Oleh: M Arfan Mu’ammar
“Ustadz antum sudah nulis berapa buku?”
Suara itu saya dengar dari telefon yang saya pegang.
“Alhamdulillah baru 8 buku solo ustadz, kalau antologi insyaallah baru 17 buku”, saya menjawab singkat.
Pertanyaan seperti itu sering saya terima, biasanya dibalas dengan jawaban: luar biasa antum ya, subhanallah, menginspirasi dan sebagainya.
Dilanjutkan dengan pertanyaan turunan: bagaimana caranya ustadz, ajari saya, mohon diberi tipsnya dan sebagainya.
Ada lagi pertanyaan turunan yang sangat diharapkan: “antum saya undang mengisi di tempat ana ya ustadz?”
Atau saya pesan satu judul buku yang ini tadz. Bisa dikirim buku yang berjudul ini ustadz dan seterusnya.
Tapi itu tidak banyak, hehe
Namun, suara di telfon itu sedikit berbeda: “Saya pesan semua buku antum yang solo, masing-masing 10 eksemplar”
“Semuanya? Masing-masing sepuluh eksemplar?” Tanya saya meyakinkan
“Iya betul tadz, segera dikirim ya tadz” jawabnya singkat.
“Tidak termasuk buku: Be A Writer dan Nalar kritis ya, kemarin kan sudah pesan banyak” saya memastikan.
“Gak apa-apa tadz kirim lagi saja” jelasnya.
Saya lekas mengecek semua stok buku. Beberapa buku yang saya terbitkan indie, dengan mudah saya dapatkan, sebagian tersimpan di kampus, harus saya ambil esok hari, sebagian lagi stok tersedia di rumah, aman.
Tapi, untuk stok buku mayor, hanya tinggal sedikit. Segera saya kontak penerbit mayor perwakilan Surabaya untuk mengirimkannya besok di kampus, sekalian saya ambil beberap stok buku saya di kampus.
Hanya tinggal satu buku, yang saya tidak punya stoknya, sudah lama tidak cetak, buku hasil tesis saya ketika tahun 2010 yang berjudul: “Filsafat Pendidikan; Refleksi Pemikiran John Dewey dan Athiyah Al-Abrasyi”. Lalu satu buku yang stoknya tinggal 3 eksemplar, yaitu buku: Majukah Islam dengan menjadi sekuler (kasus Turki). Buku ini diterbitkan oleh UNIDA Gontor tahun 2007 dan terbitkan ulang tahun 2014. Mungkin masih ada stok di sana, tetapi tidak mungkin dalam waktu cepat bisa mengiriminya.
Menurut saya, memang tidak semua buku harus diterbitkan di penerbit mayor, begitu juga tidak semua buku harus diterbitkan secara indie. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Jika menerbitkan buku di penerbit mayor, kita tidak perlu menyediakan banyak space di rumah, tidak memakan tempat untuk menyimpan buku. Akan tetapi, untuk menjual buku, paling banter dapat keuntungan 35-40% per buku. Tapi jika menerbitkan buku di penerbit indie, kita dapat 300% keuntungan. Namun, harus rela mengeluarkan modal terlebih dahulu dan harus mampu merawat stok yang menumpuk di rumah.
Dari 4 buku yang saya terbitkan indie, alhamdulillah selalu ada saja pembeli, walaupun tidak banyak, tetapi kita bisa langsung memantau penjualan. Memang agak ribet sih, harus packing, menghitung dan sebagainya. Tetapi jika itu dijalankan dengan sabar dan telaten, insyaallah tidak akan susah.
Sedang 4 buku lagi yang diterbitkan di penerbit mayor, alhamdulillah selalu cetak ulang dan ada perwakilan penerbit di Surabaya, sehingga jika butuh buku, saya tinggal telfon, penerbit siap antar ke kampus tanpa biaya ongkir tanpa biaya minimum. Membayarnya pun tidak langsung, kadang 3 minggu baru saya bayar.
Ya begitulah suka duka menerbitkan di buku indie maupun mayor. Anda harus pintar-pintar memilih dan memilah, mana buku yang punya potensi untuk kita jual secara indie dan mana buku yang berpotensi masuk di mayor.
Pagi ini saya mendapat WhatssApp dari Ustad Ainur Rofiq pemesan buku saya kemarin: “Ustadz dana buku sudah saya transfer ya mohon dichek”.
Segera saya mencari aplikasi mobile banking Bank Syari’ah Mandiri dan alhamdulillah sudah masuk senilai 4 juta rupiah. Rizki anak saleh. Yuk makan-makan saya traktir. Hehe