MENDESAIN PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS SPIRITUAL, MUNGKINKAH?

0
2637

MENDESAIN PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS SPIRITUAL, MUNGKINKAH?

Oleh : Agung Nugroho Catur Saputro*

PENDAHULUAN

Kimia merupakan salah satu ilmu sains yang fokus mengkaji tentang materi. Bahan kajian ilmu kimia meliputi kajian tentang struktur, komposisi, sifat dan perubahan materi serta perubahan energi yang menyertai perubahan materi. Kimia mempelajari bangun (struktur) materi dan perubahan-perubahan yang dialami materi dalam proses-proses alamiah maupun dalam eksperimen yang direncanakan (Keenan, Kleinfelter, & Wood, 1984). Dilihat dari fokus kajiannya, ilmu kimia cakupan kajiannya sangat luas karena mencakup semua aspek pada materi. Dari kajian tentang materi ini, para ilmuwan menemukan dan merumuskan hukum-hukum dasar kimia seperti hukum Lavoisier, hukum Proust, hukum Dalton, hukum Gay-Lussac, hukum Charles, hukum Hess, dan lain sebagainya. Hukum-hukum dasar kimia yang ditemukan dan dirumuskan oleh para ahli kimia tersebut merepresentasikan hukum alam (sunnatullah) yang berlaku di alam semesta. Hukum alam (sunnatullah) merupakan hukum Allah Swt yang ditetapkan dan diberlakukan pada materi di alam semesta ini. Maka keberadaan hukum-hukum dasar kimia yang ditemukan para ilmuwan seharusnya mampu menyadarkan semua orang yang mempelajari kimia tentang adanya Allah Swt, Tuhan yang Mahapencipta alam semesta.

Dalam pendidikan, pemikiran keterpaduan (integrasi) antara ilmu kimia dan nilai-nilai spiritual seyogyanya diimplementasikan dalam proses pembelajaran mata pelajaran kimia. Oleh karena itu, pembelajaran kimia selain mengajarkan konten kimia seharusnya juga mengajarkan tentang nilai-nilai spiritual (ketauhidan). Tetapi pada kenyataannya, masih sedikit pendidik (guru atau dosen) yang ketika mengajar kimia mengintegrasikan pembelajarannya dengan nilai-nilai spiritual. Fenomena ini menunjukkan adanya permasalahan dalam dunia pendidikan kita, khususnya bidang pembelajaran sains.

Adanya fenomena dekadensi moral di kalangan remaja usia sekolah, seperti tawuran antarpelajar, kekerasan pada sesame siswa, tindakan asusila, pergaulan bebas, dan lain-lain diduga kemungkinan juga ada kaitannya dengan pendidikan karakter (khususnya karakter religius) yang belum berhasil. Walaupun program pendidikan karakter telah lama diimplementasikan dalam pendidikan, tetapi ternyata hasilnya belum terlihat signifikan. Menurut hasil penelitian (Hidayati, Zaim, Rukun, & Darmansyah, 2014) diketahui bahwa pendidikan karakter kurang mampu membentuk karakter positif pada siswa karena guru tidak mampu mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam mata pelajaran yang diampu. Guru yang sudah melaksanakan pendidikan karakter dalam mata pelajarannya juga belum melaksanakan secara terintegrasi dengan konten mata pelajaran.

Ilmu sains, khususnya ilmu kimia merupakan bidang ilmu yang sebenarnya sangat dekat dengan nilai-nilai spiritual dan mudah diintegrasikannya dalam pembelajaran mata pelajaran. Tetapi karena ketidaktahuan pendidik bagaimana cara mengintegrasikannya dalam proses pembelajaran mata pelajaran, maka hal itu dianggap sulit dan tidak banyak pendidik yang melakukannya. Apalagi didukung dengan belum banyaknya para pendidik yang sadar bahwa tugas mereka tidak hanya menghasilkan peserta didik yang pandai mata pelajaran, tetapi juga harus mampu menghasilkan peserta didik yang mengenal Tuhannya, peserta didik yang menyadari keberadaan Sang Pencipta alam semesta, dan peserta didik yang memiliki akhlak/perilaku/karakter yang mulia. 

MENDESAIN ULANG TUJUAN PEMBELAJARAN KIMIA

Kurikulum 2013 yang diterapkan secara resmi oleh pemerintah (Kemendikbud RI) bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia (Kemendikbud, PP Mendikbud RI No. 36 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PP Mendikbud RI No. 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, 2018a). Berdasarkan rumusan tujuan Kurikulum 2013 tersebut, dapat dipahami bahwa spiritual merupakan jiwa dari seluruh tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pertama yang ingin dicapai oleh Kurikulum 2013 adalah aspek spiritual, bukan aspek kognitif ataupun keterampilan. Hal ini menunjukkan ciri khas bangsa Indonesia sebagai negara yang dibangun berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada pasal 31 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Penjelasan lebih lanjut dari pasal 31 tersebut tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan tujuan dan fungsi pendidikan nasional, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah untuk membentuk warga negara yang beriman kepada Tuhan yang maha Esa. Apabila dicermati lebih dalam, dari semua tujuan pendidikan, yang merupakan tujuan paling penting dan menaungi yang lainnya adalah iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dipahami selain urutan penyebutannya dalam Undang-Undang lebih awal juga karena tanpa iman dan taqwa, pencapaian tujuan pendidikan yang lain tidak akan membawa kebaikan
bagi umat manusia di dunia apalagi di akhirat. Bahkan akhlak mulia (akhlakul karimah) hanya akan terwujud jika ada iman dan taqwa (Darmana, 2014).

Dalam dokumen kurikum 2013, rumusan kompetensi sikap spiritual adalah “Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya”. Kompetensi tersebut dicapai melalui pembelajaran tidak langsung (indirect teaching), yaitu keteladanan, pembiasaan, dan budaya sekolah dengan memperhatikan karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan dan kondisi peserta didik. Penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran berlangsung dan dapat digunakan sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter peserta didik lebih lanjut. (Kemendikbud, PP Kemendikbud RI No. 37 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PP Mendikbud No. 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, 2018b)

Seiring dengan tujuan pertama dari pendidikan nasional dan kurikulum 2013, maka pembelajaran kimia seharusnya juga tidak berbeda jauh, yaitu mencetak peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menguasai konsep-konsep kimia. Untuk mewujudkan tujuan ini, maka pembelajaran kimia di sekolah harus didesain dan diintegrasikan dengan nilai-nilai spiritual (religius). Langkah pertama untuk mendesain pembelajaran kimia yang berbasis spiritual adalah dengan mengubah paradigma pemikiran tentang pembelajaran kimia. Paradigma berpikir yang selama ini digunakan para pendidik adalah “Chemistry through education” atau mengajarkan kimia melalui pendidikan. Paradigma pemikiran seperti ini hanya menganggap kimia sebagai objek pembelajaran saja atau kimia sebagai konten yang menjadi fokus pembelajaran. Kelemahan dari paradigma berpikir seperti ini adalah pembelajaran kimia tidak memberikan dampak apapun terhadap pembentukan sikap dan karakter pada peserta didik karena kimia dipelajari hanya sebagai objek pelajaran saja. Pembelajaran kimia yang mendasarkan pada paradigma berpikir seperti ini tidak mampu menghadirkan kimia sebagai media pendidikan karakter, khususnya karakter religius.

Berdasarkan kelemahan paradigma “Chemistry through education” di atas, maka sudah waktunya paradigma tersebut diubah dan diganti dengan paradigma “Education through chemistry” atau pendidikan melalui kimia. Apakah perbedaan makna antara paradigma ‘chemistry through education’ dengan ‘education through chemistry’ dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan Paradigma “Chemistry through education” dan “Education through chemistry”

Chemistry Through Education Education Through Chemistry
§  Mempelajari pengetahuan dasar kimia, konsep, teori dan hukum §  Mempelajari pengetahuan kimia dan konsep yang penting untuk memahami dan menghargai masalah sosio-saintifik dalam masyarakat.
§  Melakukan proses kimia melalui pembelajaran inkuiri. §  Melakukan penelitian ilmiah pemecahan masalah untuk lebih memahami latar belakang kimia yang berkaitan dengan masalah sosio-saintifik dalam masyarakat.
§  Mendapatkan apresiasi dari sifat ilmu. §  Mendapatkan apresiasi dari sifat ilmu.
§  Melakukan kerja praktis dan hargai karya para ilmuwan. §  Mengembangkan keterampilan pribadi terkait kreativitas, inisiatif, kerja aman, dll.
§  Mengembangkan sikap positif terhadap kimia dan ilmuwan. §  Mengembangkan sikap positif terhadap kimia sebagai komponen utama dalam mengembangkan masyarakat dan usaha keras ilmiah.
§  Mendapatkan keterampilan komunikatif yang terkait dengan lisan, tertulis dan simbolis / tabular / format grafis. §  Mendapatkan keterampilan komunikatif yang terkait dengan lisan, tertulis dan simbolis / tabular / format grafis.
§  Melakukan pengambilan keputusan dalam menanggulangi masalah ilmiah. §  Melakukan pengambilan keputusan secara sosio-saintifik terkait dengan masalah yang timbul dari masyarakat.
§  Menerapkan penggunaan kimia ke masyarakat dan menghargai masalah etika yang dihadapi oleh para ilmuwan. §  Membangkan nilai-nilai sosial yang terkait dengan menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan melakukan karir yang berhubungan dengan kimia.

(Holbrook, 2005)

“Chemistry through education” merupakan paradigma pembelajaran kimia yang lama, sedangkan “Education through chemistry” merupakan paradigma baru yang sedang trend sekarang. Paradigma “Chemistry through education” mengandung makna bahwa kimia adalah objek yang diajarkan dan pendidikan sebagai sarana mengajarkan. Di sini fungsi kimia hanya sebatas objek, kimia hanya sebagai objek pembelajaran, tidak ada fungsi lain selain objek yang dipelajari. Sementara itu, paradigma “Education through chemistry” sangat berbeda sekali dengan paradigma sebelumnya. Dalam paradigma yang baru ini, peran kimia bukan sebagai objek kajian, tetapi justru sebagai sarana atau media untuk mendidik. Pendidikan di sini justru yang menjadi objek pembelajaran. Jadi kalau diungkapkan dengan kalimat redaksional yang berbeda menjadi “Mengajarkan Pendidikan Melalui Kimia”.

Dalam konteks pendidikan karakter, paradigma “Education through chemistry” menurut pendapat penulis sangat relevan. Mengapa demikian? Kimia merupakan materi pelajaran yang mempelajari materi dan perubahannya. Sifat-sifat materi dan perubahannya dipengaruhi oleh hukum-hukum alam yang mengaturnya. Hukum alam atau sunatullah sebenarnya tidak lain adalah kehendak Allah Swt, hukum alam adalah sebuah ketetapan Allah Swt yang diberikan kepada setiap materi di alam semesta. Kalau kita mempelajari materi di alam semesta ini secara tidak langsung kita juga mempelajari hukum-hukum atau kehendak Allah Swt.

Melalui pengkajian sifat-sifat materi dan perubahannya, sama dengan kita mengkaji mekanisme kerja Allah Swt dalam mengatur alam semesta ini. Allah Swt menetapkan kehendak-Nya pada setiap materi dan gejala perubahan materi pasti bertujuan positif, tidak mungkin Allah Swt punya tujuan negatif terhadap makhluk-Nya karena tidak ada manfaatnya. Dengan memfungsikan kimia sebagai sarana mendidik itu sama dengan memanfaatkan kehendak Allah Swt dalam bentuk hukum/hikmah/ibroh dalam setiap materi sebagai sarana mengajarkan nilai-nilai karakter akhlakul karimah kepada peserta didik (siswa maupun mahasiswa) (Saputro, 2018).

PENDIDIKAN KIMIA BERBASIS SPIRITUAL, MUNGKINKAH?

Agama dan sains (ilmu pengetahuan) bagi manusia merupakan kebutuhan asasi. Artinya, kedua hal ini merupakan kebutuhan pokok bagi hidup dan sistem kehidupan manusia. Agama bagi manusia sebagai pedoman, petunjuk, kepercayaan dan keyakinan bagi pemeluknya untuk hidup sesuai dengan “fitrah” manusia yang dibawa sejak lahir. Eksistensi agama yang diimani, diyakini dan diamalkan ajarannya akan membawa pemeluknya dalam hidup dan sistem kehidupan lebih baik, tertib dan berkualitas. Eksistensi sains bagi agama berfungsi sebagai pengukuh dan penguat agama bagi pemeluknya, karena dengan sains mampu mengungkap rahasia-rahasia alam semesta dan isinya, sehingga akan menambah khidmat dan khusyuk dalam beribadah dan bermuamalah (Maksudin, 2013)

Dalam pengajaran sains dan teknologi (iptek) harus ada pengintegrasian pengajarannya dengan seluruh pola ideologi islam yang berlaku di masyrakat. Barat akhir-akhir ini telah mengintegrasikan pola pengajaran mereka dengan sistem ideologinya. Misalnya di Amerika, sains sosial dan kemanusiaan diajarkan dalam kerangka budaya Amerika. Demikian juga dulu di Uni Soviet, pendidikan ilmiah diintegrasikan dengan disiplin-disiplin non-teknik dan seluruh siswanya harus mempelajari sejarah Partai Komunis Uni Soviet, etika Marxis, filsafat dan estetika Marxis-Leninis, dasar-dasar ateisme ilmiah, ekonomi politik dan dasar-dasar komuniusme ilmiah. Hanya di negara-negara islam pengintegrasian pengajaran antara ideologi dengan disiplin-disiplin sosial-teknik dan humanisme-teknik belum berlangsung (Husain & Ashraf, 2000). Oleh karena itu, proses pengintegrasian nilai-nilai relegius dalam pelajaran sains sangat diperlukan. Tanggung jawab intelektual muslim dewasa ini adalah menghadirkan Tuhan yang satu dalam diskursus-diskursus keilmuan (Miftahusyaian, 2010), termasuk di dalamnya adalah dalam proses pembelajaran kimia.

MENGGALI NILAI-NILAI KARAKTER RELIGIUS YANG TERKANDUNG DALAM ILMU KIMIA

Alam dihidangkan Allah Swt, baik sebagai bahan konsumsi materiel maupun immateriel adalah sebagai perpustakaan raksasa, sebagai obyek riset (tadabbur), serta sebagai perbandingan dan pelajaran (i’tibar). Berulang – ulang ditemukan rangsangan keilmuan dan motivasi untuk studi Al Qur’an pada beberapa ayat – ayat-Nya (Lubis,1997:19). Membaca alam semesta itu bisa diibaratkan seperti seolah-olah kita sedang membaca curriculum vitae Allah swt. Mengungkap proses-proses alam semesta itu bisa disamakan dengan mengungkap sifat-sifat Allah swt. Mengenal hukum-hukum alam yang berlaku di alam semesta itu bisa merupakan cara mengenal Allah swt. Jadi mempelajari proses-proses di alam semesta itu seperti mempelajari sifat-sifat Allah swt. Kalau sudah mengenal sifat-sifat Allah swt, itu sudah menunjukkan bahwa keberadaan Allah swt dapat diterima. Alam semesta ini diciptakan Allah agar menjadi bahan pemikiran manusia.

Dalam ilmu kimia banyak terdapat materi-materi pelajaran yang mengandung nilai-nilai keindahan dan keteraturan yang pada akhirnya mengarah kepada peng-agungan sang pencipta serta jika dapat menggali lebih dalam lagi hakikat makna di balik peristiwa-peristiwa kimia tersebut, maka akan diperoleh banyak sekali nilai-nilai religiusnya yang sangat diperlukan oleh para siswa sebagai bekal hidup di dunia (Saputro, 2008). Sebagai misal pada pelajaran materi pokok reaksi kimia. Dalam reaksi kimia, zat-zat pereaksi (reaktan) akan saling bereaksi membentuk zat baru (senyawa baru) yang disebut zat hasil reaksi (produk). Sifat produk sama sekali berbeda dengan sifat reaktan, tetapi reaktan “hanya” bisa bertransformasi menjadi produk jika reaktan memiliki energi minimal yang cukup untuk melampaui energi aktivasi. Mengapa zat-zat di alam ini (atom, molekul, ion) dapat bereaksi secara kimia? Perlu kita pahami bahwa zat-zat kimia itu benda mati yang tidak dapat berperilaku seperti makhluk hidup. Tetapi mengapa zat-zat kimia tersebut dapat bereaksi? Penting kita pahami bahwa walaupun zat-zat (materi) di alam ini benda mati, tetapi mereka diberikan oleh Allah Swt semacam “sifat” tertentu yang terikat oleh sunnatullah (hukum-hukum alam). Jadi materi di alam ini ketika berinteraksi dengan materi lain hanya sekedar menjalankan “kehendak” Tuhannya yang telah ditetapkan dalam wujud sifat-sifat materi. Materi di alam ini hanya memenuhi “kewajibannya” selaku makhluk, materi di alam ini hanya sekedar mematuhi takdirnya.

Ada beberapa pelajaran atau hikmah kehidupan yang dapat kita ambil dari materi pelajaran reaksi kimia. Hikmah yang pertama adalah terjadinya perubahan materi secara kimia (reaksi kimia) telah mengajarkan kepada kita bahwa setiap orang niscaya harus berubah menjadi lebih baik. Untuk dapat berubah menjadi pribadi yang lebih baik memerlukan bekal keilmuan yang cukup agar dapat melalui segala hambatan dan rintangan yang setiap saat dapat menghalangi kelancaran proses perubahan tersebut. Hikmah kedua adalah jika kita memiliki keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik tetapi kita kurang memiliki bekal keilmuan maupun motivasi yang cukup, maka kita memerlukan bantuan dari pihak lain. Maka sangat pantaslah kalau agama kita menganjurkan agar kita saling membantu satu sama lain dan saling menasihati dalam kebaikan. Adapun hikmah yang ketiga adalah perubahan diri menjadi pribadi yang lebih baik itu perlu momen yang tepat dan indikator terjadinya perubahan. Setiap waktu adalah baik, tetapi di antara waktu-waktu yang baik tersebut terdapat waktu yang paling “tepat” untuk kita melakukan perubahan diri. Hikmah keempat yaitu adanya “rahasia” dibalik kesuksesan proses transformasi diri. Ada konsep yang sangat penting yang perlu kita pahami dalam proses transformasi diri yaitu “kesadaran diri” bahwa keinginan kita untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik adalah kehendak Allah Swt yang sudah ditetapkan pada setiap diri kita (Saputro, 2018b).

Dari alur pemikiran di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat nilai–nilai religius yang terkandung dalam setiap materi pelajaran kimia. Nilai–nilai religius ini mungkin tidak terlihat secara langsung dari materi pelajaran (tersurat), tetapi secara tersirat, yaitu lebih pada penghayatan dan pembandingan antara materi pelajaran dengan pesan–pesan moral sebagaimana yang telah disyariatkan oleh Allah Swt lewat firman– firman-Nya dalam Al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah Saw. Nilai–nilai religius dalam materi kimia ini dapat diketahui tergantung dari kemampuan analisis dan penghayatan serta basis pengetahuan agama dari guru bidang studi yang bersangkutan, karena semakin tinggi kemampuan analisis dan mengaitkan hakikat proses – proses kimia dalam materi ikatan kimia dengan pesan – pesan moral dalam agama yang dimiliki oleh guru bidang studi, maka semakin banyak pula pesan – pesan moral yang dapat digali dari materi pelajaran tersebut. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa ayat – ayat Allah Swt yang berupa ayat – ayat Qouliyah (Al-Qur’an alkarim) tidak mungkin bertentangan dengan ayat –ayat Kauniyah (Alam semesta beserta segala proses di dalamnya yang berlangsung sesuai sunatullah) (Saputro, 2008).

STRATEGI MENGAJARKAN KARAKTER RELIGIUS DALAM PEMBELAJARAN KIMA

Untuk mengajarkan karakter ketauhidan kepada peserta didik dalam pembelajaran mata pelajaran kimia, maka kita tidak dapat menggunakan metode-metode pembelajaran yang berasal dari barat. Konstruksi keilmuwan peradaban barat dibangun dari bagunan keilmuan yang meniadakan peran Tuhan dalam pembahasannya. Oleh karena itu, tindak mungkin kita menggunakan metode pembelajaran yang dihasilkan dari pola pemikiran atau penelitian yang mengasumsikan bahwa Tidak ada Tuhan. Sebagai solusinya, maka kita harus kembali menengok ke wahyu (baca alquran) sebagai sumber pengetahuan. Alquran harus kita jadikan sebagai sumber keilmuan yang selalu hidup (Miftahusyaian, 2010).

Menurut (Syahidin, 2009), dunia Islam memiliki sejumlah metode pendidikan yang sudah teruji keampuhannya. Metode pendidikan dalam dunia Islam tersebut dikenal dengan sebuatan metode Qurani. Metode pendidikan Qurani merupakan metode pendidikan yang digali dari al Quran. Metode ini diintisarikan dari metode-metode yang diajarkan Allah Swt melalui al Quran yang kemudian diaplikasikan oleh rasulullah Muhammad Saw ketika berdakwah atau memberi pelajaran kepada para sahabatnya.

Dalam mengajarkan karakter ketauhidan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran, seorang pendidik harus memahami dulu hakikat peserta didik sebagai manusia. Peserta didik adalah manusia ciptaan Allah yang dibekali kemampuan untuk berubah dan oleh karena itu mampu untuk dididik. Berangkat dari pemahaman terhadap hakikat manusia inilah, maka seorang pendidik akan memperlakukan peserta didik bukan sebagai objek pembelajaran tetapi sebagai subjek pembelajaran. Untuk menelusuri pemahaman hakikat manusia dalam pandangan Islam, al-Syaibani (1979) dalam (Syahidin, 2009) menemukan delapan prinsip dasar pandangan Islam tentang manusia, yang digali dari alquran dan sunnah rasulullah Saw dengan memahami berbagai aspek penagsiran yang dapat dihayatinya. Dari delapan prinsip dasar tersebut, ada tiga prinsip yang dapat dijadikan landasan dalam mengembangkan konsep pendidikan Islam, yaitu :

  1. Manusia sebagai makhluk Allah yang dimuliakan (Q.S. al-Isra [17] : 70).
  2. Manusia sebagai makhluk yang memiliki tiga dimensi yaitu dimensi Jiwa (Q.S. al –A’raf [7] : 172, Q.S. al-Isra [17] : 85), dimensi Akal ( Q.S. al-Baqarah [2] : 73, 76, 219 dan 266), dan dimensi Fisik (Q.S. al-Hujurat [49] : 28. Q.S. al-Kahfi [18] : 110).
  3. Manusia sebagai makhuk yang memiliki potensi dasar yang cenderung menerima kebenaran Tuhan dan dapat berfikir positif, lurus atau “hanif” (Q.S. al-Rum [30] : 30), memiliki motivasi, kecerdasan, kebutuhan, perbedaan individual, dapat dipengaruhi dan suka berubah sehingga sangat memungkinkan untuk dapat dididik.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kimia memungkinkan untuk didisain secara terintegrasi dengan nilai-nilai religius sehingga pembelajaran kimia berbasis nilai-nilai spiritual. Disain pembelajaran kimia berbasis spiritual diharapkan dapat menanamkan karakter religius ke siswa dalam pembelajaran mata pelajaran kimia. Strategi untuk mengintegrasikan nilai-nilai religius dalam pembelajaran kimia dapat dilakukan dengan mengadopsi metode pendidikan Qurani.

DAFTAR PUSTAKA

Darmana, A. (2014). Internalisasi nilai tauhid pada pembelajaran kimia untuk meningkatkan kemampuan siswa SMA dalam memahami nilai-nilai agama dan kimia. Dipetik Januari Minggu, 2018, dari repository.upi.edu: repository.upi.edu

Hidayati, A., Zaim, M., Rukun, K., & Darmansyah. (2014). The development of character education curriculum for element student in west sumatera. International journal of education and research, 189-198.

Holbrook, J. (2005). Making chemistry teaching relevant. International Conference on Science Education (pp. 1-12). Istanbul, Turkey: Chemical Education International, Vol. 6 No. 1.

Husain, S. S., & Ashraf, S. A. (2000). Krisis dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Al-Mawardi Prima.

Keenan, C. W., Kleinfelter, D. C., & Wood, J. H. (1984). Kimia untuk Universitas Jilid 1. Terjemahan A. Hadyana Pudjaatmaka. Jakarta: Erlangga.

Kemendikbud. (2018a). PP Mendikbud RI No. 36 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PP Mendikbud RI No. 59 Tahun 2014 Tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Kemendikbud. (2018b). PP Kemendikbud RI No. 37 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PP Mendikbud No. 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Kemendikbud. (2018b). PP Kemendikbud RI No. 37 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas PP Mendikbud No. 24 Tahun 2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta: Kemendikbud RI.

Maksudin. (2013). Paradigma Agama dan Sains Nondikotomik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Miftahusyaian, M. (2010). Spiritualisasi keilmuan : mengkonstruksi peradaban intelektual muslim abad ke-21. el-Harakah. Vol. 12 No. 01, 1-18.

Saputro, A. N. (2018). Kimia Kehidupan : Model Integrasi Sains-Agama sebagai Panduan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Kimia. Yogyakarta: Deepublish.

Syahidin. (2009). Menelusuri metode pendidikan dalam al Quran. Bandung: Alfabeta.

Saputro, A. N. C. (2008). Analisis Nilai-nilai Relegius dalam Konsep Ikatan Kimia pada Pelajaran Ikatan Kimia SMA. SAINMAT-Jurnal Matematika, IPA dan Pembelajarannya, 2,12 : 51-64.

Saputro, A. N. C. (2018a). Muhasabah : Menemukan [Kembali] Nilai-Nilai Kemuliaan Diri
Yang Hilang
. Jombang : Kun Fayakun Publishing.

Saputro, A. N. C. (2018b). Kimia Kehidupan : Model Integrasi Sains-Agama Sebagai Panduan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Kimia. Yogyakarta : Deepublish.

Saputro, A. N. C. (2018c). Analisis Nilai-Nilai Karakter Religius dalam Konsep Kimia SMA/MA Kelas XI. Surakarta : Tidak dipublikasikan.

Sumber gambar :

https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Ibn_Umayl_The_Silvery_Water.jpg

__________________________________

*Staff Pengajar, Penulis Buku dan Pegiat Literasi dari Universitas Sebelas Maret (UNS)

*Mahasiswa Program Studi S3-Pendidikan Kimia PPs Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)

*Anggota komunitas penulis SAHABAT PENA KITA (SPK)

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here