Oleh Much. Khoiri (Dosen, penggerak literasi, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya)
“Menulis itu hakikatnya sama dengan ibadah lainnya. Lama-kelamaan kita akan khusyu’ sendiri jika berlatih setiap hari. Dan jika sudah khusyu’, menulis itu nikmat dan membuat ketagihan.” (Much. Khoiri, Quote of the Day, 7/1/2021).
Itulah quote of the day harian saya yang hadir di status WhatsApp saya pada 7 Januari 2021. Ia hadir sebagai respons atas pertanyaan seorang guru bagaimana saya bisa menulis dan memposting tulisan di blog (hampir) setiap hari—kemudian dibagi di grup-grup literasi. Sementara itu, sang penanya kerap berkesulitan hanya untuk menghasilkan sebuah tulisan saja.
Mengingat kutipan itu sebuah tanggapan yang spontan, saya perlu menjelaskan isinya. Pertama, saya tegaskan bahwa menulis itu ibadah, sebuah perbuatan yang mulia, sebab ia sejalan dengan kewajiban membaca. Dalam QS Al-‘Alaq 1-5, membaca atas nama Tuhan jelas diwajibkan, dan bisa dimaknai sebagai ibadah; sementara menyediakan bahan bacaan (qalam)—yakni dengan menulis—layak diidentikkan dengan ibadah membaca. Tanpa qalam, bagaimana orang bisa membaca?
Karena menulis adalah ibadah yang wajib ditunaikan, mau tak mau ia tidak bisa diabaikan atau ditinggalkan. Jika sampai diabaikan, seharusnya kita malu dan merasa berdosa. Sama dengan ibadah lain, jika tidak menulis, berarti kita akan berdosa. Itu pendapat saya sejalan dengan amanah dalam QS Al-‘Alaq 1-5; entah pendapat ini cocok dengan Anda atau tidak, semua terserah Anda. Hal ini sudah saya kupas tuntas di buku saya “Write or Die: Jangan Mati Sebelum Menulis Buku” (2017).
Kedua, lewat kutipan itu, saya mengajak para sahabat—terutama yang belum terbiasa menulis—untuk mendidik dan melatih diri menulis setiap hari. Mendidik diri menulis itu mulai dari pemikiran dan niat bahwa menulis itu penting atau wajib ditunaikan. Jika niat sudah bulat, pendidikan diri menulis dapat dijalankan. Menulis itu keterampilan, dan karena itu ia harus dididikkan, serta dilatihkan dari hari ke hari.
Ada ungkapan dahsyat Margareth Thatcher: “Watch your thoughts, for they will become actions. Watch your actions, for they’ll become habits. Watch your habits for they will forge your character. Watch your character, for it will make your destiny.” Artinya, perhatikan pikiranmu, sebab mereka akan jadi tindakan. Perhatikan tindakanmu, sebab mereka akan menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaanmu, sebab mereka akan membangun karaktermu. Perhatikan karaktermu, sebab ia akan menentukan nasibmu.
Namun, tak dimungkiri, mendidik menulis itu tidak selalu mudah dijalani. Kebanyakan kita mampu mendidik orang lain seakan-akan kita mahir dalam ilmu atau keterampilan yang kita didikkan; padahal kita barangkali tidak mampu melakukan yang sama terhadap diri sendiri. Nah, dalam mendidik menulis ini, kita justru harus memulainya dengan diri sendiri. Ada sistem reward and punishment yang perlu diterapkan. Hadiah untuk capaian yang bagus, hukuman untuk pelanggaran selama latihan.
Ketiga, muara dari latihan adalah khusyu’. Ibarat orang bersembahyang—shalat, semedi, meditasi—hati pelakunya menjadi khusyu’ tatkala ia mencapai puncak-puncak ekstasi sembahyangnya. Menulis pun demikian. Jika terbiasa menulis—termasuk menulis setiap hari—lama-kelamaan kita akan menemukan kekhusyu’an dalam menulis. Menulis apa saja yang memang menginspirasi kita untuk ditulis.
Khusyu’ menulis itu kondisi di mana kita banyak mencurahkan pikiran, hati, dan perbuatan untuk ibadah menulis. Dalam konteks ini, saya tegaskan, bahwa kegiatan menulis bukan hanya proses mengetik di depan laptop atau memegang alat tulis lain—bukan hanya itu! Kegiatan menulis meliputi memikirkan apa dan bagaimana menulis, serta kegiatan nyata menulis itu sendiri. Dengan kata lain, membuat kerangka tulisan, misalnya, itu termasuk proses menulis.
Kemudian, ketika kita sudah mencapai maqam khusyu’ dalam menulis—entah menulis setiap hari atau menulis setiap dua hari sekali—maka bisa dijamin bahwa “menulis itu nikmat dan membuat ketagihan.” Bagaimana nikmatnya menulis, ya tanyakan kepada penulis-penulis yang berpengalaman. Pastilah beragam jawaban mereka. Namun, pastilah mereka bisa melukiskan betapa mereka tidak akan mampu berpisah dari kegiatan menulis.
Bagi penulis-penulis yang sudah khusyu’ [bolehlah kita membayangkan termasuk golongan mereka], tanpa menulis berarti sebuah jarak kerinduan yang teramat panjang. Bagi mereka, menulis itu nikmat, dan sekaligus menciptakan kecanduan. Apa pun yang terjadi, di mana pun dan kapan pun menulis harus ditunaikan. Tidak boleh ada hari-hari bolong tanpa menulis. Jika bolong, itulah utang-utang tulisan yang wajib dibayar pada kali lain.
Tatkala kita merasakan indahnya kenikmatan dan kecanduan menulis, tak usah ditanyakan lagi berapa buku yang akan dihasilkan dalam setahun. Kita tidak perlu menghitung berapa tulisan yang telah kita tulis dalam setiap bulan. Tahu-tahu setiap bulan kita memanen sekitar 30 tulisan, yang mungkin cukup untuk sebuah buku. Tanpa terasa, dalam setahun, kita bisa memanen 12 naskah buku. Tentang menerbitkannya, itu masalah lain.
Pertanyaannya, kapan kita khusyu’ menulis? Jika sudah, mari lanjutkan keistikomahan kita dalam menulis. Namun, jika belum khusyu’, tidak ada alasan lain: Kita wajib memulainya sekarang. Momentum tidak datang dua kali. Mari kita tetapkan pikiran, lalu kita lakukan, dan biasakan. Semua itu akan menjadi nasib kita sebagai penulis yang serius beribadah—bukan penulis sekadar menulis. Jika sekadar menulis, anak kecil pun mampu![]
Gresik, 8 Januari 2021