Oleh: Nunung Rohmatul Ummah
Indonesia negara besar baik secara fisik wilayah maupun jumlah penduduk. Desentralisasi Pemerintahan dengan istilah otonomi membuat Indonesia memiliki banyak pemimpin. Sistem politik yang diterapkan membuat pemimpin daerah otonom menjadi raja-raja kecil di daerahnya. System politik yang mengakomodasi pemilihan pemimpin daerah secara langsung sebenarnya tidak bagus bagi bagsa Indonesia.
Pemilihan langsung pemimpin daerah tidak bagus bagi Indonesia ditinjau dari pertimbangan ekonomi. Secara umum rakyat Indonesia belum berekonomi mapan. Memang ada yang kaya, bahkan di dunia tetap termasuk kaya. Tapi, kesenjangan di Indonesia sangat tinggi. Databoks pada 3 Oktober 2018 mengungkapkan data yang dirilis Credit Suisse bahwa 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6% total kekayaan Penduduk Dewasa di Tanah Air (Databoks.katadata.co.id:2018). Berikutnya, apa relevansi kemiskinan dengan sistem politik ini?
Pemilihan secara langsung mengharuskan calon pemimpin berkampanye. Kampanye sebagaimana kita tahu hanya terdiri atas dua hal yakni janji manis atau black campaign. Janji manis inilah yang menjadi berbahaya bagi rakyat Indonesia yang belum mapan, kalua tida ingin dikatakan miskin. Rakat miskin akan mudah menelan mentah janji manis para calon pemimpin. Mereka menjadi kurang logis dan mudah terbuai. Selanjutnya, mereka tidak lagi menggunakan rasio dalam memilih pemimpinnya tapi hanya berdasar janji manis yang belum tentu terwujud. Bahkan, sulit terwujud.
Adalah seorang Josep Goebbels. Dia menteri yang terkenal dari Jerman. Penyuka sejarah dunia pasti mengenal Goebbels. Goebbels pengikut setia Hittler. Dia nyaris terpisahkan dari kisah Hittler. Bisa dikatakan dia termasuk ‘katrol’ yang mengangkat dan membuat Hittler menjadi penguasa.
Goebbels sangat mahir dalam berpropaganda. Pidatonya sangat berapi-api dan mampu membuat khalayak terpuakau. Seolah-olah perkataannya adalah kenyataan. Hal itulah yang dia gunakan untuk mengangkat Hitler hingga rakyat Jerman memujanya. Pidatonya mendukung Hitler. Berkat pidato Goebblels itu pula rakyat Jerman memuja Heil Hitler, tanpa menyadari bahwa mereka terjebak dalam suatu kesengsaraan yang amat sangat. Semua itu berkat Josep Goebbels.
Ketika rapat dalam siatuasi yang genting dalam perang Jerma melawan Rusia bersama empat orang pejabat tinggi Jerman lainnya, dia jadi pembela utama Hittler. Di sana terungkap bahwa Hittler rela mengorbankan rakyatnya tanpakecuali untuk menjadi tameng mereka. Pertahanan total atau bumi hangus diambil oleh Hittler ketika makin terdesak oleh Rusia.
Mereka yang berdiskusi adalah kepala staf gabungan Field Marshal Wilhelm Keitel, Jenderal Alfred Jodl, Jenderal Welding, Arsitek muda yang juga menteri persenjataan Albert Speer serta tidak ketinggalan sang menteri propaganda Josep Goebbels. Dua orang, Welding dan Jodl,menentang kebijakan Hittler. Tapi Goebbels tetap tampil menjadi pembela utama sang pemimpin lalim, Heil Hittler. Penderitaan rakyat yang diungkit oleh Welding dan Jodl bahkan dijawab dengan miris. Sebagaimana tertera dalam kutipan berikut. “Hentikan semua omong kosong itu. Rakyat telah memilih kita. Mereka memberi kita kewenangan untuk membuat aturan. Dan jika hari ini mereka menderita, mereka sendirilah sesungguhnya yang memilih penderitaan itu melalui tangan kita.”
Kehebatan berorasi, berpidato dan berjanji dipadukan dengan kondisi rakyat yang miskin dan lapar membuat semua mungkin terjadi. Menengok kisah itu, sepertinya ada suasana, dan romansa tidak terlalu asing bagi kita. Mungkin memang tidak segamblang Goebbels dan Hittler. Tapi situasi yang bisa dianalogkan menjadi mengkhawatirkan. Tapi kita tetap bisa berharap dan berdoa jangan sampai kisah Goebbels ini didupliakasi di Indonesia tercinta. Dan, jika ada gejalanya, ayo kita sadar. Kita bangkit. Kita memag telah memilih. Tapi bukan untuk dikorbankan melainkan untuk diberdayakan. []