Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Syekh Hisyam al-Burhani (1932-2014),[1] seorang ulama sufi kharismatik di Damaskus, bercerita tentang seorang penggali kubur di pemakaman “Dahdah”. Pemakaman ini sangat terkenal, karena di sana ada makam-makam para auliya, para ulama, para mujahid dan para syuhada’.
Suatu hari ada seorang perempuan datang kepada si penggali kubur. Perempuan itu meminta supaya dibuatkan satu lubang kuburan. Tidak berselang lama, datanglah jenazah. Anehnya, jenazah itu tidak diiringi oleh banyak orang. Hanya beberapa laki-laki saja.
Jenazah itu diturunkan ke tanah, dibuka kerandanya dan diturunkan ke dalam liang kubur. Si penggali kubur sendiri saat itu ada di bawah untuk menerima jenazah. Ketika hendak meletakkannya di dalam liang kubur, tiba-tiba kuburan itu tampak terbuka dan berubah menjadi sebuah taman yang indah dalam pandangannya. Syekh Hisyam menyebutnya raudhatul jannah, taman surga.
Kejadian ini sungguh nyata. Lelaki penggali kubur itu langsung tak sadarkan diri, karena kaget melihatnya. Lalu dia sadar kembali. Sejenak setelah itu, dia melihat dua orang datang dengan berkuda yang langsung mengambil mayit itu dan pergi begitu saja. Si penggali kubur itu pun kembali tak sadarkan diri.
Anehnya, orang-orang yang ada di sekitar itu tidak melihat apa-apa. Hanya si penggali kubur itu saja yang melihatnya. Oleh orang-orang yang ada di pemakaman itu, si penggali kubur itu kemudian diperciki air hingga sadar kembali. Orang-orang itu kemudian bertanya, “Apa yang terjadi pada dirimu?” Lelaki itu menjawab, “Demi Allah, aku melihat keanehan. Aku melihat ini ini ini.” Mereka lalu bilang, “Ah, paling itu halusinasimu saja.” Para pengantar itu pulang.
Beberapa bulan kemudian, si wanita itu datang lagi ke si penggali kubur. Dia minta agar dibuatkan satu lubang kuburan lagi. Kuburan digali dan mayit pun datang. Sama seperti kejadian pertama, kuburan itu terbuka dan dilihatnya taman surga di depan matanya. Dan datang kemudian dua lelaki berkuda mengambil mayit itu. Kali ini si penggali kubur tidak pingsan. Dia keluar dari dalam kubur dan mengejar perempuan yang memesan galian lubang kubur, “Siapa sesungguhnya dirimu? Dari mana dirimu berasal?
Perempuan itu menjawab, “Wahai lekaki, aku tertimpa musibah. Mayit ini adalah anakku. Dan yang beberapa bulan yang lalu juga anakku.“
“Oh, jadi engkau yang mempunyai dua orang lelaki itu.“ Kata si penggali kubur. “Aku melihat keanehan atas kedua mayit anakmu itu.” Si penggali kubur itu lalu menceritakan apa yang dia alami selama dua kali itu sambil bertanya, “Amalan apa yang dilakukan oleh kedua anakmu itu sehingga Allah memperlakukannya seperti itu?”
“Anakku yang pertama adalah seorang penuntut ilmu. Sedangkan anakku yang kedua adalah seorang tukang yang senantiasa memberikan nafkahnya kepada adiknya yang menuntut ilmu tadi,” jawab perempuan itu.
Setelah mengalami kejadian ini, si penggali kubur itu lalu bergegas berangkat menuju Masjid At-Taubah yang berada di tengah kota Damaskus. Rupanya, si penggali kubur itu datang kepada Syekh Muhammad Said Al-Burhani, ayah Syekh Hisyam Al-Burhani, dan bilang, “Aku ingin menuntut ilmu.”
“Baik. Tampaknya engkau sudah berusia antara 45-50 tahun”, kata Syekh Said Al-Burhani. “Kamu lupakan hidupmu tanpa mencari ilmu. Sekarang kamu baru hendak mencari ilmu. Ada apa sebenarnya?”
Maka si penggali kubur itu pun bercerita atas kejadian yang ia alami. Mulai saat itulah dia memulai mencari ilmu. Dia mulai belajar Al-Jurumiyah, menghafal beberapa matan hadis dan seterusnya. Dia mulai benar-benar sibuk dengan ilmu. Hingga pada suatu saat ia menjadi salah seorang ulama besar Damaskus. Dia dikenal dengan Syekh Abdurrahman Al-Haffar. Dan keluarganya sesudah itu menjadi para penuntut ilmu dan menjadi ulama. Yang terakhir adalah Syekh Abdurrazaq Al-Haffar, salah satu ulama Damaskus juga. Al-Haffar berarti penggali kubur.
Kisah hidup ini memberi tanda betapa mulianya orang yang menuntut ilmu dan orang yang memberi nafkah kepada orang yang menuntut ilmu. Inilah kabar gembira bagi para penuntut ilmu bahwa Allah akan memperlakukan dengan kemuliaan yang istimewa bagi para penuntut ilmu dan yang mecukupi kebutuhan keseharian sang penuntut ilmu. Tentu termasuk di dalamnya adalah anak-anak yang bersekolah dan orang tua yang menafkahinya. Selain itu, menuntut ilmu tidak ada batas usia. Dari sejak berada dalam kandungan hingga masuk ke dalam liang lahat.
Tapi, kata Syekh Hisyam Al-BUrhani, ada syaratnya, yaitu jika niatnya benar dan ikhlas karena Allah. Tidak karena ijazah atau sertifikat; tidak karena kedudukan duniawi; tidak karena ingin disebut seorang yang alim; tidak karena ingin mendapatkan gaji, dan sebagainya. Jadikanlah duniawi itu sebagai jalan sampingan saja di mana Allah akan mencukupi dan memberikan karunia-Nya. Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi perintah Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, jangan pernah takut akan tidak bisa mencukupi kebutuhan sang penuntut ilmu selama itu tetap lurus berada di jalan-Nya. Wallahu a’lamu.
Bahrus Surur-Iyunk, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, penulis buku-buku motivasi Islam.
[1] Syekh Hisyam Burhani adalah ulama sufi asal Suriah. Kelahiran Damaskus 1932. Pernah kuliah di Darul Ulum Universitas Kairo Mesir. Beliau juga Syekh Tarikat Syadziliyah Ad-Darwiyah. Meninggal pada 27 Jumadil akhir 1435 H (17 April 2014) dalam usia 83 tahun.