Mau Dibawa Ke Mana Arah Literasi Kita? (Sebuah refleksi melihat sudut literasi di Ranah Sekolah)

0
344

Oleh Husni Mubarrok

Bicara tentang literasi, maka tak ayal ada dua kata yang jelas sangat familiar di telinga kita. Iya, kata membaca dan menulis. Dua kata inilah yang begitu tersohor bak raja saat kita berucap tentang literasi. Keduanya teramat penting bagi peradaban umat manusia. Keduanya bisa menjadi pilar demi membangun kejayaan dan kemajuan bangsa.

Tegoklah negara yang sudah maju! Bagaimana aktivitas literasinya, terutama aktivitas baca dan tulisnya. Tentu, akan berbanding lurus dan sangat linier. Jika membaca sudah membudaya dan menulis sudah menjadi passion rakyatnya, maka kemajuan bangsa tinggal menghitung detiknya saja. Iya, sangat dekat dan tinggal welcome saja.

Membaca memang mudah diucap, namun sangat sulit istikamah dipraktekkan. Tegoklah, seberapa lama anak mampu bertahan membaca bila dibanding dengan waktu lamanya mereka asyik bermain. Tegoklah seberapa sering anak membaca bila dibanding dengan intensitas mereka ber-HP ria. Tentu sangat jauh panggang dari api.

Ini baru persoalan minat baca, belum menyentuh pada tingkat pemahaman dari apa yang sudah mereka baca. Artinya membaca saja, sangat rendah minatnya apalagi harus mengukur tingkat ketercapaian pemahaman dari apa yang telah mereka baca.

Literasi sesungguhnya bukan hanya persoalan membaca, namun kemampuan memahami dari apa yang telah dibaca lalu kemampuan menulis dan mempresentasikan atau mengkomunikasikan dari apa yang telah ditulisnya. Inilah literasi sejatinya. Menjadikan kita tumbuh dan berkembang menjadi insan paripurna. Iya, insan utuh yang tak hanya gemar membaca, namun juga mampu memahami, menulis dan fasih dalam menyampaikan ide (buah gagasannya).

Mengapa anak-anak didik kita, sangat rendah minat bacanya? Tegoklah saat kita memberikan tugas baca di rumah tentang materi yang akan kita sampaikan minggu depannya. Tak banyak diantara mereka yang tuntas memenuhi kewajibannya, bahkan tak jarang mereka lalai dan tak membacanya. Alasan sibuk, lupa atau banyak tugas lainnya menjadi menu dalil yang kerap membelanya.

Budaya membaca memang masih jauh, perpustakaan masih sepi pengunjung. Mungkin saja, letaknya yang tak strategis, bukunya yang minim, kurang up to date, kurang koleksi, beragam dan kurang variatif. Bisa juga sarana dan tempatnya yang tak representatif dan kurang inovatif.

Ini tugas bersama yang harus diselesaikan. Guru juga mestinya jadi teladan. Guru yang suka membaca tentu akan mendorong siswa tertarik dan minat membaca pula. Guru yang rajin ke perpustakaan, bisa jadi akan menginspirasi siswa, mendorong mereka rajin ke perpustakaan pula. Sudahkan kita menjadi teladan bagi anak didik kita, menjadi guru yang suka membaca yang rajin ke perpustakaan, dan menjadikan buku sebagai sahabat setia, menemani kita di waktu senggang kita.

Bagaimana dengan aktivitas menulis? Bisa dibilang, selati tiga uang. Fenomena menulis di kalangan pelajar kita, sungguh masih jauh dari impian dan cita-cita. Budaya menulis, masihlah meraba-raba. Memang sudah ada karya antologi dan majalah hasil karya siswa, namun itu masih kecil dan tak seberapa. Perjuangannya sangat dahsyat dan berdarah-darah. Terperas keringat dan tertatih-tatih. Butuh power usaha dan ikhtiyar yang membabi buta. Kami sangat mengapresiasi, atas lahirnya buku dan majalah karya siswa. Sungguh, good job untuk kalian semuanya.

Kembali, ke topik menulis. Sungguh, tradisi menulis di kalangan pelajar kita, masihlah rendah. Butuh power dan keteladanan dari kita-kita. Iya, uswah dari kita bersama selaku insan pendidiknya. Sudahkah kita melakukannya, memberikan teladan dengan semangat menulis dan hasil karya kita. Menulis sejatinya mudah, jika ada kemauan untuk melakukannya. Sayangnya tak banyak diantara kita sanggup memulainya. Iya, mulai menulis dan menulis.

Kita sering berharap bisa menulis, namun sayangnya justru diri kita sendirilah yang membatasinya. Merasa tak mampu, tak sanggup, tulisan jelek, tak enak dibaca, ini itu dan lain sebagainya. Padahal baru menulis beberapa paragraf saja dan belum usai dilakukan, namun sayangnya, justru stigma tentang dirinya yang tak sanggup menulis yang telah dibuatnya sendiri lebih dominan yang pada akhirnya menyengsarakan.

Coba kita tengok majalah dinding milik siswa kita? Seberapa sering majalah dinding itu terisi tulisan atau justru kita sering mendapatinya bersih tak terjamah. Menulis memang belum membudaya, memulainya saja tak setiap diri kita mampu melakukannya. Namun kalau tidak sekarang kapan lagi. Kalau bukan kita semuanya, siapa lagi!

Ingatlah, membaca dan menulis adalah perintah agung. Perintah dari Tuhan, Sang pemilik alam raya. Ayat pertama yang turun kepada Rasulullah adalah perintah Iqro’. “(1) Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, (3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia, (4) yang mengajar (manusia) dengan pena, (5) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al ‘Alaq :1-5).

Pramoedya Ananta Toer pernah berucap “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Ali bin Abi Thalib pun pernah berkata, “Semua orang akan mati kecuali karyanya. Maka tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat kelak.”

Oleh karenanya, yuk bersama kita melangkah, bergandengan tangan, seiya sekata. Memulai semangat berliterasi, membangun peradaban dengan cinta membaca, membangun kejayaan dengan gemar menulis.

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here