NAKES, PAHLAWAN KEMANUSIAAN

1
2009

Oleh: MUCH. KHOIRI

ALKISAH, masih bulan Maret 2020, bulan awal Covid-19 melanda negeri ini, ada tenaga medis yang meninggal dunia. Tenaga medis itu adalah Ninuk, perawat RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, di usianya yang ke-37 tahun. Tentu, Arul dan dua anak mereka, terpukul berat atas berpulangnya Ninuk di usianya yang relative muda.

Namun, Arul, sebagai suami yang tabah, hanya memberi anak-anak itu pengertian. “Sebagai ayahnya, saya bilang mama itu pahlawan. Mereka bangga punya ibu seperti itu, yang secapek apa pun setelah dinas, nggak pernah marah atau menunjukkan dia lelah,” ujarnya. Agaknya itu didasari ‘pesan akhir’ Ninuk menjelang ajal: “Saya hidup untuk orang yang saya sayangi dan mati untuk orang yang saya sayangi, termasuk (untuk) profesi saya.” (BBC News Indonesia, 30 Maret 2020).

Rasa haru menyeruak saat menyimak ungkapan terakhir Ninuk itu. Dia hidup untuk orang yang disayangi, mati pun untuk orang yang disayangi, termasuk profesinya sebagai perawat. Itulah ungkapan tulus dari orang yang menjalani profesi perawat, yang merawat orang-orang yang disayangi, termasuk pasien umum—yang tak dikenalnya sebelum masuk ruang perawatan. Kita tak perlu mempertanyakan kepedulian dan ketulusan perawat dalam merawat pasien, kendati tak dimungkiri bahwa merawat pasien adalah tugas profesi perawat. Ada sisi kemanusiaan yang tak bisa dilepaskan.

Maka, tidak salah, suami Ninuk memberikan sebutan “pahlawan” kepada istrinya guna memberi pengertian kepada anak-anak mereka akan kemuliaan perawat. Dan anak-anak mereka tampaknya meyakini hal itu sebagai sebuah kebenaran, mengingat Ninuk tetap menjalankan tugas sebagai istri dan ibu yang baik di rumah, di samping tugas profesinya sebagai perawat. Di mata anak-anak, Ninuk diterima sebagai pahlawan untuk keluarga dan sesama manusia.

Kisah kepahlawanan Ninuk tentu tidak berhenti di situ. Di era digital, di mana informasi menyebar begitu cepat, kisah itu telah menyebar ke berbagai penjuru negeri, memberikan sebagian bukti betapa perawat itu telah meninggal dalam perjuangan melawan Covid-19. Meski semula tidak terdata, agaknya banyak masyarakat yang menganggapnya sebagai pahlawan kemanusiaan. Saya termasuk di dalamnya.

**

Ninuk, mama dari dua anak hebat itu, hanyalah satu contoh tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan (nakes)—baik dokter, perawat, manajemen rumah sakit, maupun sukarelawan—yang berjuang melawan Covid-19 tak kenal lelah dan tak kenal waktu, yang tersebar di seluruh penjuru negeri kita, adalah pahlawan kemanusiaan. Mereka berjuang di garis depan perjuangan itu untuk siapa pun juga—tanpa memandang suku, agama, dan latar pembeda lain. Semua termasuk orang-orang yang disayangi.

Mereka berjuang merawat dan menangani pasien terpapar Covid-19, dengan tujuan agar pasien dapat disembuhkan. Mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) berjam-jam saja amat tidak nyaman, terlebih harus menangani pasien yang silih berganti sepanjang waktu. Mereka sebenarnya mengalami kelelahan, bukan hanya kelelahan fisik, melainkan juga kelelahan mental-psikologis. Namun, mereka tetap bertahan, sepanjang mereka masih dalam kondisi sehat. Merawat pasien menjadi ladang amal mereka.

Dan perjuangan tidak dimulai kemarin sore, namun sudah 8 bulan. Selaku anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Soekarwo (Jawa Pos, 30/11/2020) mencatat, sejak diumumkan kali pertama oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, lebih dari 500 ribu orang Indonesia terjangkit Covid-19 di 34 provinsi dan 505 dari 514 kabupaten/kota. Data satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 27 November 2020 menunjukkan, dari 522.581 orang yang terpapar, ada 437.456 orang yang telah sembuh dan 16.521 orang meninggal. Kabarnya, ada tren kenaikan dalam sepekan terakhir.

Tanpa mengurangi respek kepada pemerintah, satgas penangan Covid-19, serta pihak-pihak lain yang beriur banyak dalam melawan Covid-19, kita tak dapat memungkiri betapa besar peran para nakes di dalamnya. Dalam catatan Soekarwo di atas, ada 83% jiwa dari 522.581 pasien yang berhasil diselamatkan, sedangkan 17% kembali ke pada-Nya. Ini menunjukkan, dari sisi upaya medis, mereka telah berjuang secara optimal, sekalipun jiwa (nyawa) mereka sendiri langsung berhadapan dengan “bahaya” yang mengancam.

Ya, taruhan perjuangan mereka adalah nyawa. Dan itu telah terbukti. Berdasarkan data dari Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI, dan Perawatan Nasional Indonesia (PPNI), menyebutkan bahwa per hari Selasa (29/11/2020), terdapat 228 nakes yang wafat, dengan rincian 127 dokter, 9 dokter gigi, dan 92 perawat telah meninggal dunia akibat Covid-19. Dari 127 dokter itu, ada 66 dokter umum (4 guru besar), 59 dokter spesialis (4 guru besar), dan 2 orang residen. Sementara, dari 9 dokter gigi, 6 dokter gigi umum dan 3 dokter spesialis. Demikian dilansir Kompas.com.

Mungkin ada masyarakat yang menyebut bahwa merawat pasien memang tugas profesional nakes. Itu sah-sah saja. Namun, situasinya sangat berbeda. Ini situasi darurat pandemi—situasi di luar kendali manusia dalam kondisi normal. Semua itu bukan semata tugas profesional, melainkan melebihi batasan itu, yakni tugas kemanusiaan. Mereka sayang kepada masyarakat—pihak yang mereka anggap sebagai keluarga besarnya. Dari sorot mata mereka, dapat dibaca betapa dalam sayang mereka kepada sesama. Itu perjuangan yang tak main-main.

Belum lagi, mereka menghadapi sikap sebagian masyarakat yang ndablek tidak bermasker, yang potensial ketularan atau menularkan Covid-19. Perlawanan kepada pasien yang sudah ada pun mereka sudah teramat lelah dan depresi, ditambah lagi adanya sebagian masyarakat yang cuek bebek atas keselamatan diri sendiri dan keselamatan orang lain. Secara psikologis para nakes benar-benar menghadapi kasus yang sangat berat.

Dengan ketidakdisiplinan masyarakat untuk berprotokol kesehatan, tugas berat perjuangan selanjutnya sudah menanti. Amat mungkin perjuangan semakin berat mereka rasakan, dan mudah-mudahan mereka tetap bertahan dalam posisi yang sama. Sebab, kabarnya, Akmal Taher, kepala bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 mengundurkan diri akibat tidak maksimalnya proses tracing dan testing Covid-19. Dari ini terbaca, jumlah orang terpapar Covid-19 tidak dapat dipetakan secara empirik—dan menimbulkan ketidakpastian.

Dalam situasi yang tidak pasti itu, kini kita masih menyaksikan para nakes bertugas di tempat pengabdian masing-masing. Tentu, kita berharap bahwa pemerintah segera mengambil kebijakan yang terbaik dalam menangani Covid-19; dan pada sisi lain masyarakat pun mendukungnya dengan berdisiplin dengan protokol kesehatan. Untuk para nakes yang sudah wafat, kita doakan agar mereka dianugerahi tempat terbaik di sisi-Nya; dan untuk mereka yang masih gigih berjuang, kita doakan agar mereka selalu dianugerahi kesehatan prima dan keikhlasan tak berbatas.(*)

Driyorejo, 30 November 2020

Bagikan

Tinggalkan Komentar

Please enter your comment!
Please enter your name here