Makna Iḥsān

0
1695

Iḥsān disebut dalam hadits Jibril beriringan dengan iman dan Islam. Jika iman berhubungan dengan akidah, Islam dengan syariah, maka iḥsān adalah akhlak; perwatakan yang mewujud dalam laku seorang Muslim. Penulis ingin sekali menyebut iḥsān sebagai muara dari ajaran Islam. Ia berada pada aras aksiologis ajaran tersebut.

Iḥsān disebut dalam al-Nahl 90 setelah adil (innallāh ya’muru bi al-‘adl wa al-iḥsān). Artinya, tandas al-Rāghib al-Iṣfahānī, iḥsān itu setingkat lebih tinggi daripada adil. Demikian lantaran adil adalah memberikan sejumlah apa yang memang seharusnya kita berikan. Juga, mengambil sebesar apa yang menjadi hak kita. Tapi iḥsān adalah memberikan lebih daripada apa yang seharusnya kita berikan. Sebagaimana ia juga berarti mengambil lebih sedikit daripada apa yang semestinya kita ambil.[1]

Menyodorkan secawan bakso sebagai balasan semangkuk bakwan yang diberikan tetangga Anda kemarin sore tentu akhlak yang terpuji. Itulah keadilan. Tapi, berdasar pengertian al-Iṣfahānī di atas, perbuatan tersebut belum dikatakan cukup baik. Sebab itu kewajiban Anda. Yang disebut perbuatan baik kemudian adalah jika Anda mengiringi secawan bakso tadi dengan – misalkan – sebutir jeruk. Membalas lebih dari pada apa yang kita dapatkan inilah yang disebut iḥsān. “Faḥayyū biaḥsana minhā,” perintah al-Nisa 86.

Definisi ini berkorespondensi hampir sempurna dengan pengertian etimologis iḥsān itu sendiri. Iḥsān berakar dari ḥasan (kebaikan). Dari nomina ini kemudian lahir verba transitif aḥsana yuḥsinu yang bermakna berbuat baik. Berbuat baik di sini tidak cukup dengan kesan umum yang dipahami oleh akal publik selama ini. Berbuat baik dalam paradigma iḥsān adalah membalas lebih dari apa yang kita terima; dan mengambil lebih sedikit daripada yang semestinya kita ambil.

Membalas lebih inilah yang sesungguhnya dicontohkan oleh Allah Swt. Dia Tuhan semesta alam. Sudah menjadi hak-Nya untuk disembah dan kewajiban kita untuk menyembah-Nya. Betapa pun demikian, segala apa yang kita persembahkan kepada-Nya sesungguhnya tidak memberi-Nya sama sekali manfaat. Tidak menambah dan mengurangi kebesaran-Nya. Justru yang muncul kemudian adalah sifat iḥsān-Nya, yaitu bahwa shalat, puasa, zakat, dan sedekah yang kita lakukan itu adalah untuk diri kita sendiri.

Inilah yang agaknya dimaksud oleh al-Baqarah 110 bahwa “wa ma tuqaddimū”, segala kebaikan yang kita persembahkan, itu sebenarnya adalah “li anfusikum”, yaitu untuk kemaslahatan diri kita sendiri. Selain untuk diri kita sendiri di dunia ini, sebab sifat iḥsān-Nya tadi, masih kita akan menemukan balasannya “‘indallāh”, yakni di akhirat nanti.

Dengan pengertian ini, kita selanjutnya mendapatkan pemahaman lebih terhadap hadits Jibril yang diwartakan di permulaan artikel ini. Sebab Allah Swt pada dasarnya tidak bisa dilihat secara kasat mata, sementara seorang muḥsin ternyata mampu seakan-akan melihat-Nya, maka ia dalam posisi demikian bisa digolongkan sebagai min al-muḥsinīn. Dia melebihi apa yang dilakukan oleh jamaknya orang lain.

Pendeknya, iḥsan adalah membalas-lebih dan mengambil-kurang. Dan konsep inilah yang diulas lebih dalam oleh ‘Izz al-Dīn Ibn Abd al-Salām dalam karyanya al-Qawā‘id al-Kubrā. Wallāhu A‘lam.

 

[1] Al-Rāghib al-Iṣfahānī, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān (Damascus: Dār al-Qalam, 2009), 236–37.

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here