Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Hari ini kita dicengangkan oleh ledakan besar yang menimpa Kota Beirut Lebanon. Ledakan itu telah menewaskan ratusan orang. Hulu ledak dentumannya disetarakan dengan ledakan Bom Atom di Heroshima dan Nagasaki. Ada yang mengatakan ledakan itu muncul dari gudang bahan peledak. Tapi, ada pula yang mengatakan bahwa ledakan itu dipicu oleh serangan pihak luar.
Jika menyebut ledakan dan bahan peledak, semestinya orang ingat siapa penemunya. Menariknya, orang lebih mengenal kebaikan penghargaannya daripada bahan peledak yang ditemukannya dan sering disalahgunakan.
Kita tentu tahu Hadiah Nobel, tapi tidak tahu siapa orangnya. Sebuah penghargaan prestisius yang dilekatkan dengan sebuah nama Alfred Nobel, seorang penemu dinamit (bahan peledak) dan sumbat peledaknya (detonator). Ilmuwan yang lahir pada tanggal 21 Oktober 1833 di Stockholm Swedia ini adalah seorang kimiawan terkenal, setelah bertemu dengan kimiawan Italia, Ascanio Sobreto, penemu nitrogliserin, sebuah cairan berdaya ledak tinggi.
Melalui percobaannya, Alfred kemudian menemukan bahwa campuran nitrogliserin dengan tanah halus Kieselguhr akan mengubah cairan menjadi pasta yang bisa dibentuk ke dalam batang, yang kemudian dimasukkan dalam lubang bor. Alfred mendapatkan hak paten atas bahan ini dan pada tahun berikutnya ia namai dinamit. Ia juga menemukan detonator yang bisa dinyalakan dengan cahaya sumbu.
Bukan hanya seorang ilmuwan, ia juga membangun pabrik di 90 tempat berbeda. Ia tinggal di Paris, tetapi sering bepergian ke pabrik-pabriknya di lebih dari 20 negara. Dialah sang “pengembara terkaya Eropa”.
Suatu ketika ia tahu apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Pada 1888, adiknya Ludvig meninggal dunia. Namun, karena kesalahan saat itu, obituari yang beredar justru mengabarkan kematian Alfred Nobel. Di koran-koran, ia dicemooh sebagai orang yang menjadi jutawan lewat kematian banyak orang. Salah satu koran Prancis menulis, “Le marchand de la mort est mort” – “saudagar kematian itu telah mati”.
“Dia adalah pria yang menjadi kaya dengan menemukan cara untuk membunuh makin banyak orang secara lebih cepat dari sebelumnya,” demikian penggambaran Nobel dalam obituari media massa kala itu. Semua ini menjadi pukulan telak bagi Nobel. Tak mau diingat sebagai sosok mengerikan setelah mati, ia bertekad melakukan sesuatu, agar dikenang sebagai tokoh yang meninggalkan warisan berharga buat dunia.
Setahun sebelum kematiannya, ia menuliskan wasiat agar sebagian besar hartanya diserahkan untuk menyelenggarakan penghargaan Nobel, bagi mereka yang berjasa bagi dunia dan kemanusiaan dalam 5 kategori: fisika, kimia, fisiologi atau kedokteran, sastra, dan perdamaian. Hingga kini, pemberian hadiah Nobel itu seakan menghapus “dosa” Alfred Nobel atas segala penemuan dan perdagangan bahan peledaknya. Bukan hanya itu, apa yang disumbangkan Nobel telah mampu “menunda” kematiannya. Dengan Hadiah Nobel itu seakan Alfred Nobel masih hidup dan tidak ada matinya.
Seandainya ia seorang muslim, maka ia bukan hanya “menunda” kematiannya tapi juga akan meninggalkan sadaqah jariyah (kebaikan yang selalu mengalir) yang tidak ada putusnya, karena telah ikut menginspirasi banyak orang untuk melangsungkan perdamaian dan penemuan-penemuan ilmiah. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Jika telah mati seorang anak Adam (manusia), maka telah putus semua amalnya, kecuali tiga perkara: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakannya. Karena ia seorang kafir, maka sebesar apapun kebaikannya tiada akan pernah sampai pada ridha Allah. namun, setidaknya, kita semestinya bisa melakukan lebih dari sekedar apa yang bisa dilakukan oleh seorang Alfred Nobel. Wallahu a’lamu.