Oleh: Much. Khoiri
Di ujung ramadan kita akan berjumpa Idul Fitri, hari yang biasanya dianggap sebagai sebuah euforia tersendiri. Setelah menunaikan ibadah ramadan sebulan suntuk, mereka merayakannya dengan gembira, termasuk menjalani tradisi mudik yang di dalamnya ada saling silaturahmi dengan keluarga, kerabat, tetangga, sahabat, dan sesamanya.
Pada sisi lain, dalam suasana Idul Fitri ada berlimpah tawaran bernuansa hiburan dan wisata ke berbagai destinasi mumpung hari-hari libur. Seakan tawaran hiburan dan wisata itu tak mau kalah dengan euforia silaturahmi yang harus ditunaikan. Kita terjebak dalam sebuah pertarungan ini: apakah kita tergoda untuk larut dalam hiburan dan wisata dan mengabaikan silaturahmi, ataukah tetap mementingkan silaturahmi dari pada hiburan dan wisata. Ini bergantung niat kita dalam beridul fitri.
Sekarang, marilah sama-sama becermin dan menata dan menimbang niat mudik kita! Ya, mudik telah bertahun-tahun membudaya di negeri ini, dan kita telah ikut di dalamnya. Bahkan, semakin tahun budaya mudik semakin menguat. Peristiwa pulang kampung (udik) itu telah menjadi milik semua orang. Ia bukan hanya milik umat Islam; umat agama apa pun memiliki budaya mudik. Mudik tidak lagi sakral sebagai bagian dari ritual Islam; ia telah menjadi budaya profan–bahkan budaya massa. Dan kita akan menghayatinya!
Bayangkan, ada euforia yang luar biasa. Tiada alasan lain yang lebih dahsyat membuat masyarakat berbondong-bondong pulang kampung seperti mudik. Tiada peristiwa nasional yang memaksa pemerintah, pihak swasta, dan seluruh jajaran harus sibuk memikirkan dan terlibat di dalamnya, kecuali mudik. Bahkan, mudik seakan menjelma menjadi gerakan nasional menengok kampung halaman.
Boleh dibuktikan, seputar idul Fitri, tatkala masyarakat mudik, kota-kota menjadi relatif lengang. Kota-kota menjadi sangat damai, bebas dari kemacetan. Jangankan hanya penduduk musiman, penduduk tetap pun juga mudik ke daerah asal masing-masing. Yang tinggal di kota besar agaknya tidak ada separuhnya, wabil-khusus bagi mereka yang kerabatnya sudah tinggal sekota dengan mereka.
Mau lihat kelengangan lagi? Jika kebetulan Anda pendudukan Surabaya, maka lewatlah perumahan kota satelit, semisal The Singapore of Surabaya; maka akan terasa kelengangan yang utuh. Penghuninya (konon, para pemilik pusat-pusat perbelanjaan, pusat bisnis, dan jantung ekonomi) bermigrasi ke hotel-hotel di tengah kota, atau berlibur ke lokasi-lokasi wisata. Mengapa? Para pembantunya mudik untuk beberapa hari.
Jika di kota-kota besar relatif lengang seperti itu, di perjalanan ke daerah dan antar daerah bisa ramai heboh setiap waktu. Jalan-jalan akan penuh manusia dengan aneka moda angkutan. Semua pemudik ingin membawa seluruh keluarga untuk berkunjung ke rumah orangtua, sanak keluarga, atau kerabat jauh. Ada rasa cinta sesama (terutama keluarga) yang besar yang telah mendorongnya.
Karena cinta itulah, pemudik rela melakukan apa pun, dengan biaya seberapa pun juga. Bagi yang hanya punya sepeda motor, ya diboncenglah seluruh keluarga dan barang bawaannya di atas sepeda motor. Ada yang ikut program mudik gratis, atau naik moda angkutan umum seperti bis atau kereta api. Bahkan, mobil pick-up pun disulap menjadi mobil berterpal, yang siap untuk mengangkut semua anggota keluarga.
Mobil pribadi, tentu, menjadi pilihan yang cerdas. Bagi yang berduit, satu-dua bulan menjelang lebaran, mereka sudah membeli mobil baru atau setidaknya mengkreditnya. Kini kredit mobil amatlah terjangkau. Sementara, bagi mobil-mobil yang cukup ‘es-te-we’ (setengah tua), mereka pastikan telah didokterkan ke bengkel-bengkel terdekat. Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam kalau mobilnya sudah pikun.
Ada yang lebih nyaman? Tidak perlu menyetir sendiri, tinggal santai sepanjang perjalanan? Kenyamanan bisa dibeli dengan naik kereta luks seharga 1 juta per orang dari Jakarta ke Malang, misalnya. Atau, menyewa mobil premium dengan tarif 2 juta–3 juta per hari, dengan paket sewa hingga 15 hari. Atau, bagi mereka yang tinggal di Bandung, ada rute helikopter, dengan waktu tempuh hanya 2 jam dari Jakarta, dengan tarif 15 juta per orang (belum pajak).
Mahalkah? Tentu, tidak! Eaa, eaaa. Mahal atau tidaknya sesuatu itu bergantung siapa dan bagaimana melihatnya. Bagi yang tidak berduit, duit 15 juta (dengan pajak jadi 16,5 juta), naik helikopter untuk 4 anggota keluarga dengan duit 66 juta, tentu sesuatu yang mustahil alias ngimpi. Namun, bagi kaum jetset, duit 66 juta itu tidaklah mahal, tidak ada apa-apanya dibanding kekayaan mereka. Kecil, bro!
Sekarang, pertanyaannya, apakah Anda termasuk pemudik kali ini? Jika iya, dan Anda muslim, saya tidak ingin bertanya tentang berapa uang saku Anda atau naik moda angkutan apa. Silakan atur dan kondisikan sendiri, agar mudik Anda sekeluarga mendapat keselamatan dan barakah berlimpah.
Saya lebih mengajak Anda untuk menata kembali niat mudik. Marilah kita niatkan mudik untuk wahana silaturahmi, terutama untuk orangtua dan keluarga, dan barulah yang lain-lain. Dalam catatan, ada kartun Clekit Jawa Pos (30/05/2019) menyindir kita begini: “Mari mudik, yang utama demi orangtua dan keluarga, baru demi reuni dengan teman lama, jangan dibalik lho ya.”
Jika mudik diniati untuk memperkuat silaturahmi, nilai ibadahnya kena, dan manfaat sosialnya pun tertangkap. Orangtua yang biasanya hanya kita jenguk sebulan sekali, atau beberapa bulan sekali, atau setahun sekali, akan merasa bahagia bahwa kerinduan terobati dengan pertemuan yang indah. Biasanya komunikasi hanya lewat telepon, video call, atau wa call, kini bisa berlangsung penuh kehangatan.
Demikian pun pertemuan dengan paman, bibi, nenek, kemenakan, dan kerabat-kerabat lain. Silaturahmi ke rumah-rumah mereka akan bermakna sesuatu yang mendalam. Istilahnya, menyambung tulang yang terpisah dan berserakan. Syukur-syukur kalau keluarga besar Anda bisa dikumpulkan lewat halal bihalal, ini akan sangat bermanfaat, sesuatu yang sudah kami terapkan bertahun-tahun dalam keluarga kami.
Lebih indah lagi, mudik dengan niat silaturahmi kita manfaatkan untuk mengeluarkan sedekah. Kita tahu betapa indahnya nilai sedekah, dan betapa besarnya manfaatnya sedekah. Ada yang mengilustrasikan, andaikata manusia sakaratul maut diberi satu menit untuk hidup kembali, dia tidak ingin menambah shalat, puasa, atau amalan lain, kecuali mengeluarkan sedekah. Maka, mari lengkapi silaturahmi dengan sedekah.
Selain itu, mari jangan lakukan reuni dengan teman lama sebelum sowan orangtua dan kerabat terdekat. Meski reuni itu juga wahana silaturahmi; kita berjaga-jaga saja, di luar sana tak sedikit reuni disalahmaknai untuk tujuan yang aneh-aneh. Ada yang bilang, reuni itu tempat bertemunya para “alumni hati”. Alumni hati itu mungkin masih menyimpan rasa cinta yang dalam. Waspadalah!
Jangan pula menomorsatukan pelesir ke wisata lebih dulu. Masak sih belum ke orangtua dan kerabat, sudah begitu menggebu mau ngelencer ke tempat-tempat wisata: pantai, danau, pasar malam, bazar, dan sebagainya? Belum apa-apa sudah sibuk keliling wisata kuliner, padahal belum sowan kepada orang-orang yang seharusnya kita takdhimi?
Boleh disaksikan. Sepanjang hari-hari lebaran, tempat-tempat wisata dan hiburan menawarkan program dan layanan terbaiknya, dengan hadiah ini-itu yang mengoda–seringkali sangat menggiurkan. Jika tidak mau mengerem diri, kita akan mudah terhanyutkan ke sana. Ke sana bolehlah, namun nanti setelah silaturahmi ke orangtua dan kerabat selesai.
Ingat, mudik telah menjadi budaya massa. Dalam perspektif budaya massa, apa pun bisa dikomodifikasi (dianggap sebagai komoditas) untuk dipasarkan kepada masyarakat. Masyarakat terhegemoni oleh kuatnya daya tarik yang ditawarkan, sehingga mereka akan suka rela untuk memeluk atau melibatkan diri di dalamnya. Tak peduli hiburan, tontonan, wisata; bahkan, kuliner pun bisa menjadi produk budaya massa selama lebaran.
Sekali lagi, marilah menata niat silaturahmi, syukur diiringi dengan sedekah kepada yang membutuhkan. Dengan menata niat, prioritas akan kita buat dengan penuh kesadaran dan keimanan. Dengan demikian, mudik masih merupakan bagian tak terpisahkan dengan rangkaian ibadah ramadhan yang ditunaikan sebulan penuh. Jangan nodai ibadah ramadhan dengan niat mudik yang salah.
Bagaimana pun, silaturahmi saat mudik adalah ibadah sosial, pertanda bagi kesalihan seseorang dan tingkat hablum-minannas (hubungan dengan manusia) yang dimilikinya. Ia melengkapi ibadah shaum, shalat, dan berbagai ibadah khusus kita selama ramadhan dalam rangka hablum-minallah (hubungan dengan Allah). Dua dimensi ini turut menandai ketakwaan seseorang. Bukankah kita juga ingin meraihnya?**
Gresik, 24 Maret 2023