MENULIS UNTUK PENGABDIAN (Sebuah catatan kopdar SPK 7 dan aktualisasi pengalaman diri)

0
1292

Oleh: Eni Setyowati

Banyak sekali ilmu yang saya dapat dari Webinar Kopdar SPK ke 7 yang diadakan tanggal 7 Agustus 2021 kali ini. Dua narasumber hebat Prof. Mulyadhi Kartanegara dan pak Gol A Gong….siapa yang tidak mengenal beliau?…Nama beliau sudah menjadi salah satu dari tokoh literasi terkenal di Indonesia, bahkan di luar negeri. Nama beliau telah menghiasi toko-toko buku terkenal dengan karya-karyanya yang teleh diterbitkan oleh penerbit terkenal. Maka, tak heran jika webinar ini seakan menyuntikkan vitamin bagi pesertanya, tak terkecuali dengan saya. Ulasan singkat dari sang Guru yaitu Prof. Imam Suprayoga pun menjadi asupan bergizi yang sangat menebarkan gairah bagi saya.

Meskipun masuk zoom agak telat, karena pagi-pagi harus antri di apotik terlebih dahulu untuk membelikan obat suami yang sejak semalam demam, alhamdulillah masih dapat mengikuti webinar dari awal. Namun, mohon maaf saya terpaksa harus leave lebih awal, karena pukul 11.30 harus menyiapkan makan siang untuk suami, yang kebetulan suami minta dibuatkan yang hangat-hangat. Semua harus disyukuri, saya masih bisa mengikuti webinar kopdar, sekaligus bisa merawat suami.

***

Terdapat beberapa catatan dalam webinar ini. Satu yang menjadi catatan saya adalah “Menulis untuk Pengabdian”. Menulis untuk pengabdian, menurut saya adalah satu catatan penting di webinar ini, dan sangat berkorelasi dengan apa yang saya alami.

Seringkali saya ditanya beberapa pertanyaan oleh teman, “berapa rupiah yang telah didapat dari menulis buku?”, “kok mau-maunya menulis buku, malah menghabiskan uang”, “memang dosen, jadi ya sudah sewajarnya menulis buku”, dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa. Sayapun hanya tersenyum. Biarlah apa kata mereka, yang penting saya tidak merugikan siapapun, dan yang saya lakukan juga tidak menyakiti siapapun. Gitu aja kok repot….hehehehe.

Iya….”Gitu aja kok repot”, istilah yang dipopulerkan oleh Gus Dur ini, selalu saja saya jadikan prinsip dalam menulis. Bagi saya, membaca dan menulis jangan dibuat repot. Santai aja…jangan dibuat beban. Itupun yang membuat saya hingga sampai saat ini masih menekuni dunia tulis menulis, meskipun tidak begitu bisa istikomah.

Saya ini siapa? Saya hanya seorang istri, ibu dari dua anak, yang kebetulan juga diberi kesibukan sebagai pengajar. Tak ada yang mengenal saya, paling hanya saudara, tetangga, teman ataupun mahasiswa yang pernah saya ajar yang tahu saya. Mengapa saya harus muluk-muluk menginginkan dengan menulis dan menerbitkan buku, buku saya bisa terjual laris? Mengapa saya harus muluk-muluk mendapatkan penghasilan dari menulis? Justru itu akan melukai hati dan akan menghentikan saya untuk bisa menulis.

TIDAK….itu bukan tujuan saya menulis. Menulis bagi saya adalah kepuasan. Menulis bagi saya adalah sarana mengusir kejenuhan. Menulis bagi saya adalah menguraikan catatan kehidupan. Dan….menulis bagi saya adalah pengabdian, seperti apa yang disampaikan oleh pak Gol A Gong di acara webinar tadi. Masalah rejeki, Allah sudah mengaturnya. Rejeki dari hasil penjualan buku, itu adalah bonus yang luar biasa dari Sang Pemilik Segalanya, Allah SWT.

Sekali lagi, selama ini “SAYA BELUM PERNAH MERASAKAN UNTUNG SECARA MATERI” dari menulis. Emangnya saya siapa???

Sekedar menguraikan sedikit pengalaman saya dalam menulis dan menerbitkan buku…. Beberapa kali saya menerbitkan buku (buku solo saya) tentunya di penerbit indi (biaya full dari saya). Biasanya, minimal saya menerbitkan buku sejumlah 50 eksemplar, mungkin jika dirupiahkan rata-rata sekitar 2,5 juta (tergantung tebal tipisnya juga), bisa juga lebih. Jika dilihat dari lakunya buku tersebut, saya mendapatkan 500 ribu saja itu sudah saya syukuri, saya telah mendapat bonus yang luar biasa. Beberapa kali saya mendapat catatan laporan keuangan royalti penjualan buku saya dari penerbit…jika dijumlahkan masih jauh dari biaya dan tenaga yang sudah saya keluarkan. Bagi saya…itu tidak masalah. Meskipun saya belum pernah merasakan keuntungan materi, tetapi SAYA TELAH MERASAKAN KEPUASAN YANG TAK TERNILAI dari menulis buku tersebut. Subhanalloh….semua karena ridha dan ijin Allah semata.

Saya di sini tidak bermaksud merendahkan tentang penulis, ataupun merendahkan diri saya sendiri, justru di sini berdasarkan pengalaman saya pribadi, dan dari hasil webinar kali ini, ingin menunjukkan kepada semuanya, jangan jadikan menulismu hanya untuk ingin mencapai materi semata. Saya yakin, jika kamu menulis hanya untuk mengejar materi, sampai kapanpun kamu tidak akan menulis. PASTI ITU…..

Saya berani berkata seperti itu, karena belajar dari para tokoh-tokoh literasi, salah satunya dari para narasumber webinar tadi. Pertama, apa yang disampaikan oleh Prof. Imam Suprayoga, “Janganlah menulis dengan pikiran, tetapi menulislah dengan yang punya pikiran, yang punya otak, yaitu ruh/hati.” Apa yang disampaikan oleh beliau, tentunya mengisyaratkan bahwa menulis itu adalah sesuatu yang tulus, lahir dari hati. Jadi jangan sekali-kali menulis karena pikiran apalagi materi.

Kedua, Prof. Mulyadhi menyampaikan, “Menulis diawali dari catatan harian, sehingga tak terbebani.” Motivasi menulis bagi beliau adalah: untuk mengabadikan hidup, untuk menyampaikan kebenaran, untuk memberi manfaat bagi orang lain dan untuk menaklukkan waktu. Masalah rejeki akan mengikuti. Begitu dalamnya hakikat menulis dari apa yang disampaikan oleh beliau. Menulis tanpa beban….benar sekali…Jangan sekali-kali kita menulis karena keterpaksaan, jadikan menulis itu sesuatu yang menyenangkan, jadikan menulis itu adalah sebuah rekreasi…inshaAllah apapun kondisi kita, menulis akan selalu ada pada kita.

Bicara tentang menulis tanpa beban, menjadi catatan tersendiri bagi saya. Sebagai seorang istri, ibu dan pengajar, yang tentu saja tak boleh meninggalkan tugas wajibnya tersebut, seringkali mengalami kendala dalam proses kegiatan tulis-menulis. Tak bisa dipungkiri bahwa berulang kali saya ‘tidak sempat’, ‘tidak mood’ atau bahkan pas lagi mood tiba-tiba ada saja yang menjadikan kita tidak bisa menulis. Seringkali saat ide sudah memuncak, tinggal menggoreskannya, tetapi ada saja yang menggagalkannya. Mungkin kita agak marah…benar…saya pun demikian, manusia tak luput dari rasa marah. Seketika itu saya akan menyalahkan keadaan…tetapi jika saya kembalikan pada hakikat menulis ….jika saya menulis tanpa beban, menulis dengan hati, inshaAllah rasa marah, jengkel dan lain sebagainya akan hilang. Jika saya bisa menulis dengan hati….saya akan bisa menyelesaikan keduanya. Tugas wajib sebagai istri, ibu dan pengajar bisa saya lakukan, menulis pun tetap bisa saya lakukan, meskipun saya tidak bisa menulis secara full istikomah….minimal saya tetap mau menulis saja adalah hal yang luar biasa. Jadi, di sini saya akan menekankan….MENULIS JANGAN DIBUAT REPOT….hehehe….

Ketiga, pak Gol A Gong. Beliau menyampaikan bahwa menulis itu bukan hanya melamun, tetapi menulis adalah kerja intelektual. Saya setuju sekali. Menulis itu mengeluarkan segala kekuatan yang kita miliki, jadi saya sangat membenci pada orang yang meremehkan tentang menulis, meskipun itu hanya menulis status di WA, FB ataupun di medsos lainnya. Pak Gol A Gong juga menyampaikan “menulis itu adalah untuk pengabdian.” Benar sekali….Hal ini juga seiring dengan apa yang disampaikan Prof. Mulyadhi, bahwa menulis untuk memberikan manfaat bagi orang lain.

Demikian juga dengan pengalaman saya. Sekali lagi, saya menulis bukan untuk meraih materi. Di atas saya telah menguraikan  tentang biasanya saya minta ke penerbit untuk cetak buku solo minimal 50 eksemplar. Tidak semua buku itu saya jual, jika ada yang mau beli silahkan, saya syukuri, saya dapat bonus. Sebagiannya saya jariahkan, misalnya saat saya mendampingi mahasiswa magang di sekolah, maka buku itu saya hadiahkan untuk perpustakaan sekolah, saat saya mendampingi mahasiswa KKN, buku itu saya hadiahkan untuk perpustakaan desa, jika saat webinar dan kebetulan menjadi panitia, buku itu saya hadiahkan bagi peserta sebagai bentuk apresiasi bagi yang bertanya, dan lain-lain. Nampaknya, apa yang telah saya lakukan itu adalah sebuah kenikmatan yang tiada tara.

Pengalaman lain, saya sangat senang saat mahasiswa bimbingan skripsi saya yang mengalihkan skripsinya dengan membuat buku. Kebetulan, di masa pandemi lembaga kami membuat kebijakan terkait tugas akhir mahasiswa. Salah satu isi kebijakan tersebut adalah mahasiswa diberi kesempatan mengubah skripsi menjadi buku ataupun artikel yang diterbitkan di jurnal. Dari sekian mahasiswa bimbingan skripsi saya, ada 2 mahasiswa yang ingin membuat buku. Tentu saja saya dukung. Perlahan saya bimbing  dan alhamdulillah bukupun jadi, dan kini mereka telah lulus. Sebagai bentuk penghargaan saya kepada mereka, saya membeli 5 eksemplar buku mereka. Meskipun sebenarnya sebagai pembimbing saya berhak mendapatkan secara gratis buku tersebut, tetapi saya tetap membelinya. Ini merupakan salah satu bentuk kepuasan saya yang tak ternilai dibandingkan harga 5 buku yang saya beli dari mereka.

Pengalaman juga saat saya melakukan penyuluhan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) perempuan Tulungagung. Seperti kebiasaan saya, saya akan membawakan buku yang siapa tahu dapat bermanfaat bagi mereka, tentu saja seijin petugas lapas. Alhamdulillah mereka sangat senang, kebetulan buku yang saya berikan tentang catatan perempuan, ibu, istri ataupu wanita karier (buku solo saya). Beberapa bulan kemudian, saya diberi tugas untuk mengisi penyuluhan lagi di lapas. Beberapa dari mereka masih penghuni yang lama, dan ada beberapa yang baru. Beberapa dari mereka sangat senang saya datang lagi, merekapun mengungkapkan isi hatinya, bahwa mereka ingin bisa menumpahkan ceritanya dibalik jeruji dalam sebuah esai ataupun puisi. Tentu saya mendukungnya. Saya beri motivasi, bahwa mereka pasti bisa. Dan…alhamdulillah selang beberapa bulan kemudian mereka telah membuat puluhan puisi yang dituliskan dalam buku tulis, yang dititipkan ke teman dosen yang saat itu memberi penyuluhan di lapas. Saat ini, kumpulan puisi tersebut masih proses saya susun, karena saya harus ketik ulang sehingga membutuhkan waktu yang agak lama. Saya sudah berjanji kepada mereka, saya akan membantu sampai buku antologi puisi terbit. Bismillah semoga apa yang mereka impikan dapat terwujud. Bisa membantu mereka adalah sebuah kepuasan dan sebuah anugerah bagi saya.

Masalah rejeki, saya yakin Allah lah yang mengatur segalanya. Saya percaya saya tidak akan miskin dengan melakukan hal tersebut. Saya yakin Allah akan membuka jalan rejeki tidak hanya melalui satu pintu. Banyak pintu rejeki yang akan dibukakan oleh Allah bagi hambaNya yang mau berusaha.

***

“Membandingkan apa yang mereka punya, sementara kita tidak. Terselip rasa iri akan jalan mereka yang lurus, sedangkan jalan kita berputar-putar penuh liku. Menginginkan perjuangan yang begitu mudah, sedang perjuangan kita begitu sulit hingga seringkali diri payah. Ingat…membandingkan adalah aktivitas tanpa akhir. Tersebab itulah kita lupa tentang hakikat syukur.” Kalimat di atas, mengingatkan kita bahwa di dalam menulispun kita harus bisa menjadi diri sendiri, gunakan aktivitas membandingkan sebagai cambuk untuk memacu kita bahwa kita juga bisa. Jangan jadikan aktivitas membandingkan untuk menumbuhkan sifat iri dan dengki.

“Hidup adalah tentang belajar untuk fokus pada hal yang positif dan menemukan yang baik dalam setiap situasi.”

“Jadikan menulis tanpa beban, jadikan menulis untik pengabdian.”

Tulungagung, 7 Agustus 2021

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here