Kitabnya Bernama Ḥikmat al-Tashrī‘ wa Falsafatuhu

0
1424

Kitab inilah yang sesungguhnya lama saya cari. Entah bagaimana, ketika mendengar istilah rahasia, asrār, secrets, seketika itu juga timbul enigma dalam diri saya. Menarik sekali untuk mengetahui rahasia mengapa mubtada’ disebut mubtada’, siapa yang pertama kali memberikan istilah semacam itu; bukankah beliau, sang peletak dasar ilmu Nahwu, akan berfikir jauh untuk meletakkan satu istilah untuk sebuah aspek dalam tata bahasa yang kebenarannya adalah absolut? Pasti tidak akan main-main.

“Limā tas’al ‘an al-asrār?” demikian respon (alm) Ustadz Dr Dihyatun Masqon ketika itu di CIOS (Centre for Islamic and Occidental Studies) Universitas Darussalam Gontor.

Ketertarikan terhadap rahasia dalam tata bahasa Arab inilah yang pertama kali muncul dalam diri saya. Jika dirunut lebih dalam, ketertarikan pertama kali sesungguhnya sudah muncul ketika saya masih belajar di PP Roudlotul Qur’an Tlogoanyar Lamongan. KH Slamet Muhaimin Abdurrahman, sang Pengasuh Pondok ketika itu, sepintas lalu beberapa kali menyebutkan satu faedah dalam – seingat saya – ism al-ma‘rifah (definite noun), ism al-mawsūl (relative noun), dan kaidah-kaidah lainnya. Begitu juga tambahan dari para senior dan staf pengajar seperti Ustadz Ahmad Rofiq, Ustadz Muhammad Zayyin, dan beberapa lainnya. Rahasia-rahasia semacam ini kaya sekali dalam literatur lisan dan khazanah pemikiran pesantren salaf. Hanya saja, sejauh pengetahuan Penulis, belum ditemukan satu kitab khusus yang membahas secara detail tentang faidah-faidah yang amat berharga ini.

Baru kemudian ketika di Gontor, saat pengenalan terhadap Bahasa Arab menjadi lebih intens, rahasia-rahasia tersebut menjadi lebih mudah untuk diidentifikasi. Beberapa sesungguhnya sudah mulai saya tulis beberapa tahun lepas. Namun, karena satu dan lain hal, sehingga sekarang keinginan untuk membukukannya dalam sebuah buku utuh belum juga terealisasi. Karena itu, adanya platform kajian ini, Ahsin Forum for Maqasid Studies (AMSI), salah satu tujuannya adalah untuk menjembatani minat kajian Penulis sendiri. Pada saat yang sama, selain itu, nyata di hadapan kita bahwa persoalan seputar rahasia, tujuan, dan rasionalisasi dalam pensyariatan agama Islam (maqāṣid al-sharī‘ah), baik dalam aspek hukum, akidah, akhlaq, bahkan dalam tata bahasa Arab seperti di atas, ternyata masih merupakan lahan yang perlu dimerdekakan, dirabuk, disiangi, diberi irigasi yang cukup, agar kemudian maju, tumbuh subur dengan akar yang menghujam kuat dan menghasilkan buah yang lebat.

Betapa pun Penulis tertarik dengan rahasia-rahasia dalam tata bahasa Arab, namun ia telah berketetapan hati untuk memulai kajian ini dengan sebuah kitab yang ia sudah jatuh hati pada pandangan pertama. Kitab karya Sheikh ‘Alī Aḥmad al-Jurjāwī ini berjudul “Ḥikmat al-Tashrī‘ wa Falsafatuhu”. Dari judulnya saja, dengan kata ḥikmat, saya membayangkan tidak akan merasa bosan membacanya. Ḥikmat di situ diadopsi menjadi hikmah dalam bahasa Indonesia yang hampir serumpun dengan perkataan lain seperti manfaat, tujuan dan rahasia. Dari sini, patut juga sebenarnya untuk mengklarifikasi apakah hikmah memang benar-benar sama dengan tujuan.

Antara Hikmah (Ḥikam) dan Tujuan (Maqāṣid)

Hashim Kamali, penulis Principles of Islamic Jurisprudence, menjelaskan bahwa ḥikmah berkaitan dengan tujuan akhir (end-result) dari sebuah pensyariatan.[1] Karena itu, ḥikmah dapat disamakan dan digunakan bergantian dengan maqṣid. Pendapat ini senada dengan Ibn ‘Ashūr (1879-1973) yang mendefinisikan maqāṣid al-sharī‘ah sebagai “al-ma’ānī wa al-ḥikam”, yaitu sekumpulan makna dan hikmah yang telah ditetapkan oleh Allah Swt dalam segala atau sebagian besar hukum-Nya.[2]

Mungkin sidang pembaca, termasuk Penulis sendiri sesungguhnya, merasa kesulitan memahami terma “al-ma’ānī” yang berarti makna yang disebutkan Ibn ‘Ashūr di atas. Apa hubungan antara tujuan dan makna? Beberapa hari Penulis mengendapkan perenungan ini sambil melakukan pekerjaan lain. Akhirnya, sampai juga ia pada apa yang agaknya mendekati kebenaran. Bahwa, arti dasar sebuah makna (ma‘nā) adalah tujuan atau maksud. Karenanya, makna sebuah kata adalah sifat atau keadaan yang dimaksud atau dituju oleh pembentukan kata tersebut. Bukankah seorang anak yang bernama Muhammad berarti orang tuanya memang bermaksud agar anaknya tersebut menuju pada, sehingga pada akhirnya mempunyai, sifat-sifat terpuji sebagaimana yang ditunjukkan oleh makna kata Muhammad itu sendiri; yang dijadikan pujian? Sederhananya, makna adalah maksud; dan maksud adalah tujuan. Karena itu, Penulis lebih cenderung untuk mengartikan “al-ma’ānī wa al-ḥikam” di atas sebagai tujuan dan hikmah.

Melengkapi keterangan di atas, Penulis ingin mengajukan satu fakta untuk memberikan penerangan lebih jelas terkait perbedaan antara tujuan dan hikmah. Jika hikmah, sebagaimana yang ditunjukkan oleh KBBI,[3] merujuk kepada manfaat, maka ada metode yang cukup sederhana untuk membedakan keduanya. Dalam skrispi, tesis, atau disertasi, bukankah sering kali kita membedakan antara tujuan dan fungsi penelitian. Tujuan (ahdāf al-baḥth, research objectives) merupakan jawaban atas pertanyaan penelitian yang biasa dikenal sebagai (as’ilat al-baḥth, research questions). Tujuan lebih spesifik dan mengarah kepada aspek internal penelitian itu sendiri. Jika sebuah penelitian, misalnya, bertajuk In Defense of the Faith of the Ummah: Hamka Contribution to Nusantara Muslim Identity (Pembela Akidah Ummat: Kontribusi Hamka terhadap Pembentukan Identitas Muslim Nusantara), maka di antara tujuannya adalah mengungkap bagaimana perjuangan Hamka dalam membela, membentengi, dan mengisi akidah umat Islam di rantau Nusantara. Lebih spesifik lagi adalah keterlibatannya, baik struktural maupun kultural, dalam arus pembaharuan Islam yang merupakan salah satu identitas utama dalam Islam di Nusantara ini.

Adapun yang disebut fungsi adalah, di antaranya, bagaimana tujuan penelitian tersebut, yaitu perjuangan dan kontribusi Hamka, mampu dijadikan bahan, titik tolak dan kaca pembanding bagi para politisi dan intelektual dalam setiap langkah dan kebijakan yang mereka ambil. Dengan demikian, fungsi penelitian lebih bersifat eksternal dan mencakup area yang lebih luas. Pendeknya; sebuah tujuan, karena bersifat internal, berkaitan dengan berhasil dan gagalnya sebuah penelitian. Sementara fungsi, sebab sifatnya yang eksternal, lebih berkaitan dengan sejauh mana hasil penelitian tersebut mampu bermanfaat bagi masyarakat. Lebih sederhana lagi; tujuan dulu, baru fungsi; bukan sebaliknya.

Lebih jelas lagi, Penulis ingin mengajukan contoh yang disebutkan dalam buku Ḥikmat al-Tashrī‘ ini. Dalam shalat jama’ah, semua Muslim berdiri dalam beberapa shaf yang sama. Tidak ada pembedaan atas dasar latar belakang dan status sosial. Yang kaya dan miskin, tua dan muda, semuanya berdiri di atas lantai yang sama dan masing-masing berhak mendapat shaf terdepan. Hikmah dari hal ini, terang al-Jurjawi, adalah untuk menimbulkan dan menegaskan prinsip persamaan (musāwah, egalitarianism) dalam Islam.[4] Pertanyaannya; apakah prinsip persamaan tersebut merupakan tujuan dari shalat jama’ah? Bagi Penulis, tujuannya adalah taqarrub dengan cara melaksanakan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya; sementara spirit persamaan itu sendiri adalah hikmah, yaitu manfaat yang melimpah setelah tujuan tercapai. Andaikan kita tetap ingin mengatakan spirit persamaan itu sebagai tujuan, tentu sah-sah saja. Tapi, bagi Penulis, itu adalah tujuan sekunder; sementara yang primer adalah taqarrub itu sendiri.

Klasifikasi primer-sekunder seperti inilah yang agaknya memenuhi kriteria definisi “al-ma’ānī wa al-ḥikam” yang dikemukakan oleh Ibn ‘Ashūr sebagaimana disebutkan di atas. Penempatan al-ma’ānī (tujuan), didahulukan sebab ia yang memang harus dicapai terlebih dahulu. Baru selanjutnya disebutkan al-ḥikam (fungsi).

Buku setebal 515 halaman ini menguraikan hikmah dari hampir semua ritual yang dilakukan seorang Muslim dari yang harian hingga tahunan. Dari bersesuci, shalat, zakat, puasa, haji, transaksi, pidana dan perdata, hingga etika seperti membaca surat al-Kahfi. Semoga kita diberikan kekuatan dan kesabaran dalam perjalanan ini, Amiin. Wallāhu A‘lam

Artikel sebelumnya sudah diterbitkan dalam Buletin Maqasiduna, Vol 1 No 1, Ahsin Forum for Maqasid Studies. https://drive.google.com/file/d/1s-1sGhd_vtjFaxmH4Y033EkkOF1XKEL-/view?usp=sharing

[1] Mohammad Hashim Kamali, Maqāṣid Al-Sharī‘ah, Ijtihad and Civilisational Renewal, ed. Dr Anas S. Al Shaikh-Ali and Shiraz Khan (London: IIIT, 2012), 4–5.

[2] Muḥammad al-Ṭāhir Ibn ‘Āshūr, Treatise on Maqāṣid Al-Sharī‘ah, trans. Mohamed El-Tahir El-Mesawi (London: IIIT, 2006), 71.

[3] “Arti Kata Hikmah – Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online,” accessed June 26, 2021, https://kbbi.web.id/hikmah.

[4] ‘Alī Aḥmad al-Jurjāwī, Ḥikmat al-Tashrī‘ wa Falsafatuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), 87–88.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here