Oleh Bahrus Surur-Iyunk

Kemarin, 6 Pebruari 2021, saya mengikuti Webinar Nasional Literasi yang diadakan oleh Sahabat Pena Kita (SPK). SPK adalah sebuah grup literasi yang kegiatan dan komunikasi anggotanya lebih banyak dilakukan melalui Grup WA. Ada tiga pemateri yang hadir, Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban, M.Pd., Ketua STAI Ma’had ‘Aly (STAIMA) Al-Hikam Malang, Gus Ulil Abshar Abdallah dan Nurul Chomaria, S.Psi. menarik, karena masing-masing pemateri memiliki kekhasan tersendiri.

Pak Ketua STAIMA menjelaskan tentang prokdutivitas menulis yang diinspirasi oleh Al-Quran dan Hadis. Dari dua sumber hukum utama Islam ini telah lahir para ulama penulis hebat. Karya-karyanya masih “hidup” hingga sekarang. Beliau juga memberikan tips produktif menulis berdasarkan penelusuran doktrin Islam dan teladan para ulama masa lampau.

Berbeda dari Prof. Kasuwi, ada Gus Ulil yang terkenal kontroversial di kalangan muslim literalis. Pemikirannya dikaji dan dikagumi oleh kalangan Nahdliyyin dan pecinta pemikiran Islam liberal. Tetapi, ia juga dicaci-maki, bahkan dikafirkan, oleh mereka yang berpandangan Islam literal-skripturalistik. Saya baru ngeh, ketika ia mengatakan bahwa ditanggapinya sebuah tulisan atau –tepatnya– pemikiran yang ia lemparkan ke public secara kontroversial merupakan suatu kebanggaan yang luar biasa.

Baginya, ketika tulisannya dibaca oleh banyak orang lalu ditanggapi, dikomentari, baik posisif (pujian) maupun negatif (kritikan), maka di sanalah penulis itu sesungguhnya (terasa) berada di surganya penulis (jannatul-kuttab). Sangat menyenangkan. Apalagi ketika buku karya kita diresensi oleh ahlinya, maka dada itu rasanya langsung mekar. Tersanjung. Hingga di sini, kita kemudian tahu mengapa tulisan dan pemikiran Gus Ulil kemudian seringkali agak kontroversial, karena di situlah surganya. Hehehe

Gus Ulil juga mengamati sekaligus membandingkan tulisan-tulisan kekinian dengan tulisan yang berkembang di era 1990-an. Ia bercerita bagaimana para penulis generasi 1990-an itu melahirkan karya-karya tulisnya. Tahun 1990-an adalah eraku dimana saya belajar menulis dengan sangat serius. Saya  baru belajar nulis sejak tahun 1994 dan baru dimuat di koran dan majalan pada tahun 1995/1996.

Pada decade ini semua mahasiswa “dipenjara”, tidak berani bersuara. Karena dibungkam dan ditekan oleh Rezim Orde Baru saat itu, mereka pun mencari pelampiasan. Mereka berdiskusi secara terbatas, intens dan terus-menerus. Tidak jarang dosennya pun ikut nimbrung berdiskusi, terutama dosen yang peduli kondisi bangsa dan mantan aktifis.

Mungkin saking banyaknya membaca dan berdiskusi, pikiran yang ada di otak mereka sudah tidak muat lagi. Anehnya, orang-orang kayak gini ini biasanya ndak terlalu banyak uang. Bahkan, tidak punya uang. Maka, salah satu untuk mendapatkan tambahan penghasilan dan pelampiasan pemikiran, mereka kemudian menulis resensi, artikel opini, esai dan kolom.

Tapi menulis pada era itu tidak semudah seperti sekarang ini. Benar kata Gus Ulil, yang nulis banyak, tapi media massanya terbatas. Saingan ketatnya ya teman-teman sendiri. Sedikit akses menjadikan seleksi pun ketat. Teman menulis seangkatan saya dulu itu ada Islah Gusmian, M. Arif Hakim, Afnan Malay, Kuswaidi, Ahmad Sahidah, Ahmad Najib Burhani, Sukidi, Asep Purnama Bahtiar, Isngadi, dan banyak lagi. Lucunya, kalau ngecek tulisannya dimuat atau tidak biasanya selalu bareng. Kadang ketemu di perpustakaan Hatta, Perpusda DIY dan di kios-kios koran-majalah sekitar kampus IAIN.

Gaya tulisan di era 1990-an itu mayoritas serius. Meresensi itu bukan hanya membaca selintas lalu diberi komentar, apalgi di-copas. Mereka membaca betul, dianalisis dan dibandingkan dengan buku atau pemikiran yang lain. Jika tidak demikian, media massa pun tidk akan mau memuatnya.

Jika menulis artikel juga demikian. Untuk menjadi satu artikel opini atau kolom, seseorang harus membaca setidaknya 5 buku referensi. Bukan di-copas, tapi disimpulkan dan akhirnya menjadi pendapatnya sendiri atau pati menyebut namanya. Setidaknya, di-parafrase lah! Jadi, kadangkala satu minggu baru dapat satu artikel opini yang siap dimuat di koran, terutama koran dan majalah nasional seperti Kompas, Jawa Pos, Republika, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, dan sebagainya.

Teman-teman yang sudah merasa akan ditolak, biasanya akan mengirim dulu ke Kompas untuk tabungan nama –meski baru kiriman yang ke-21 nya baru dimuat. Kalau sudah ditolak Kompas baru akan dikirimkan ke media koran lainnya. Itu pun berlaku pada tulisan yang sifatnya long life dan everlasting. Namun, dulu, syarat utama tulisan harus actual sesuai situasi yang berkembang. Kalau tidak, bersiap-siaplah ditolak. Di sinilah, menulis itu menjadi sebuah perjuangan. Sangat menyenangkan ketika dimuat.

Pada era 1990-an, pembacanya pun serius. Mereka benar-benar membaca. Tidak jarang tulisan ditanggapi dengan opini yang sama oleh penulis-penulis lain. Hal ini tentu berbeda dengan era kekinian yang sudah sangat bahagia hanya dengan banyaknya jempul, komentar “mantap”, “hebat”, “Joss markojos”, “mantap suratap”, “maknyus”, dan sebagainya. Semakin berbunga-bunga jika ditaburi dengan bintang-bintang yang beterbangan atau gambar lope-lope yang berhamburan. Padahal, si pemberi jempol dan semacamnya itu tidak mesti membaca dan menyimak dengan serius. “Dunia tipu-tipu”, kata orang Malaysia. Ya, namanya dunai maya penuh fatamorgana, kecuali Mbak Luna Maya. Hehe

Buku-buku yang berkembang juga sangat serius. Buku-buku pemikiran Islam yang berkait-kelindan dengan masalah social pun laris manis. Saya mengenal Kuntowijoyo, Cak Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Jalaluddin Rakhmat, Muslim Abdurrahman, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, M. Amin Abdullah, Syafiq A. Mughni, Yusril Ihza Mahendra, Gus Dur, Gunawan Muhammad, dan sekelasnya. Yang agak nyodron alias nyleneh ya Cak Nun alias Emha Ainun Nadjib.

Buku-buku serius mereka inilah yang saya gumuli setiap hari. Jurnal Ulumul Quran laris manis. Kang Jalal menerbitkan Hikmah. Buku-buku sastra pun amat serius. Cerpennya juga bagus-bagus, tidak ecek-ecek. Ada Umar Kayam, Putu Wijaya, A.A. Navis, Kuntowijoyo, dan banyak lagi.

Penerbit yang favorit saat itu adalah Mizan Bandung. Di Jogja ada Tiara Wacana, Pustaka Pelajar. Gramedia yang awalnya tidak pernah bersentuhan dengan tema Islam, akhirnya terseret pasar untuk ikut-ikutan menerbitkan buku-buku Islam. Herannya, tulisan-tulisan dan buku-buku serius dengan segala macam temanya itu diserbu orang.

Anehnya, di era milenial seperti sekarang ini, tulisan gaya era 1990-an ini tidak begitu laku di pasaran. Dibaca, tapi segmennya kecil. Inilah dunia maya yang penuh dengan senang-senang. Tidak mau yang berat-berat. Lalu, kalau era sekarang bagaimana? (Bersambung)

 

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here