Oleh: Muhammad Abdul Aziz
An-Naba’ 3.
Ketika memperdengarkan berulang kali ayat ini, lidah saya tanpa disengaja terseret untuk membaca “al-ladzi hum fihi yakhtalifun”. Ikhwan, pelajar yang paling senior, seketika mengingatkan; “mukhtalifun.”
Ketika ia menyebutkan “mukhtalifun” tersebut, ketika itu juga terdetik dalam fikiran saya satu pertanyaan:
Mengapa “mukhtalifun”, bukan “yakhtalifun”? Padahal secara umum, maksud keduanya hampir sama, yaitu pengingkaran terhadap hari kebangkitan.
Saya yakin pembahasan ini sudah ada dalam literatur klasik kita. Hanya, saya saja yang belum berusaha benar untuk menemukannya. Yaitu, tentang pembahasan faidah atau rahasia di balik pemilihan dan penggunaan kata-kata dalam al-Qur’an.
Kesan yang timbul dalam fikiran saya adalah betapa orang-orang kafir itu mendustakan tentang Hari Kebangkitan. Kedustaan yang teramat dalam ini ditunjukkan oleh penggunaan kata dalam bentuk isim, yaitu “mukhtalifun”. Sebagaimana yang kita tahu bahwa isim lebih merujuk pada struktur yang solid, padu, established, dan durable. Maka dengan sendirinya kedustaan itu pun juga bersikap kedustaan yang sudah melekat dalam jiwa mereka, sehingga akan sangat sulit untuk diubah.
Ayat tersebut tidak menggunakan “yakhtalifun” boleh jadi sebab perkataan ini berbentuk fi’il. Sebagaimana yang kita tahu bahwa fi’il lebih merujuk kepada entitas yang cenderung berpotensi berubah. Inkonsisten. Temporal. Berproses. Hari ini percaya, esok tidak. Atau sebaliknya, hari ini tidak, esok percaya. Dan jika demikian adanya, maka hal tersebut belum dikatakan representatif untuk mengartikulasikan kondisi kedustaan solid sebagaimana yang dimaksudkan oleh an-Naba’ tersebut.
Contoh lain penggunaan fi’il dengan makna proses adalah “tattaqun”. Perintah puasa sebagaimana termaktub dalam Al-Baqarah 183 berujung dengan frase “la’allakum tattaqun”. Agar kamu bertakwa. Maka menjadi pribadi yang bertakwa tentu tidak semudah membalikkan tangan. Ia memerlukan proses. Saban hari dan minggu. Saban bulan dan tahun. Yazdad wa yanqus. Kadang timbul kegairahan, kadang pula tenggelam dalam lautan lena. Atas alasan inilah agaknya kenapa ayat tersebut menggunakan bentuk fi’il “tattaqun”. Bukan isim: “min al-muttaqin”.
MasyaAllah. Demikian agung Bahasa Arab. Dalam kelembutannya tersimpan keperkasaannya. Dalam ketelitiannya terbentang kesempurnaannya.
Wallahu A’lam.