Oleh Agus Hariono
Menurut pengamatan saya, salah satu tradisi Kopdar Sahabat Pena Kita (SPK) adalah hadiah menghadiahi buku, tukar menukar buku dan membeli buku. Kala Kopdar 8 SPK di Sidoarjo kemarin, saya mendapat hadiah buku dari Prof. Ngainun Naim, yang berjudul “Hidup adalah Gerak: Bapak Kalip Surjadi di Mata Anak-Anaknya. Buku tersebut diterbitkan Januari 2022 kemarin.
Bagi saya hadiah buku adalah amanah. Ada sebuah tanggung jawab atau semacam kewajiban yang harus saya tunaikan. Sejauh ini dari sekian amanah, masih beberapa yang saya tunaikan. Berdosa sekali kalau sampai tidak ditunaikan. Tidak bermaksud lebay, tetapi berusaha komitmen menghargai hadiah dari orang lain.
Kali ini saya berusaha menunaikan amanah tersebut. Aji mumpung. Mumpung baru selesai Kopdar, semangat menulis masih berkobar. Berharap akan terus berkobar, sehingga amanah-amanah yang lain juga dapat tertunaikan.
Buku “Hidup adalah Gerak” merupakan kumpulan tulisan dari putra-putri Pak Kalip Surjadi. Mengenang ayahanda yang sudah dipanggil Sang Ilahi. Mereka adalah enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan. Dari pembagian ini menunjukkan ada gerak yang seimbang atau biasa disebut adil. Tentu yang dimaksud adil adalah yang Mahaadil, Allah SWT.
Selain berimbang, Pak Kalip tampaknya juga suka dengan keunikan. Nama depan putra-putrinya nyaris sama dalam tulisan dan sama persis dalam makna. Jika diurutkan sesuai dengan waktu kelahirannya, mereka adalah Ngainun Naim, Ngainun Niam, Ngainur Rohmah, Ngainun Ni’mah, Ngainun Nisak dan Ngainul Yaqin.
Jika saya komentar dalam tulisan putra-putri Pak Kalip ini, hampir semuanya menyebutkan kakak pertama, yang tidak lain adalah Prof. Ngainun Naim. Jika “hidup adalah gerak” merupakan semboyan hidup Pak Kalip, maka dalam konteks ini Prof. Naim sudah mempraktikkannya, dengan setidaknya menggerakkan saudara-saudaranya untuk menuliskan mozaik kenangan tentang Pak Kalip. Saya meyakini, dalam konteks yang lain, tentu Prof. Naim lebih besar lagi dalam, dalam mengejawantahkan semboyan hidup ayahandanya tersebut.
Sejauh ini saya belum mengetahui sebuah buku yang berisi sejarah ayah yang ditulis anak-anaknya. Atau, mungkin tepatnya, belum memiliki. Sehingga buku “Hidup adalah Gerak” ini adalah yang pertama. Kebanyakan autobiografi—saya menyebutnya—itu bercerita tentang sosok yang ditulis oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Orang lain dimaksud, bisa dari anggota keluarga, bisa juga orang lain sama sekali. Barangkali, ada yang ditulis anak-anaknya, tetapi tidak full tim sebagaimana putra-putri Pak Kalip.
Prakarsa Prof. Naim sungguh menginspirasi. Karena tidak mudah mengajak saudara kandung untuk menulis. Tentu ada kesaktian tersendiri yang dimiliki oleh Prof. Naim sehingga saudara-saudaranya tergerak mau menulis. Kalau ditanya “mau”, apalagi menuliskan tentang orang tua, tentu saja mau, tetapi mampu atau tidak. Mengingat tidak semua saudara—apalagi jumlahnya melebihi keluarga Pandawa—mempunyai kemampuan untuk menulis. Nah, di sinilah kesaktian Prof. Naim.
Biasanya bagi seorang guru, mendidik paling sulit adalah mendidik keluarganya sendiri. Karena keluarganyalah yang paling tahu tentang sisi kekurangannya. Tetapi, sekali lagi beda dengan Prof. Naim. Kesaktian Prof. Naim tentu tidak terlepas dari kesaktian ayahanda.
Haru membaca kesan dan kenangan mereka. Semuanya dapat menyerap pesan-pesan ayahanda. Sulit dilakukan jika orang tua terlebih ayah, tidak mengakrabi anak-anaknya. Umumnya orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak, tetapi faktanya tidak. Tidak semua orang tua mengenali hati dan jiwa anak-anaknya. Nah, kesan mendalam dari putra-putrinya ini, tentu akibat dari betapa kenal dan dekatnya Pak Kalip, tidak saja secara fisik, tetapi juga hati dan jiwanya.
Di antara tulisan enam bersaudara ini, selain tulisan Prof. Naim, tulisan yang panjang lainnya ada milik Bu Ngainur Rohmah. Dalam ceritanya ia merupakan satu-satunya anak perempuan dari tiga anak pertama yang dilahirkan dalam kurun waktu lima tahun. Artinya selama kurun waktu lima tahun Bu Kalip melahirkan tiga orang anak, salah satunya adalah Bu Ngainur Rohmah. Tiga saudara lainnya dilahirkan dalam kurun waktu 17 tahun.
Ia bercerita lebih detail dibanding empat saudara yang lain. Perjalanan hidupnya pun dapat dibilang dramatis, namun syarat makna. Saya membaca tulisannya, terbawa suasana. Betapa peliknya perjuangan hidup menempuh pendidikan, hingga berkeluarga dan akhirnya dapat lolos mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
Akibat didikan yang diwarnai teladan minim kata-kata ini justru membekas. Laku hidup memang tidak harus selalu dipadati dengan kata-kata. Kata orang bijak, satu teladan lebih baik dari seribu nasehat. Inilah barangkali model pendidikan anak yang diterapkan oleh Pak Kalip. Menurut, penuturan Prof. Naim, Pak Kalip merupakan orang yang pendiam, tidak banyak kata, namun kaya teladan.
Teladan-teladan terbaik yang konsisten dilakukan inilah yang mengantarkan putra-putri Pak Kalip menuju kesuksesan. Karena baginya jalan menuju sukses tidak mesti dibanjiri dengan harta. Pak Kalip bisa membuktikan hal tersebut, seluruh putra-putrinya mendapat pendidikan yang layak, meski dengan keterbatasan dana. Semua lulus sarjana. Mustahil itu terjadi jika, Pak Kalip itu orang biasa-biasa saja. Tentu, ayah dari enam bersaudara ini memiliki keunggulan sebagai ayah teladan sepanjang zaman.
Kini Pak Kalip telah tiada. Keenam putra-putrinyalah yang melanjutkan keluhuran budinya. Melalui tulisan-tulisan dan foto-foto yang ada dalam buku “Hidup adalah Gerak” inilah putra-putri Pak Kalip berusaha menghidupkan suasana masa lalu yang penuh perjuangan. Masa lalu yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan. Masa lalu yang dipenuhi dengan tetesan-tetesan keringat sang ayah. Masa lalu yang mengantarkan masa kini yang cerah. Masa yang cerah mengabadikan gerak. Semoga almarhum Pak Kalip husnul khatimah, mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu.
Plemahan, 4 Maret 2022