Oleh Husni Mubarrok
Dunia telah digoncangkan, tak ada yang menyangka. Bahkan terbersit saja, sepertinya tak tersentuh. Siapa yang menyangkan dan meramalkan kehidupan dunia bakal seperti ini. Kehadiran virus Corona (Covid-19) secara tiba-tiba telah memperdaya, merenggut nyawa hingga jutaan umat manusia. Sungguh, manusia sangat lemah, tak mampu meramal untuk kasus yang sedahsyat ini. Maka sangat tak layak jika manusia harus menyombongkan diri. Merasa paling pintar diantara makhluk Tuhan lainnya. Ilmu manusia itu sangat sempit. Sungguh, hanya setetes bui di tengah lautan. Lantas apa yang mesti disombongkan? Sadarlah wahai insan, anak keturunan Adam.
Allah berfirman, “…dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS. Al Israa: 85)
Iya, pandemi Covid 19 telah memperdaya. Meremukkan segala sendi kehidupan. Semua jadi korban, penduduk bumi meradang. Aktivitas manusia lenggah, semua serba terdiam membatasi diri. Social distance, physical distancing, masker, hand sanitizer menjadi isu global yang membahana, menjadi aktor penting di mana-mana, di hampir seluruh negara. Yuk, kita intip sekilas beberapa sektor kehidupan di masa pandemi yang ikut terdampar.
Di sektor pendidikan, sekolah diliburkan. KBM secara tatap muka “face to face” tidak diperkenankan. Siswa belajar dari rumah, guru pun demikian, mengajar dari rumah. Kini semua serba digital, pembelajaran jarak jauh melalui virtual menjadi sebuah kebutuhan. Sebelumnya sebagian guru alergi IT, namun sekarang mereka dipaksa. Keadaan ini jelas menuntut guru harus melek IT, siapa yang tidak mampu menyesuaikan jelas akan makin tenggelam. Melek IT, kreativitas dan inovasi menjadi prasyarat penting bagi guru dalam mendesain pembelajaran di masa pandemi Corona.
Di sektor ekonomi. Banyak perusahan yang tak mampu bertahan, kegiatan produksi terbatasi, daya jual menurun seiring makin sempitnya jangkauan luas distribusi. Beberapa pasar dibekukan, tak ada lagi aktivitas jual beli. Mall-mall lenggah, seakan mati suri. Iya, Mobilitas di sektor ekonomi merasakan betul dampak pandemi Covid 19 ini. Menurunnya pendapatan masyarakat, hingga hilangnya pekerjaan penduduk sebagai imbas rasionalisasi perusahaan menjadi fenomena harian yang makin kentara kita saksikan.
Dalam hal peribadatan. Physical distancing yang mengharuskan setiap jiwa harus menjaga jarak dengan yang lainnya memunculkan fenomena “ngeri” dalam hal peribadatan. Seperti, shaf jamaah shalat yang tak lagi rapat, tausiyah khutbah jum’at yang makin diperpendek, kegiatan pengajian di masjid-masjid yang makin tenggelam hingga beberapa masjid malah harus ditutup rapat dari aktivitas para jama’ahnya. Inilah ikhtiyar, usaha manusia dalam rangka membatasi diri, memutus mata rantai, mencegah penyebaran virus Corona agar tak semakin merajalela merenggut jiwa umat manusia.
Setelah beberapa bulan, masyarakat dunia hidup dalam keterbatasan mobilitas. Menjaga jarak, dan menjauhi kerumunan (crowd) dalam segala aktivitasnya di luar rumah hingga memunculkan berbagai macam kebijakan, seperti lockdown, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan munculnya berbagai istilah Work From Home (WFH), Stay At Home dan lain sebagainya. Maka, kini saatnya kehidupan norma baru “the new normal” kita sambut dan kita jalankan.
Tak mungkin kan? kehidupan terus terpasung dalam jerat Covid-19. Tak mungkin kan? kita terus-menurus berdiam diri, membatasi diri hanya tinggal di rumah saja. Sepelik apapun, kita harus terus melangkah. Melanjutkan kisah drama hidup meski dengan standar dan gaya hidup yang berbeda dari sebelumnya.
Presiden kita, Bapak Jokowi dalam satu kesempatan pernah mengatakan dan meminta masyarakat agar kiranya mereka dapat hidup berdampingan dan berdamai dengan virus yang menyerang sistem pernapasan ini.
Bagi Jokowi, pernyataan itu bukan ungkapan pesimis bahwa negara telah kalah dalam menangani Corona. Namun secara prinsip ingin mengatakan bahwa masyarakat perlu memiliki harapan untuk terus bertumbuh meski terjebak dalam krisis hidup yang makin merana.
“Berdampingan itu justru kita tidak menyerah, tapi menyesuaikan diri. Kita lawan keberadaan virus Covid-19 tersebut dengan mengedepankan dan mewajibkan protokol kesehatan yang ketat yang harus kita laksanakan,” demikian, beliau pernah mengatakan, Jumat (15/5). (detik.com)
Hal senada juga pernah dikatakan oleh juru bicara pemerintah Bapak Achmad Yurianto. Dalam beberapa konferensi pers virtual, ia senantiasa menggarisbawahi tentang pentingnya adaptasi terhadap norma hidup baru, atau yang disebutnya “the new normal.”
Hal itu dikatakannya, merujuk pada argumentasi sejumlah pakar epidemiologi dan pejabat WHO yang mengatakan bahwa pandemi ini mungkin tidak akan pernah hilang dari muka bumi. Ia akan menjadi satu kultur baru bagi masyarakat global untuk menjalani hidup mereka selama dan pasca pandemi.
“Inilah yang kemudian kita hidup sebagai normal baru. Oleh karena itu, satu-satunya cara agar kita bisa produktif dan aman dari Covid ini adalah hidup berdampingan dengan Covid-19,” demikian beliau katakan saat di Graha BNPB Jakarta, Minggu (17/5). (detik.com)
Melihat fakta demikian, maka “the new normal” adalah sebuah keniscayaan. Sebuah era yang harus siap dihadapi betapapun beratnya memerlukan berjuta penyesuaian. Beberapa tatanan kehidupan baru yang mungkin akan kita jumpai dan sudah selayaknya kita welcome-i, diantaranya:
Pertama, bidang Pendidikan
Membanjirnya pembelajaran daring, menuntut guru harus melek teknologi. Guru yang bermodel kertas bukan zamannya lagi. Kreativitas, penuh inovasi yang terbalut teknologi menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi. Maka selayaknya guru harus meng-upgrade diri agar tetap bisa fight mendesain pembelajaran di era new normal dengan gagah berani.
Kedua, pola hidup bersih
Satu era baru dalam gaya hidup akan terjadi. Perhatian masyarakat akan kebersihan diri makin meningkat. Mereka sadar dan akan menjadi kebutuhan vital. Pola hidup bersih, seperti mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, memakai masker ketika di luar rumah, tidak jajan sembarangan, rajin berolahraga, menjaga stamina tubuh dan mengkonsumsi vitamin jelas akan menjadi sebuah tatanan. Kebiasaan yang tertanam dalam aktivitas harian.
Ketiga, pola kerja yang makin fleksibel
Tempat kerja tak lagi identik dengan ruangan kantor di lembaga, pabrik atau perusahaan. Bekerja tak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu. Dimanapun bisa dan kapanmu bisa dilakukan. Work From Home (WFH) tak akan lagi asing, bahkan mungkin membudaya. Kecanggihan teknologi telah membantu segalanya dan inilah yang akan menjadi partner setia dalam bekerja.
Keempat, teknologi sebagai pilar mobilitas
Tak dapat dipungkiri, hidup di era new normal akan menuntut banyak perubahan, satu yang paling dominan adalah terpusatnya aktivitas manusia dengan teknologi. Beragam bisnis online kemungkinan makin merajalela. Transportasi digital, jasa online, infotainment dan beragam kemudahan layanan kebutuhan hidup lainnya pastinya makin membuncah. Maka bagi siapapun termasuk di sektor usaha dan industri konvensional bersiap-siaplah merana, bila tidak diimbangi dengan kemampuan digitalisasi yang mumpuni.
Oleh karenanya, mari kita sikapi “the new normal” sebagai tatanan baru kehidupan yang dapat meningkatkan kualitas hidup sebagai pribadi tangguh dan tegar. Iya, pribadi yang makin inovatif dan kreatif, makin disiplin dalam menjaga kesehatan dan makin menyadari betapa manusia sangat lemah dihadapan-Nya, maka tak seharusnya manusia sombong dan menjauhi Tuhannya. Corona telah membuktikan, bahwa manusia tak berdaya dan Tuhanlah sang Maha Pemilik segalanya. Allahu Akbar.
Husni Mubarrok, penulis asal Gresik yang juga seorang guru ini, telah berkarya lebih dari 29 buku, (solo & antologi). Semangatnya untuk saling berbagi, berkarya dan saling menginspirasi telah mengantarkannya menjadi guru penulis syarat prestasi. Baginya menulis adalah jalan jihan, jalan menapaki amal jariyah, dan jalan meraih sukses dunia akhirat. Penulis bisa dihubungi di 085816538665, Fb Husni Mubarok atau email husniekonomi2014t@gmail.com