KOPDAR: SERIBU ALASAN UNTUK (TIDAK) DATANG

0
1991

Reposting Ulang

Oleh: MUCH. KHOIRI

Judul di atas, dengan sisipan kata “tidak”, baru kali ini berlaku bagi saya selama ini saya menjadi warga WAG Sahabat Pena Kita (SPK). Saat kopdar I SPK di Unisa Yogyakarta, dengan riang saya hadir, dengan naik bus dan turun di depan bandara Adi Sucipto. Demikian pun saat lima kopdar “embrio SPK” di PP An-Nuur Bululawang, Hotel Sargede Yogyakarta, PP Daris Bondowoso, ITS Surabaya, dan Unesa Surabaya. Terasa enteng hati dan ringan langkah.

Mengapa ada kata “tidak” tatkala hendak kopdar II di IAIN Tulungagung? Pertama, sebelum kopdar saya konsentrasi penuh untuk urusan akademik, berhari-hari lamanya. Saya seperti terjeblos ke dalam penjara, sehingga saya pernah lupa hari apa–padahal saya sudah bekerja lembur selama dua-setengah hari. Kedua, saya kecapekan amat sangat, serta kekurangan istirahat dan tidur. Saya insomnia, pengalaman lama yang kambuh. Ketiga, sejatinya ada acara keluarga yang mengharuskan saya untuk datang. Tiga alasan ini saja sudah cukup untuk memberatkan saya.

Namun, setelah saya merenung pada suatu malam, akhirnya saya putuskan untuk menghadiri kopdar. Pertama, silaturahmi, ini alasan mendasar yang mengharuskan saya datang. Menjaga silaturahmi itu tak bisa ditawar-tawar lagi. Saya takut akibat dari memutuskan tali silaturahmi dengan sengaja. Sebaliknya, adalah kebahagiaan jika orang bisa menjaga silaturahmi. Kedua, saya sudah telanjur menyatakan diri untuk datang, terutama untuk membahas masa depan SPK. Ini sangat penting maknanya bagi saya sebagai warga. Itulah mengapa saya menulis artikel “SPK: Sah Plus Kehumasan.”

Maka, keluarga saya memahami kondisi saya. Istri, anak perempuan, dan anak laki-laki saya mendukung dan rela mengantarkan saya ke lokasi acara. Adapun acara keluarga (yang sudah terencana matang sebelumnya) kita pending dulu; kami pun mengontak pihak-pihak yang seharusnya terundang dalam acara. Kami pun berangkat; dan saya laksana figur politik yang diantar ke suatu lapangan kampanye.

Tidak! Kami mengubahnya menjadi acara wisata dan kuliner. Ada love, ada pray, ada eat. Kami menikmatinya. Kami naik mobil kesayangan kami “Xentuner” (Xenia sensasi Fortuner), mulai tol Driyorejo, bablas menuju Kertosono, dan kemudian meluncur ke arah Tulungagung. Musik shalawat dan murotal yang syahdu mengiringi perjalanan kami. Tugas saya leyeh-leyeh akibat kurang tidur; dan setir Xentuner dipegang Naguib, anak lanang. Perjalanan pun serasa menuju pengajian yang menyejukkan.

Sekarang ada seribu alasan untuk datang dalam kopdar. Bayangkan, keluarga mendukung, perjalanan amat menyenangkan, dunia damai menyambut, dan –jangan lupa — sambutan hangat dari Panitia IAIN Tulungagung, terutama duet Mas Dr. Ngainun Naim dan Bu Dr. Eni Setyowati. Terlebih, Mas Dr Ngainun kerap mengingatkan saya akan aneka bothok a-la Depot Titien yang rasanya memenjara lidah, wuich, serasa terbang di awan dan ingin segera melesat secepat kilat untuk tiba di lokasi.

**
Demikianlah, untuk sebuah kopdar, ada sekian alasan untuk datang atau tidak datang. Setiap orang memiliki alasan tersendiri, sama halnya mengapa saya akhirnya harus datang. Ada niat kuat yang mengentengkan hati dan meringankan langkah, dan mengubah sesuatu alasan yang memberatkan menjadi alasan yang mengentengkan untuk datang.

Ternyata, di balik pengubahan status alasan itu tersimpan sekelumit hikmah: bahwa niat yang kuat saja tidak cukup untuk mewujudkan kebaikan, melainkan perlu ditambah dengan laku yang nyata dan dilambari dengan keihlasan tanpa batas. Niat dan keihlasan membuat diri enteng hati dan ringan langkah.

Dan, Subhanallah, untuk semua itu, Allah telah melimpahkan jalan yang sangat menyenangkan. Perjalanan kami lancar dan selamat, kuliner bothok dan jajanan khas Tulungagung tercapai, dan penginapan yang ada begitu strategis: bisa jalan-jalan sekitar stasiun kereta api dan membeli oleh-oleh sesuka hati. Satu lagi, pada hari menjelang berangkat, ada pesanan buku *Writing Is Selling* (cetakan II, Desember 2018) sejumlah 114 eksemplar. Alhamdulillah, cukup untuk biaya perjalanan wisata dan kuliner.

Bukan itu saja hadiah dari Allah. Saya juga datang kembali ke kampus kaum santri yang beberapa tahun silam saya menjadi nara-sumber dalam sebuah pelatihan menulis, dan saya sempat menulis artikel ke dalam antologi besutan Dr. Ngainun Naim itu. Seingat saya, artikel itu (kurang lebih) berjudul “Literasi di Kampus Santri”. Terlebih, sekarang kampus itu sudah begitu terasa suasana literasinya. Inilah kebahagiaan yang tiada terukur rasanya.

Selain itu, saya juga berjumpa dengan sahabat-sahabat penulis, termasuk Mas Wawan dan Mas Yusri Fajar. Persuaan dengan mereka, serta sahabat-sahabat baru, merupakan anugerah luar biasa yang patut disyukuri. Saling asah, asih, dan asuh. Bersahabat dengan orang-orang baik itu ibarat memasuki sebuah taman bunga yang indah, di mana pada setiap pandangan bisa ditemukan senyum yang manis, wajah yang damai, sikap yang sopan, tutur sapa yang santun, dan perilaku yang menyenangkan.

Lebih dari semua itu, selain semua alasan yang terpaparkan di atas, ada satu lagi yang penting untuk direnungkan: mencari sahabat baru yang baik (baca: shalih, shalihah) itu laksana mencari mutiara di antara tumpukan jerami; sementara menjaga sahabat lama yang baik itu laksana menjaga istana mutiara yang telah dibangun setiap waktu.

Mudah-mudahan, untuk kopdar selanjutnya, tertanam di dalam hati dan pikiran: ada seribu alasan untuk selalu datang dalam kopdar; dan ada seribu alasan untuk memetik hikmah dan inspirasinya. Semua itu ada di dalam wadah yang luar biasa ini: Sahabat Pena Kita (SPK).[]

_*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis 34 buku dari Universitas Negeri Surabaya._

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here