Oleh: M Arfan Mu’ammar
Kebiasaanmu menunda pekerjaan hingga engkau mempunyai waktu longgar untuk mengerjakannya adalah bagian dari kotoran jiwa (Ibnu Atho’illah)
Seringkali kita meremehakan suatu pekerjaan, bukan karena pekerjaan itu tidak penting, tapi karena deadline pekerjaan itu masih lama. Jika deadline pekerjaan itu masih lama, kemudian tidak kita kerjakan karena mengutamakan pekerjaan lain yang deadline lebih dekat, itu baik saja. Yang menjadi masalah adalah seringkali kita menunda mengerjakan sesuatu bukan karena itu, tapi karena merasa masih lama, masih bisa dikerjakan esok hari.
Ada sebuah mahfudzat yang mengatakan “La Tuakhir ‘Amalaka Ilal Ghodi, Ma Takdiru Anta’malahul yauma” (janganlah kamu menunda pekerjaan hingga esok hari, suatu pekerjaan yang sebenarnya bisa kamu kerjakan sekarang). Jika memang bisa dikerjakan sekarang, jangan menunggu esok hari, karena belum tentu esok hari, kita ada waktu untuk mengerjakan itu.
Saya pernah melakukan penelitian kecil, terkait pemberian tugas ke mahasiswa. Ada dua kelas yang saya ajar, dengan mata kuliah yang sama. Kelas A saya beri tugas dengan durasi waktu satu minggu. Sedangkan kelas B saya beri tugas yang sama, tetapi dengan durasi yang lebih panjang, yaitu satu bulan.
Pada hari yang telah ditentukan, mereka semua mengumpulkan tugas, sesuai dengan arahan saya, memang ada yang sudah bagus dan ada yang masih kurang. Namun, saya penasaran, kira-kira mereka mulai mengerjakan pada hari ke berapa setelah penugasan?
Setelah saya ambil sampling, dari dua kelas mahasiswa yang saya ajar, mayoritas menjawab mengerjakan baru H-3, sebagian H-2, bahkan ada yang baru mengerjakan H-1. Hal itu bisa terlihat dari hasil tugas yang mereka kerjakan.
Mahasiswa yang mengerjakan mendekati deadline hasil tugasnya seringkali kurang maksimal, sedangkan mahasiswa yang mengerjakan lebih awal, hasil tugasnya sedikit lebih baik dari yang lain.
Dari situ lantas saya berkesimpulan bahwa, memberi tugas ke mahasiswa dengan durasi yang panjang atau pendek hasilnya sama saja. Mengapa sama saja? Karena mayoritas mereka mengerjakan pada “Last Minute”.
Apakah mereka mengerjakan tugas pada last minute karena mendahulukan tugas lainnya? Rupanya tidak, mereka lebih memilih mengerjakan pekerjaan lain yang sebenarnya kurang perlu dikerjakan, sementara yang mestinya dikerjakan malah diabaikan, aktifitas itu dikenal dengan istilah procrastination.
Sudah tahu banyak tugas, malah enak-enakan main game online berjam-jam. Sudah mengerti banyak tugas yang menumpuk, malah nongkrong di cafe sambil ngobrol ke sana ke mari tanpa tujuan yang jelas.
Sudah faham bahwa banyak tugas yang antri untuk dikerjakan, malah sibuk chat dengan temannya, heboh membuat tik tok, ngerumpi, melihat YouTube dan sebagainya. Aktifitas-aktifitas yang seperti itu malah dikerjakan, sedangkan aktifitas mengerjakan tugas yang mestinya harus dikerjakan, malah ditinggalkan.
Sebagian mahasiswa yang lain beralasan karena deadline masih panjang, jadi mereka bersantai, merasa bahwa besok masih ada waktu. Padahal esok hari, kita tidak tahu apa yang akan terjadi, bisa jadi ada pekerjaan mendadak, atau na’udzubillah ada musibah yang menimpa kita. Maka selama bisa mengerjakan hari ini, kerjakanlah, karena kondisi yang kita harapkan esok hari belum tentu sepenuhnya sesuai dengan prediksi.
Saya jadi teringat sebuah mahfudzat yang berbunyi: “Baithotul Yaumi Khoirun Min Dajajatil Ghodi” (Telur hari ini lebih baik daripada ayam besok pagi). Apa maknanya?
Walaupun Anda hanya mendapatkan telur, tapi itu sudah “pasti” Anda dapatkan hari ini. Jangan mengharapkan mendapatkan seekor ayam esok hari, karena belum tentu esok hari Anda akan pasti mendapatkannya. Kalau dalam bahasa jawa ada ungkapan “ojok ngarep ndoke blorok” (jangan berharap telurnya blorok). Maknanya, jangan mengharap sesuatu yang belum pasti kau dapatkan.
Memang untuk mengejar dunia, kita harus berangan-angan bahwa kita akan hidup selamanya “i’mal lidunyaka, kaannaka ta’isyu abadan” (bekerjalah untuk duniamu seakan kamu hidup selamanya). Sedangkan untk mengejar akhirat, kita harus berangan-angan akan mati esok hari “i’mal liakhirotaka kaannaka tamutu ghodan” (bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati esok hari).
Namun, dalam konteks menjalankan pekerjaan, saya kira bukan ta’isyu abadan, karena bisa jadi kita akan meremehkan waktu, “ah besok kan masih bisa”, “wong besok masih banyak waktu”. Selalu alasan itu yang didengungkan.
Tapi jika kita beranggapan bahwa besok kita akan mati, besok kita tidak memiliki waktu lagi, maka kita akan sesegera mungkin melakukan pekerjaan itu.
Ibnu Atho’illah mengatakan bahwa kebiasaan menunda pekerjaan merupakan bagian dari kotoran jiwa. Tidak seharusnya seorang yang beriman menunda-nunda (taswif) pekerjaan. Karena belum tentu kita memiliki kesempatan yang cukup hingga tiba waktunya esok hari. Boleh jadi, pada saat waktu tiba (esok hari) umur kita telah sampai pada date of expiry, kedaluwarsa, alias sudah meninggalkan dunia.