Kemerdekaan Menulis Wujud Dedikasi

0
69

“Kemerdekaan yang gagal diisi hanya akan menjadi narasi yang penuh basa-basi.”

~ Najwa Shihab ~

Tiada kata yang menggambarkan kondisi kemanusiaan yang begitu nyaman dan melegakan selain kata ‘merdeka’. Merdeka merupakan suatu situasi dan kondisi pembebasan dari berbagai tekanan yang menjajah hak-hak kemanusian insani. Maka, tak heran bahwa tujuan kemanusiaan atas segala tindakan penjajahan adalah pembebasan agar terpenuhi hak asasi manusia. Beruntung bangsa Indonesia dapat mengusir penjajah dan menyatakan kemeredekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Momentum ini menjadi landasan penting bagi bangsa Indonesia untuk mulai menapaki jalan kebebasan sebagai manusia utuh. Memang, kemerdekaan yang sudah diraih tersebut perlu waktu, ilmu dan sarana agar setiap anak bangsa dapat merasakan secara utuh apa arti kemerdekaan tersebut bagi dirinya. Sejatinya, kemerdekaan tersebut harus menjadi milik dan hak setiap insan Indonesia, selain hak kelompok dan bangsa secara keseluruhan.

Berkaitan dengan dunia literasi, kemerdekaan berekspresi dalam berkaya, terutama menyampaikan gagasan, ide atau pemikiran, merupakan hal yang esensial. Pembatasan, apalagi pengekangan dalam mengeluarkan ide, pendapat, sama saja dengan mengurangi hak asasi manusia. Mengapa sampai terjadi “pembatasan”? Boleh jadi karena ide atau gagasan yang dilahirkan dapat menimbulkan perpecahan, ketegangan maupun ketersinggungan bagi sebagian orang lain. Boleh jadi pula ide atau gagasan tersebut tidak sesuai dengan kaidah hukum, tradisi, adat kebiasaan dari bangsa Indonesia yang pruralis sehingga dapat menimbulkan salah pengertian.

Bangsa Indonesia yang besar ini, sekitar 270 juta penduduk, adalah bangsa besar dengan risiko yang memungkinkan terjadinya kesalahpahaman. Beruntunglah Indonesia memiliki UUD’45 dan Pancasila yang menjadi pilar berpikir dan bertindak setiap anak bangsa. Kedua landasan hukum tersebut menjadi pemagar atau rambu dalam setiap aktivitas. Apakah kita perlu atau harus selalu sadar bahwa setiap aplikasi penerapan perilaku sebagai anak bangsa mengacu pada kedua pilar utama tersebut? Tentu saja hal ini menjadi dasar hukum dan pengarah setiap tindakan kita, termasuk dalam penerapan aktivitas literasi.

Sebagai penulis, kita merasa beruntung karena semakin merasakan semakin berada pada posisi yang semakin membaik, jauh lebih baik dari waktu ke waktu. Boleh jadi, zaman Orde Baru, kebebasan berekspresi melalui karya tulis memerlukan seleksi atau persetujuan dari pihak terkait. Seolah karya tulis itu mempunyai batasan ketat, apalagi jika tidak sesuai dengan selera penguasa. Kita mengenal karya-karya penulis sekelas Pramoedya Ananta Toer misalnya, yang harus melewati serangkaian penolakan bahkan pelarangan publikasi buku-bukunya yang dianggap berbahaya jika sampai dibaca rakyat Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada tulisan-tulisan yang dimuat di surat kabar atau koran dan majalah. Pelanggaran tersebut membawa konsekuensi pembredelan terhadap koran atau majalah yang bersangkutan. Inilah suatu bukti bahwa kebebasan dan kemerdekan menulis itu belum sepenuhnya menjadi hak penulis dan pembaca.

Zaman terus berubah disertai kemajuan di berbagai bidang, termasuk kecanggihan teknologi informasi yang berubah begitu cepat. Hadirnya platform media sosial dalam satu dekade terakhir, membuat aktivitas biterasi berlimpah tidak terbendung. Media-media mainstream menjadi “kaku” oleh aturan-aturan normal yang kaku dan formal. Peran media sosial membuat kekakuan dan keformalan tersebut menjadi lebih cair dan leluasa. “Perbedaan” ekspresi kedua media tersebut, di satu sisi, memperkaya khasanah pengetahuan dan informasi. Tetapi di sisi lain, seolah terjadi kompetisi. Bagi rakyat hal ini menjadi alternatif pilihan yang semakin memperkaya pilihan. Efek negatif yang muncul tentu saja pembaca maupun penulis, harus mampu memiliki kemampuan menyaring dan men-sharing apa yang ditulis dan dibaca secara bertanggung jawab. Di sinilah letak bahwa kemerdakaan yang tanpa batas itu sejatinya tidak ada dan tidak sesuai dengan hak-hak kemanusiaan itu sendiri. Kemerdekaan dan kebebasan individual itu tetap dihargai dan dihormati  namun ia dibatasi oleh kemerdekaan dan kebebasan orang lain. Artinya, tidak ada kebebasan dan kemerdekan indivual yang sepenuhnya 100% selama yang bersangkutan masih menjadi warga negara atau ia masih menjadai bagian dari sebuah golongan, kaum, atau apalagi bangsa.

Kita perlu berterima kasih dan bersyukur bahwa kesempatan berdedikasi sebagai wujud persembahan kepada peradaban dan kemajuan melalui literasi adalah cita-cita luhur yang perlu mendapat apresiasi. Dedikasi sesuai dengan bidang dan kemampuan masing-masing, menjadi bukti bahwa kita peduli dan hidup di tengah keberadaan pihak lain. Kita ingin ikut berbagi, berpartisipasi maupun ikut membangun peradaban agar semakin maju sehingga kemerdekaan individu maupun kelompok semakain terasa keberadaannya.

Para pejuang Literasi dapat mengambil bagian dan terus menerus menghasilkan karya yang berfaedah sehingga menjadi inspirasi dan sumbangsih yang bermakna bagi kehidupan. Melalui aktivitas literasi, ketermelekan buta huruf, ketermelekan baca tulis akan semakin membaik. Secara moral para pegiat Literasi dituntut juga untuk menggunakan kaidah norma dan nilai yang berlaku di tengah masyarakat sebagai pengarah, penuntun dan penunjuk jalan kebaikan dan kebenaran agar rakyat semakin cerdas dan beradab. Inilah bentuk dedikasi mulia yang sebaiknya menjadi senjata andalan para pegiat dan pejuang literasi demi Indonesia yang lebih baik.

***

Bionarasi Penulis

Rita Audriyanti. Pemelajar, 64 tahun. Usia 53 baru mulai serius menekuni dunia menulis, telah menghasilkan 11 buku solo dan 105 antologi dari berbagai genre yang diterbitkan di penerbit mayor maupun indie. Harapannya ingin menghabiskan masa menua dengan terus menulis. Ia dapat dilihat di IG @literatus.rita dan Facebook Rita Audriyanti.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here