MEMBUDAYAKAN TULISAN SEBAGAI BACAAAN

0
1706

MEMBUDAYAKAN TULISAN SEBAGAI BACAAN

Muhammad Chirzin

“Teman terbaik sepanjang waktu adalah buku.” Demikian semboyan Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A., di halaman pertama buku-buku beliau setelah bismillahirrahmanirrahim – Dengan Nama Allah Pemberi Kasih Yang Maha Pengasih, sebagaimana tertera dalam salah satu di antara puluhan buku beliau, Kumpulan 101 Kultum tentang Islam: Akidah, Akhlak, Fiqih, Tasawuf, Kehidupan Setelah Kematian (Tangerang: Lentera Hati, 2016).

 

Buku adalah guru dan sumber ilmu.

Buku adalah kepanjangan tangan guru.

Bukuku kakiku untuk melangkah maju.

Buku adalah guru serba tahu segala ilmu.

Buku adalah teman setia di setiap ruang dan waktu.

Buku adalah surat lebih tebal kepada kawan-kawan.

Buku adalah barometer zaman dan penggerak perubahan.

 

Buku adalah representasi tulisan sepanjang zaman. Kita bisa berkenalan dengan pemikiran orang-orang terdahulu, bahkan sejak sebelum Nabi Isa lahir, baik di Timur maupun di Barat karena pemikirannya diabadikan dalam tulisan. “Tulisan akan abadi walaupun penulisnya telah mati,” demikian kalimat bijak dari Ali bin Abi Thalib (?).

Penulis buku adalah co-worker Tuhan dalam mengembangkan peradaban. Tulisan dengan demikian merupakan warisan peradaban. Tulisan berfungsi sebagai pengingat peristiwa sepanjang masa. Tulisan, sengaja atau tidak sengaja, menjadi bukti eksistensi. Penulis pun karena itu boleh bersemboyan, “Saya menulis, maka saya ada.” Tulisan menjadi jejak kehidupan bagi anak cucu tentang para pendahulu.

Berderet-deret buku menghiasai almari bapakku. Paling atas berjilid-jilid kitab-kitab tebal. Di kemudian hari kukenal sebagai kitab tafsir Al-Quran, fiqih,  dan tasawuf, termasuk Ihya` Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Deret kedua buku-buku tebal, antara lain Capita Selekta karya Muhammad Natsir. Deret di bawahnya buku-buku beraneka tema, termasuk sejumlah karya Hamka. Semuanya pernah dibaca. Bapak selalui menandainya. Pada halaman dalam sampul depan tanggal mulai membaca dan pada halaman dalam sampul belakang tanggal selesainya.

Allah swt menurunkan wahyu perdana berupa perintah membaca. Hal itu menegaskan setegas-tegasnya akan perlunya tulisan untuk dibaca, walaupun yang harus dibaca tidak semata apa yang tersurat, melainkan juga segala yang tersirat, bahkan jumlahnya bisa jadi berlipat.

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah yang menggantung. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS Al-‘Alaq/96:1-5).

Ayat-ayat tersebut secara tersirat memerintahkan untuk menulis sebagai fasilitas belajar. Tulisan juga menjadi prasyarat akad pinjam-meminjam non-tunai, agar tidak terjadi perselisihan di kemudian hari, sebagaimana tertera dalam ayat terpanjang dalam Al-Quran,

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya; hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan dan bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah mengurangi sedikit pun darinya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah keadaannya, atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada saksi dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai dari para saksi yang ada, agar jika yang seorang lupa, yang seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil, dan janganlah bosan menuliskannya, untuk batas waktunya, baik utang itu kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu kepada ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa jika kamu tidak menuliskannya. Ambillah saksi apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dipersulit dan begitu juga saksi. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sungguh, hal itu suatu kefasikan pada kamu. Bertakwalah kepada Allah. Allah memberikan pengajaran kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS Al-Baqarah/2:282).

 

Tulisan adalah barometer zaman.

Menulis buku membuat orang tambah maju.

Seorang alim pun bertambah alim berkat buku.

Setiap orang akan bertambah ilmu selama mau membaca buku.

 

Wahyu perdana adalah perintah membaca.

Siapa saja niscaya membaca agar tetap waskita.

Memiliki buku saja, tanpa membaca, tidak serta merta mengetahui isinya.

 

Menulis buku bagaikan Bimbo menyanyikan lagu.

Menulis buku bagaikan Beethoven menggubah lagu.

Menulis buku bagaikan Michelangelo memahat batu.

Menulis buku bagaikan Tuhan berfirman sejak dahulu.

Menulis buku bagaikan Afandi melukis wajah sang Ibu.

Menulis buku bagaikan malaikat menyampaikan wahyu.

Menulis buku bagaikan chef meracik bumbu sesuai menu.

Menulis buku bagaikan Ronaldo menendang bola tanpa ragu.

Menulis buku bagaikan desainer merancang dan membuat baju.

Menulis buku bagaikan menggesek biola menghasilkan suara merdu.

 

Hukum penerbitan dan pemasaran.

Buku tebal belum tentu berbobot, dan buku berbobot belum tentu tebal.

Buku laku belum tentu bermutu; buku bermutu belum tentu laku.

Bagaimanapun buku yang bervisi tak akan pernah mati.

Jangan mati dulu sebelum mewariskan buku, walaupun cuma satu.

 

 

 

 

 

 

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here