Oleh Agus Hariono
Alkisah, Nasruddin adalah seorang nelayan dan bertemu dengan seorang yang berilmu dan sangat terkenal. Mereka melakukan perjalanan dengan perahunya selama empat hari. Pada malam pertama, orang berilmu itu bertanya kepada Nasruddin apakah telah membaca Alquran dalam bahasa Arab. “Tidak,” kata Nasruddin. “Saya tidak pernah belajar bahasa Arab.” Orang berilmu itu pun berkata, “Sungguh disayangkan. Tanpa dasar bahasa Arab, kau melewatkan seluk-beluk kitab suci. Aku takutkan kau telah menyia-nyiakan setengah hidupmu.”
Malam berikutnya, dia bertanya lagi kepada Nasruddin apakah pernah mendengar orang bijak Islam yang terkenal seperti Rumi, Hafiz, atau Ibnu Arabi. “Tidak,” kata Nasruddin lagi. Orang berilmu itu pun berkomentar, “Sungguh luar biasa! Sungguh, kau telah menyia-nyiakan tiga perempat hidupmu.”
Pada malam ketiga ternyata terjadi badai yang ganas, maka Nasruddin pun bergegas menemui orang berilmu tersebut dan berteriak, “Profesor, apakah kau tahu sesuatu tentang ilmu renang?” Orang berilmu bertanya apakah yang ditanyakan Nasruddin ada hubungannya dengan berenang. “Ya.. ya!” seru Nasruddin. Orang itu pun menjawab, “O, dalam kehidupanku yang sibuk ini, aku tidak pernah punya waktu untuk belajar berenang.”
Nasruddin pun akhirnya mendesah, “Sungguh tragis! Perahu ini akan tenggelam dan kami tidak memiliki sekoci atau jaket pelampung. Dengan amat menyesal aku memberitahumu bahwa kau telah menyia-nyiakan seluruh hidupmu!”
Kisah di atas dapat dibingkai dan ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, tergantung untuk kepentingan apa kisah di atas digunakan. Kisah tersebut sering saya jumpai dengan berbagai versi. Terakhir, sebagaimana yang saya tulis di atas. Sekilas, dari kisah di atas mununjukkan kesombongan atau sikap sombong. Namun, jika dilihat dari sudut yang lain ternyata juga mengandung pesan tentang mengabaikan kebutuhan dasar.
Kebutuhan dasar atau biasa disebut dengan kebutuhan pokok, memang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namanya dasar, ia pasti akan menjadi penopang kebutuhan-kebutuhan lainnya. Ibarat pondasi rumah, ia akan menyangga bangunan yang ada di atasnya. Maka, kebutuhan ini wajib adanya. Tidak bisa dilalaikan, apalagi ditinggalkan.
Kisah di atas menggambarkan betapa pongahnya sang ilmuan menyampaikan kepada nelayan tentang keilmuan yang dia kuasai. Dengan nada merendahkan, sang ilmuan terus mencerca nelayan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali belum dilakukan oleh sang nelayan. Barangkali dalam konteks tertentu, apa yang dilakukan oleh ilmuan itu tepat, namun dalam konteks kisah di atas, sang ilmuan menjadi seolah singa di atas air. Hebat, kuat, namun tidak mampu berenang.
Memenuhi kebutuhan apapun dalam kehidupan ini, kebutuhan dasar memang harus dipenuhi dahulu. Dasar, pokok atau primer adalah kebutuhan paling wajib yang harus ada. Dalam hal belajar apapun, pasti tidak akan ada yang dimulai dari level lanjut, selalu dimulai dari level dasar. Karena dari dasar orang akan lebih mudah mengembangkannya menuju level-level selanjutnya. Dasar merupakan modal menuju tingkatan paling atas.
Kita tidak boleh terlena, hanya karena terlalu berambisi ingin sampai puncak, sehingga lupa tidak memanjat tangga yang paling dasar. Kita pun melompat sekuat tenaga, alhasil kita akan menuai risiko yang tidak ringan. Jatuh dan tersungkur, misalnya. Bagaimana pun, dalam meraih sesuatu kita harus melewati proses. Tidak lantas melompat begitu saja, tanpa perhitungan, tanpa awalan dan tanpa dasar.
Begitu pun ketika menjadi seorang yang memiliki banyak ilmu, tidak lantas menunjukkan dengan penuh kesombongan pada orang lain. Dengan alasan apapun sombong itu tidak dibenarkan, apalagi sampai merendahkan orang lain. Tentu, tidak ada satu pun orang yang suka jika direndahkan, sekalipun orang yang sama-sama suka merendahkan. Boleh kita memiliki apapun sebanyak dan setinggi apapun. Namun, lebih dari itu semua, kita harus ingat dasar kita apa. Semoga kita senantiasa dihindarkan dari perilaku sombong yang dimurkai Allah. Amin.
Wallahu a’lam!