsi Budaya Nusantara Dalam Menggagas Pendidikan Karakter Bangsa Multikultural,” JURNAL ISLAM NUSANTARA 1, no. 1 (June 30, 2017): 105–117, accessed April 30, 2023, https://jurnalnu.com/index.php/as/article/view/64.