Oleh: M Arfan Mu’ammar
Di masa pandemi ini saya memiliki aktivitas baru, yaitu membaca di setiap pagi.
Sebelum pandemi, aktivitas membaca saya biasanya sebelum tidur. Karena di pagi hari sama sekali tidak sempat memegang buku, sebab bangun tidur harus sudah menyiapkan anak untuk bersekolah, juga menyiapkan diri untuk berangkat ke kampus. Setelah itu lanjut mengantarkan anak ke sekolah, terus ke kampus. Begitulah aktivitas rutin pagi saya sebelum pandemi.
Di masa pandemi, aktivitas itu tidak lagi saya lakukan, karena anak tidak lagi berangkat ke sekolah dan saya tidak lagi pergi ke kampus untuk mengajar. Semua aktivitas dikerjakan di rumah. Tidak lagi berburu waktu di pagi hari, saya menyiasati untuk melakukan hal lain di pagi hari.
Bangun tidur, saya berusaha sebisa mungkin untuk tidak memegang gadget, karena kalau sudah pegang, sudah pasti akan terlena, minimal 30 menit tersesat dalam hiruk pikuk data di gadget.
Setelah salat subuh, sedikit saya berolahraga ringan di depan rumah, terkadang jalan kaki mengitari lapangan di depan rumah. Setelah itu menyapu halaman rumah dan taman. Kira-kira jam 07.00 baru selesai, lanjut membaca buku pada jam 07.00-08.00. Kadang kalau terhanyut, bisa sampai jam 09.00.
Setelah membaca, baru saya menyempatkan membuka WhatsApp untuk membalas pesan-pesan yang sudah bejibun masuk di gadget saya. Kemudian lanjut sarapan dan mandi pagi.
Setiap hari harus ada nutrisi bacaan yang kita serap. Jangan biarkan otak ini kekurangan nutrisi. Aktivitas membaca ini tidak bisa terwakili dengan membaca status atau caption di media sosial. Walaupun itu juga aktivitas membaca, namun menurut Yudi Latif, membaca status dan caption di medsos adalah aktivitas “literasi semu”.
Terkait aktivitas membaca, saya sempat kaget membaca data bahwa rata-rata warga negara maju, rata-rata waktu membaca mereka 6-8 jam per hari. Sedangkan di negara perkembang, khususnya di Indonesia, rata-rata warganya membaca hanya 2-4 jam per hari. Kalau menurut standar Unesco, waktu membaca sebaiknya 4-6 jam per hari. Artinya, menurut ukuran Unesco, kita masih di bawah standar.
Menurut penelitian Unesco tahun 2012, indeks membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001: di antara 1.000 orang hanya 1 orang yang membaca serius. Riset itu bahkan mengatakan bahwa: anak-anak Indonesia hanya membaca 27 halaman buku dalam setahun. Anak-anak Indonesia lebih suka menonton daripada membaca.
Saya saja sebagai dosen (sebuah profesi yang menuntut untuk terus membaca), hanya bisa membaca 2-3 jam per hari, lha bagaimana dengan profesi lain seperti pedagang, security, penjaga mall dan karyawan. Profesi mereka tidak menuntut mereka untuk membaca, kira-kira waktu membacanya berapa jam per hari ya?
Jangankan sehari, dalam seminggu saja belum tentu mereka mau atau mampu menyempatkan waktu untuk membaca.
Saya punya pengalaman, ketika saya ada kunjungan ke Haiko China, saya membawa 2 buah buku sebagai bekal membaca dalam perjalanan. Karena menurut pengalaman, dalam perjalanan selalu ada banyak waktu luang, khususnya ketika di dalam kendaraan atau ketika sedang menunggu pesawat.
Dan seringkali, orang Indonesia menghabiskan waktu dalam kendaraan dengan tidur dan menghabiskan waktu menunggu pesawat dengan bermain gadget atau berbincang dengan temannya ke sana ke mari tanpa arah atau dalam istilah populer kita (gedabrus) hehe.
Waktu itu, pesawat sedang delay 1 jam, teman-teman serombongan sudah gelisah, dengan berbagai macam gerutuan. Saya santai saja, karena sudah membawa bekal bacaan. Dengan khusuk saya membaca buku di sebuah tempat yang tidak jauh dari teman-teman berkumpul dan ngobrol.
Melihat hal yang “tidak biasa” dan mungkin “aneh” bagi mereka. Lalu mereka pun berkomentar dengan nada sedikit menyindir: “Pak Arfan rek, liburan gini sek belajar wae”. Saya melihatnya dengan senyum yang mengembang, tanpa sedikit pembelaan. Rupanya teman lainnya juga secara bersama-sama memandang ke arah saya.
Sebagian yang lain ada yang penasaran dengan buku yang saya bawa: “baca buku apa sih pak kok kayake seru sekali” celetuknya. “Ini lho pak, buku novel biografinya Agus Salim” jawab saya singkat sambil menunjukkan cover bukunya.
Ya memang, membaca buku belum mentradisi di Indonesia, karenanya aktivitas membaca menjadi hal yang “tidak biasa” bahkan “aneh” bagi sebagian orang. Mirisnya, sebagian ingin membaca di depan umum tapi malu, nanti dibilang sok rajin, sok pinter dan sebagianya.
Saya dahulu awal-awalnya juga malu membaca di depan publik, bahkan saking malunya, buku yang saya baca, saya beri sampul kertas warna putih polos. Kalau ada orang melihat langsung ditutup, kan samar gak kayak buku, hanya seperti kertas putih atau buku tulis hehe. Saya sekarang sampai mikir, kenapa dulu segitu malunya membaca buku terlihat orang.
Kalau sekarang mah cuek, malah saya niati untuk memotivasi orang lain agar tertarik membaca juga.
Di masa pandemi ini, ada lifestyle baru yang mungkin mayoritas dari mengalaminya, yaitu “sedentary lifestyle” atau gaya hidup minim gerak. Sedentary lifestyle ini justru membuat daya tahan tubuh kita menurun. Semua aktivitas dilakukan dengan gerakan yang minim.
Agar masa pandemi ini jauh lebih bermakna dan tidak malah menurunkan daya tahan tubuh, maka mari menggunakan gaya hidup yang minim gerak ini dengan aktivitas yang minim gerak namun bermakna, yaitu membaca.