Di media sosial, siapa saja bisa ikut berpartisipasi dengan memberikan kontribusi dan feedback secara terbuka, memberikan komentar, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Kecepatan dan kemudahan dalam berinteraksi sosial yang melampaui batas ruang dan waktu. Kita bisa melakukan apa saja tanpa harus saling bertemu langsung di sebuah tempat tertentu. Bisa menyampaikan apa saja dan kepada siapa saja. Sehingga tidak bisa dipungkiri, bahwa dengan adanya aplikasi-aplikasi media sosial, manusia banyak mendapatkan manfaat dan keuntungan.
Dan saya percaya, seorang Mark Zuckerberg, pendiri media sosial facebook, menciptakan aplikasi tersebut bertujuan untuk memberikan kemanfaatan dan kemudahan manusia dalam kehidupannya. Jika dalam perjalananya ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dan merusak, maka hal tersebut tergantung kepada penggunanya (user). Ya, hal ini tergantung manusianya dalam menghadapi kecanggihan teknologi digital itu sendiri. Menghadapi kecanggihan teknologi digital, diibaratkan seperti memegang pisau yang tajam. Ketika manusia mampu menggunakan pisau dengan baik, maka pisau tersebut akan banyak membantu dan memberikan kemudahan manusia. Namun sebaliknya, jika manusia salah dalam menggunakannya, maka pisau tersebut akan menjadi senjata makan tuan. Bisa mencelakai diri sendiri.
Sudah banyak kita dengar dan saksikan, gara-gara belum ‘dewasa’ dalam menggunakan media sosial, mereka harus berurusan dengan pihak berwajib. Mulai dari penipuan, pemalsuan, pemfitnahan, hingga ujaran kebencian. Mudah dan bebasnya orang berkomentar, maka mudah pula orang mengeluarkan apa saja yang ada dalam pikirannya. Bahkan yang seharusnya tidak perlu dikeluarkan, keluar semua tidak terkontrol. Tidak peduli orang tersinggung atau tersakiti. Lupa etika dan sopan santun. Sehingga yang sering terjadi adalah debat kusir di medsos, saling mencaci maki, saling memfitnah, dan seterusnya. Ujung-ujungnya, saling melaporkan kepada pihak berwajib. Akhirnya, interaksi di media sosial tidak akur, di dunia nyata juga tidak harmonis.
Seperti baru-baru ini, seorang bocah di Jawa Barat akhirnya diciduk oleh kepolisian gara-gara memposting ujaran kebencian di media sosial facebook. Dari postingan yang kontroversial tersebut, si bocah mendapat ribuan feedback yang hampir semua mem-bully-nya. Postingan menjadi viral, dan akhirnya berujung di kantor polisi. Dan masih banyak lagi yang serupa dan dilakukan oleh orang dewasa dan ‘konon’ mereka juga berpendidikan.
Memang dalam dunia medsos, kerapkali kita membaca komentar-komentar yang kasar, membully, mencaci-maki, dan komentar yang menyerang lainnya. Saling berkomentar kasar menjadi hal yang sangat ringan diucapkan dalam media sosial. Tidak pernah berpikir akibat dari komentar yang mereka tulis atau ucapkan. Seolah Mereka hanya berpikir bahwa komentar yang mereka tulis adalah ‘selesai di dunia maya’ saja. Tidak akan ada imbasnya di dunia nyata apalagi di akhirat. Itu kesimpulan sementara saya. Bisa jadi pengamatan dan kesimpulan saya tadi salah.
Lagi-lagi ini baru kesimpulan sementara saya, bahwa mereka yang memberikan komentar kasar (bullying) dalam media sosial seperti memiliki dunia sendiri. Dunia yang menurutnya terpisah dari dunia nyata. Betulkah demikian? Bahkan ada sebuah contoh percakapan dalam media sosial, suatu ketika ada seorang pemilik akun facebook yang marah-marah, gara-gara tidak suka dengan update status yang diposting seseorang, yang menurutnya telah menyinggung dirinya, maka langsung ditimpali oleh pemilik akun lain dengan berkata, “Walah, mbak-mbak, status gitu saja bikin mbak marah-marah, anggap saja fesbuk itu hiburan, dunia maya itu gak beneran, gak usah ditanggepi serius, entar kamu gila sendiri!”. Ya, dari yang seperti inilah menurut saya masalah-masalah itu muncul. Bahwa ‘misuh’ di media sosial itu hal yang sudah biasa.
Ketika kita sudah menganggap bahwa dunia medsos memiliki dunia yang berbeda dari dunia nyata. Menganggap semua komentar adalah gurauan belaka. Bahkan tidak ada hubungannya dengan dunia akhirat, maka dari sinilah orang lepas kontrol. Mereka tidak memiliki kontrol sosial yang baik. Kalau berpendapat dan memberikan informasi asal ‘jeplak’. Lepas dari benar atau salah. Tidak disaring apakah informasi itu benar atau hoax. Yang penting komentar. Tidak peduli harus memaki, yang penting berani. Giliran didatangi polisi, nangis-nangis minta dikasihani. Dari sini pula muncul generasi pecundang dan pengecut. Beraninya hanya di dunia maya (baca:medsos).
Fenomena di atas menurut saya harus segera disudahi, diputus segera sebelum menjadi virus yang menular dan berbahaya. Bagaimana caranya? Pertama, jangan pisahkan dunia maya, dunia nyata dan akhirat. Bahwa apa yang kita lakukan di dunia maya, akan ada akibatnya baik di dunia nyata bahkan ketika di akhirat. Barang siapa menanam, maka ia akan menuainya. Termasuk menanam kejelekan. Segala perbuatan yang dilakukan akan kembali pada diri sendiri. Maka sering-seringlah membuat status di media sosial yang positif dan berkomentarlah yang baik dan santun.
Karena terbawa suasana, kadang kita ‘geregetan’ ingin ikut berkomentar yang kasar dan ingin ikut mencaci maki, maka lebih baik ditahan. Apalagi untuk urusan yang belum jelas kebenarannya. Bayangkan, ketika kita berkomentar di media sosial, kita juga sedang berada dalam dunia nyata, saling berhadapan, duduk dalam satu meja dengan orang yang akan kita maki, saya kira, orang akan berpikir ulang untuk memaki atau mem-bully didepannya langsung. Apalagi ternyata orang yang di-bully berada pada posisi yang benar. Betapa malunya kita.
Melihat maraknya orang saling mencaci di media sosial, kadang membuat saya berpikir bahwa orang-orang itu sudah tidak punya malu. Ya, jangan-jangan, memang kita sekarang sudah tidak punya malu. Lha, kalau kita sudah tidak punya malu, maka apa bedanya kita dengan orang yang kurang waras. Tidak punya malu dan kurang waras itu bedanya tipis. Betul tidak? Ciri orang kurang waras adalah hilangnya akal sehat. Karena hilangnya akal sehat, bicara menjadi ‘ngawur’, tingkah lakunya tidak terkontrol, bertemu dengan siapapun diajak berantem, dipisuhi, dan tidak mengenal siapapun. Kalau di media sosial bertemu dengan ciri-ciri di atas, mending kita blokir atau abaikan daripada kita ikut-ikutan kurang waras.
Kedua, lebih bijaksana dan mengutamakan etika dalam ber-medsos. Ketika cara berinteraksi di dunia maya memiliki dampak di dunia nyata, maka kita harus lebih bijaksana dalam menanggapi persoalan. Tidak mudah terprovokasi. Apalagi ikut-ikutan mem-bully. Cara yang tepat agar lebih bijaksana adalah mengklarifikasi, tabayun, jika belum ada kejelasan informasi lebih baik diam dan tinggalkan. Jika kita ingin menanggapi, berilah tanggapan yang baik. Ingat, apa yang keluar dari mulut adalah isi kepala kita. Jika yang keluar dari mulut adalah comberan, maka dipastikan isi kepala orang tersebut dipenuhi comberan pula. Dan orang semakin tau siapa kita. Maka, tetaplah yang santun dalam berkomentar atau diam. Sebagaimana hadits Rasulullah “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam”. Wallahu a’lam.
Penulis : Masruhin Bagus (artikel ini dapat dilihat juga di jejakruang.com)