KPU dan Demokratisasi di Indonesia

0
990

Oleh Agus Hariono

Para pendiri bangsa telah bersepakat memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Dalam sejarah perjalanannya, bangsa Indonesia tidak selalu mulus. Berbagai rintangan dan tantangan terus menghadang, di antaranya adalah tantangan dari sistem lain. Meskipun sudah memasuki era reformasi, tantangan terhadap demokrasi masih terus berlangsung. Akibatnya, demokrasi di Indonesia berjalan tersendat, terkadang macet atau bahkan mundur, meski demikian kita harus mendorongnya untuk terus bergerak.

Linz dan Stepan (1996) menyatakan bahwa konsolidasi demokrasi tidak akan terwujud sampai nilai-nilai demokrasi dan institusi yang terkait dengannya terlembagakan sedemikian rupa sehingga orang-orang menganggapnya sebagai “the only game in town.” Artinya menjadikan demokrasi sebagai peralihan dari pemerintahan yang feodal menuju pemerintahan yang akuntabel dan transparan kepada publik atau dalam sebutan lain ialah good governance.

Demokrasi yang terkonsolidasikan setidaknya memiliki dua ciri, yaitu institusi demokrasi dan budaya demokrasi. Institusi demokrasi di dalamnya terdapat konstitusi, parlemen, partai politik, pemilihan umum, dan lain-lain. Sedangkan budaya demokrasi di dalamnya berisi aktivitas mendukung demokrasi, partisipasi politik, toleransi, kepercayaan, role of law, dan lain-lain.

Jika melihat demokrasi bangsa Indonesia saat ini—era reformasi—kita akan melihat berbagai perubahan yang signifikan dibanding era sebelumnya. Sejak reformasi, institusionalisasi demokrasi semakin kokoh. Hal tersebut ditandai munculnya beberapa hal sebagai berikut: 1) Dilakukannya amandemen konstitusi menjadi lebih demokratis dan berorientasi kepada HAM; 2) Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan berjalan secara regular atau rutin; 3) Partai politik berkembang secara subur; 4) Parlemen telah lahir kembali, tidak sekadar menjadi stempel atau justifikasi bagi eksekutif, sebagaimana masa Orde Baru, dan lain-lain. Meskipun sudah terjadi banyak perubahan, namun performanya masih mengecewakan.

Di satu sisi institusi kita semakin kokoh, namun di sisi yang lain, budaya demokrasi kita masih terseok. Setidaknya kita dapat melihat beberapa indikasi budaya demokrasi kita yang masih rapuh, antara lain: 1) Korupsi yang merajalela di masing-masing tingkatan; 2) Kelompok yang tidak setuju terhadap sistem demokrasi yang semakin besar; 3) Partisipasi politik pemilih maupun masyarakat lebih disebabkan oleh mobilisasi dan ‘transaksi’, bukan atas dasar kesukarelaan; 4) Kesediaan untuk menerima perbedaan pendapat, ras dan keyakinan ‘tampaknya’ masih rendah; 5) Rendahnya kepercayaan, baik vertikal (masyarakat-negara) maupun horizontal (sesama kelompok masyarakat), dan lain-lain.

KPU dan Perannya

Dalam penyelenggaraan Pemilu maupun Pemilihan terdapat empat unsur pokok yang harus ada. Kalau salah satu dari empat unsur pokok ini tidak ada, maka tidak dapat diselenggarakan Pemilu maupun Pemilihan. Di antara empat unsur pokok tersebut, yaitu, pemilih, peserta, sistem dan badan penyelenggara atau penyelenggara Pemilu.

Pemilih adalah Penduduk yang telah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah pernah kawin, tidak dicabut hak pilihnya oleh pengadilan serta bukan merupakan TNI/Polri. Peserta ialah partai politik (pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota), pasangan calon (Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota, serta perseorangan (Pemilihan DPD). Sistem adalah suatu cara untuk mencalonkan, memilih dan menentukan pemenang. Kemudian, badan penyelenggara atau penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang ditunjuk untuk menyelenggarakan Pemilu maupun Pemilihan (KPU, Bawaslu dan DKPP).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, secara umum, tugas-tugas penyelenggara Pemilu dapat dibedakan sebagai berikut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertugas menyelenggarakan secara teknis. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertugas mengawasi penyelenggaraan Pemilu dan menangani dugaan pelanggaran Pemilu. Sementara Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bertugas menangani dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu, dalam hal ini, KPU dan Bawaslu.

Keberadaan penyelenggara Pemilu didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22E ayat (5) pasca amandemen ke III tahun 2001 yang berbunyi “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Lalu, dirinci dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.

Dalam sistem ketatanegaraan kita KPU merupakan sedikit dari lembaga negara yang disebut dalam konstitusi, meski frasa tersebut dimaknai sebagai satu kesatuan penyelenggara Pemilu. Selain itu, KPU merupakan lembaga negara tambahan (state auxiliary body), di luar cabang-cabang kekuasaan yang ada. Dan, KPU juga merupakan lembaga mandiri dan tidak menjadi bagian dari eksekutif (masa Orde Baru), legislatif, atau judikatif.

Sebagai penyelenggara Pemilu, KPU mempunyai kewenangan dan menyelenggarakan tahapan Pemilu maupun Pemilihan. Beberapa kewenangan KPU dalam menyelenggarakan Pemilu dan Pemilihan sebagai berikut: 1) Menetapkan tahapan, program dan jadwal (termasuk di dalamnya hari H pemungutan suara; 2) Menyusun daftar pemilih; 3) Menerima pendaftaran, melakukan verifikasi, dan menetapkan peserta Pemilu (partai politik, pasangan calon, calon DPD); 4) Memfasilitasi kampanye; 5) Melaksanakan pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara; 6) Menetapkan hasil Pemilu atau Pemilihan: suara, kursi, orang.

Dalam proses demokratisasi di Indonesia setidak-tidaknya KPU memiliki peran. Di antaranya perannya yaitu, menyelenggarakan tahapan-tahapan Pemilu atau Pemilihan secara jujur, adil, dan transparan. Mendorong terpilihnya kandidat yang bersih dan anti korupsi. Melakukan pendidikan pemilih (voter education) yang rasional, agar penerimaan sistem demokrasi di msyarakat semakin luas dan semakin mendalam. Memerangi hoaks, berita bohong, kampanye hitam dan isu SARA.

Plemahan, 22 Maret 2022

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here