MADRASAH DI RUMAH SAJA

0
2037

Oleh Much. Khoiri

SEMUA ini mutiara hikmah berharga dari pandemi, dengan berbagai nilai dan tatanan baru. Kami harus beradaptasi. Salah satunya, sudah sekitar dua bulan ini kami berpindah mushala rumah. Dari ruang keluarga, kami boyongan ke ruang 4×5 meter di belakang perpustakaan keluarga. Inilah lokasi madrasah kami dalam masa pandemi ini.

Mengapa harus pindah? Kami ingin suasana baru. Situasi yang lebih segar dan menyegarkan. Ruang keluarga terasa sempit, meski sejatinya itu ruang terluas di rumah kami. Selalu saja ada yang dibeli dan dipajang. Belum  lagi ada televisi dan perangkatnya. Tidak enak shalat menghadap aneka benda di depan mata.

Mau berjamaah di mushala orisinil (yang kami buat sejak 1999), sudah tidak mungkin. Ruang itu terlalu sesak untuk kami. Kami sudah “membesar” dan anak-anak juga sudah dewasa. Jadi, tempat itu tidak lagi mampu memuat kami. Padahal, itulah tempat kami dulu terbiasa berjamaah di rumah—tentu, ketika kami tidak pergi ke masjid. Akibatnya, mushala bersejarah ini jarang digunakan.

Maka, pilihan terbaik ya di ruang belakang perpustakaan. Luasnya sekitar 4×5 meter, berkeramik putih, berdinding krem. Mepet pada salah satu sisinya adalah tangga menuju ke lantai dua—ada kamat anak lanang dan gudang, bersebelahan dengan tandon air. Pada sisi lain lagi ada dapur cadangan. Karena belum terisi barang-barang, ruangan ini tampak longgar.

Kalau saya menulis di perpustakaan pribadi, biasanya saya menghadap area mushala baru ini lewat jendela. Kipas angin, yang terpasang di dinding barat mushala, masih terasa sejuk dari tempat saya menulis. Di bawah kipas angin, saya pasang rak untuk menaruh Al-Quran, buku-buku agama, dan sebagainya. Di bawahnya ada meja kecil untuk menaruh biji tasbih, spidol, penghapus, kalender, dan pot minuman.

Di dinding sisi barat, sejajar dengan kipas angin, ada jam dinding. Di bawahnya ada papan putih seukuran 1×2 meter-an. Pada papan itulah saya menulis (dalam bahasa Arab) apa saja yang perlu dihapalkan oleh anggota keluarga, terutama anak-anak. Misalnya, ayat Kursi, bacaan tasbih, shalawat munjiyat, doa qunut, QS Ali-Imran 173-174, QS Al-Israa 80-82, dan sebagainya. Jika tidak muat, bacaan-bacaan tertentu saja cetak dan saya pasang di bawah atau samping papan.

Untuk bacaan-bacaan yang sudah dihapalkan dan diamalkan selama ini, misalnya Surat Yaasiin dan Bacaan Tahlil, tidak perlu saya tulis atau pasang di papan. Saya hanya menulis dan memasang calon amalan yang perlu dihapalkan, kemudian diresapi maknanya, agar pengamalannya lebih mengkhusyukkan hati. Jika bacaan satu sudah hapal, misalnya, saya segera menggantinya dengan bacaan baru.

Tak lupa, khusus selepas magrib atau subuh, kadang kami menggelar diskusi kecil, tentang apa saja, termasuk tentang fadhilah (manfaat) dari bacaan yang hendak diamalkan. Bukan perbincangan serius, melainkan perbincangan santai. Bahkan, kami kadang berbincang dengan ketawa-ketiwi, sambil berbaring di karpet mushala. Jika perbincangan selepas subuh, tak jarang kami menyepakati menu sarapan dan makan hari itu.

Begitulah, mushala rumah kami kini menjadi madrasah keluarga di rumah saja. Selepas shalat berjamaah, kami bersama-sama membaca apa yang tertulis di papan tersebut. Saya sampaikan sekilas apa terjemahannya. Ditambah amalan-amalan harian yang sudah terbiasa, kami mengaji di mushala itu hingga waktu isya jika kami berjamaah maghrib. Itu sekadar contoh.

Dengan demikian, kebiasaan baru berupa madrasah di rumah itu memberikan manfaat besar bagi keluarga kami. Pada satu sisi, shalat berjamaah terjaga relatif lebih baik dari sebelumnya. Pada sisi lain, keluarga akhirnya menguasai bacaan-bacaan amalan yang penting secara efektif dan teramati. Tambahan, kami merasakan kebersamaan keluarga yang berkualitas.

Satu lagi, madrasah di rumah makin menyadarkan kami bahwa semua ini karena kehendak Allah. Sebagai hamba, kami hanya memasrahkan segalanya di tangan Allahu Rabbi. Tak perlu kami berprasangka buruk tentang pandemi, apalagi mengeluh dan memaki-maki Allah. Naudzubillahi min dzaalik. Sebab, mengingkari ketentuan Allah adalah sebuah kebodohan yang besar.

Jadi, kami ambil hikmahnya saja atas pandemi ini. Sebab, kami yakin, semua ada hikmahnya—sekecil apa pun seluruh kejadian di muka bumi, pastilah  ada hikmah yang dipandamnya. Dalam hal ini, pandemi telah memaksa kami untuk shalat berjamaah di rumah dan menjalani madrasah bersama. Pandemi mendidik kami untuk belajar agama lebih baik dan menata diri untuk banyak berdzikir pada Allah Subahanahu wata’alaa.

Di samping itu, dengan sering shalat berjamaah di mushala rumah, kami merasa lebih dekat satu sama lain—maksudnya, kebersamaan selalu terjaga. Kami menjadi semakin memahami bahwa keluarga adalah harta yang paling indah dan teramat berharga untuk disia-siakan. Betapa indahnya kebersamaan. Kami berharap untuk mampu selalu menyinari rumah kami dengan shalat dan qira’atul quran.[]

Driyorejo, 11/8/2020

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, editor, trainer, blogger, penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa); perinitis Jalindo, penasihat SPK. Tulisan pendapat pribadi.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here